Saturday, October 6, 2007

Inovasi Pembelajaran TK

Oleh: Josephine M.J.Ratna, M.Psych

PEMBELAJARAN TK

Early education – pendidikan usia dini tidak lagi dimulai saat anak berusia 4 tahun, tetapi sudah lebih awal bahkan saat anak masih berusia kurang dari 1 tahun. Berbagai upaya dilakukan untuk memanfaatkan ‘golden age’ dengan harapan anak mendapatkan pendampingan dan kesempatan terbesar untuk mengoptimalisasi perkembangan otaknya. Hal ini menyebabkan banyak anak yang telah ‘disekolahkan’ sejak muda usia (mulai dari Baby school, Toddler time, Playgroup) tidak lagi merasa gamang saat berada di Taman Kanak Kanak (TK). Di mata orangtua, menyekolahkan anak sedini mungkin merupakan kebutuhan dan tidak lagi sekedar pilihan, terlebih dengan kondisi kedua orangtua bekerja sehingga peran pendampingan anak beralih ke sekolah.

Dengan latar belakang perkembangan di atas, TK tidak lagi menjadi awal perkenalan anak pada sistem sosial di luar rumah, melainkan suatu sistem pembelajaran yang harusnya sudah ‘serius’ dan bukan sekedar ‘taman belajar’ dengan mengedepankan banyak tujuan yang harus dicapai baik oleh anak sendiri, maupun tuntutan yang ditujukan pada sekolah, guru dan orangtua sendiri.

Di sisi lain, berkembangnya tuntutan kebutuhan pembelajaran TK merangsang banyak pihak pemerhati pendidikan dan ahli pendidikan mengembangkan berbagai model pembelajaran yang akhirnya menjadikan memang murid TK sebagai eksperimen (dalam arti positif). Kita lihat bahwa pengenalan tentang computer, bahasa Mandarin, bahasa Inggris, sempoa, sudah diterapkan di banyak TK, bahkan sudah dimulai di tingkat pendidikan yang lebih rendah. Tuntutan agar anak diusia belianya mampu menyerap sebanyak mungkin materi dengan tetap mempertahankan ’kesehatan psikologisnya’ , berkembanglah berbagai metode pembelajaran misalnya untuk matematika ada metode jarimatika, I-math, Kumon, Sakamoto ; untuk science ada I-science, fun science ; untuk computer ada berbagai modul pembelajaran yang sudah dikemas dalam bentuk VCD/DVD dan lain sebagainya

LANDASAN TEORITIK

Bagaimanapun tuntutan pembelajaran yang ada, tetaplah perlu memperhatikan pendapat para pakar yang berkaitan dengan pendidikan usia dini :

Maria Montessori – Montessori Education

Menekankan pentingnya anak mampu meresapi lingkungan pembelajarannya sehingga sangat pentinglah adanya fasilitas dan peralatan yang sesuai untuk mendukung pembelajaran anak. Kebutuhan anak belajar adalah unik dan keunikan belajar inilah yang harus menjadi tolok ukur suatu metode yang hendak diterapkan. Montessori menekankan pentingnya berpusat pada anak dan mengajarkan anak untuk misalnya menggunakan alat atau mainan yang ada dalam menjelaskan konsep tertentu. ”Children shouldn’t just play.... but play with toys will teach them concept”

Kritik terhadap Montessori adalah karena kurang menekankan pada perkembangan bahasa dan sosial, kreativitas, musik dan seni.

Rudolf Steiner – Waldorf Education

Juga menekankan pentingnya memusatkan perhatian pada kebutuhan anak dalam kita mengajarkan sesuatu. Pada model Waldorf ini, kreativitas anak ditumbuhkan sehingga ia mampu menggunakan apa yang ada disekelilingnya sebagai sarana belajar dan bukan pasif menunggu. Anak didorong untuk menciptakan sendiri alat belajarnya dari apa yang ada di sekitarnya. ”Children have to create their own toys from the materials which happen to be at hand”

John Dewey

Dewey menekankan bahwa sekolah adalah tempat anak untuk berkembang secara progresif, sehingga muncullah kurikulum Child-centered. Dengan berfokus pada anak dan melalui program aktivitas fisik, dapat diketahui minat anak. Dewey berpendapat bahwa pendidikan adalah proses kehidupan dan bukan sekedar persiapan untuk kebutuhan masa mendatang, namun adalah pengembangan peminatan anak melalui suatu proses.

Jean Piaget

Piaget menekankan bahwa ada 3 cara anak mengetahui sesuatu yaitu melalui interaksi sosial, interaksi dengan lingkungan dan pengetahuan fisik serta belajar tentang logika matematika melalui konstruksi mental. Perkembangan proses berpikir dan intelektualitas anak dapat dengan metode bermain sambil belajar

Howard Gardner

Menekankan pentingnya memahami bahwa tiap anak memiliki kecerdasan majemuk dan hendaknya proses pengajaran mampu mengembangkan kecerdasan majemuk anak sampai anak menemukan sendiri kecerdasan dominan yang ia miliki.

Ada 8 macam kecerdasan dan pada implementasinya dapat dilakukan dengan kreatif.

Dari beberapa masukan para ahli di atas, maka kreativitas dan inovasi pembelajaran terletak di tangan guru dan orangtua sebelum sang anak sendiri nantinya yang mampu menjadi kreatif dan memiliki metode pembelajaran sendiri.

David Werkart


Metode pengajarannya menggunakan prinsip-prinsip memberikan lingkungan yang nyaman, memberikan dukungan terhadap tingkah laku dan bahasa anak, membantu anak dalam menentukan pilihan dan keputusan, serta membantu anak dalam menyelesaikan masalahnya sendiri dengan melakukannya sendiri. Metode ini yang diterapkan di High Scope education.


TUNTUTAN PENDIDIKAN vs KENIKMATAN BELAJAR

Penerapan kurikulum TK belum seketat kurikulum di tingkat pendidikan dasar dan menengah. Masih banyak ruang yang dapat digunakan untuk mewujudkan pendidikan usia dini yang berkualitas. Namun perlu diterapkan pula suatu kurikulum dan metode pembelajaran yang seimbang bagi anak sehingga anak tidak terbeban yang terpenting adalah mencegah terjadinya hambatan pembelajaran di tingkat yang lebih tinggi.

Anak yang mengalami trauma karena tuntutan yang tinggi serta penerapan disiplin yang melewati batas toleransi anak (dan orangtuanya....), dapat mengalami kesulitan belajar dan keenganan bahkan ketakutan untuk masuk sekolah. Jika hal ini terjadi maka akan percumalah suatu upaya pembelajaran yang sudah diterapkan di TK karena tidak memberikan ’kenikmatan belajar’ dan ’ketagihan belajar yang menyenangkan’.

Diperkirakan masih banyak pelaksanaan pembelajaran yang lebih mengedepankan untuk menjejali anak dengan berbagai ilmu dan ketrampilan tetapi mengurangi porsi kenikmatan belajar sesuai usia perkembangannya di segala aspek. Anak menjadi distres dan sekolah bukan lagi menjadi tempat yang menggairahkan. Sayang sekali bila hal ini terjadi justru di awal dari usia sekolah anak. Kondisi ini semakin diperparah bila orangtua dan guru (terutama guru muda yang masih belum berpengalaman dalam mengasuh dan mendidik anak) mengatasi permasalahan ini dengan pendekatan yang keliru, misalnya orangtua membujuk anak untuk sekolah dengan membelikan berbagai macam permainan yang justru akhirnya membuat anak menjadi lebih tertarik untuk main di rumah ketimbang pergi ke sekolah.

Mengamati hal tersebut di atas, maka menjadi tantangan tersendiri bagi sekolah (terlebih yang juga mendasarkan pendidikannya mengikuti nilai religius tertentu) untuk menciptakan model pembelajaran inovatif, kreatif, atraktif, dan segala model –if yang lain (komunikatif, interaktif) yang berpihak pada kepentingan siswa namun dalam jangka panjang mampu diminati oleh orangtua untuk menitipkan perkembangan buah hati mereka. Tidak dapat dipungkiri bahwa pendidikan berkualitas menuntut dukungan finansial pula, sehingga untuk dapat berlanjut secara berkesinambungan dan terus berkembang, maka pembentukan TK i-k-a-k-i atau c (cinta kasih)-i-k-a-k-i harus didukung pula oleh sumber daya manusia yang berdedikasi dan punya komitmen jangka panjang.


MENCIPTAKAN TK YANG C-I-K-A-K-I : SUATU TANTANGAN

Tidak ada suatu lembaga pembelajaran manapun yang dapat menjawab semua kebutuhan dan menjadi tempat belajar yang paling ideal. Yang terpenting adalah adanya tempat belajar yang mampu berubah sesuai dengan kebutuhan tanpa harus ’melacurkan’ diri demi mendapatkan simpati siswa, orangtua dan masyarakat. Penting untuk meyakini sebuah nilai dan mempersiapkan implementasi dari nilai tersebut dengan sebaik-baiknya dengan dukungan penuh dari segenap warga.

1. Berpijaklah pada suatu nilai dan pandangan yang dianggap paling sesuai

2. Perhatikan tahap perkembangan anak.
Secara umum, tahap perkembangan anak dapat dilihat dari tabel kompilasi tahap perkembangan anak.Namun perlu diketahui bahwa tiap anak mempunyai kecepatan dan kematangan yang berbeda-beda, sehingga suatu model pembelajaran hendaknya juga mampu mempertimbangkan anak yang memiliki keunikan berkaitan dengan tahap perkembangan ini.

3. Kepala Sekolah dan Guru TK harus punya jadwal belajar hal baru secara berkala, termasuk mempelajari trend yang sedang berlaku

4. Permasalahan siswa banyak dilaporkan orangtua dan juga diobservasi di sekolah

James W Botkin menyebutkan bahwa proses belajar dalam suasana inovatif dapat membantu memecahkan persoalan-persoalan penting dalam pendidikan dan membentuk ketahanan anak didik maupun sekolah menghadapi kehidupan jangka panjang. Walaupun muatan kurikulum TK diisi dengan pengembangan wawasan, tetap harus di perhatikan bahwa dengan usia anak antara 4-6 tahun mereka membutuhkan ruang gerak yang cukup dan kebutuhan bermain yang esensial.

Mempertemukan pendidikan ideal dengan memperhatikan no 1-3 di atas serta tetap mampu menerapkan CIKAKI ternyata tidak mudah.

5. Setelah melakukan pemetaan di atas dan menjawab sendiri apa yang kita ketahui sebagai bahan untuk diolah dan dikembangkan menjadi suatu inovasi pembelajaran baru yang cocok dengan TK, maka di bawa ini ada beberapa alternatif pembelajaran yang banyak dijadikan acuan dalam membuat ’resep perubahan’ :

a. Pengajaran suara, bentuk, bilangan melalui :

- pengamatan alam

- keaktifan jiwa dan raga anak / active learning

- pentahapan berdasarkan tingkat kesulitan / kompleksitas

- kecerdasan majemuk

b. Pengajaran sentra, yang menekankan pada perpaduan klasikal, individual dan kegiatan  biasanya berbentuk thematic learning

c. Pengajaran menjadi atraktif bila :

- mengikutsertakan dan mengijinkan kreativitas

- guru melihat minat anak (beri waktu bebas, catat apa yang dilakukan anak, gunakan hasil observasi untuk ’menjadi dekat dengan anak’)

- jadwal pelajaran bisa fleksibel untuk bidang / subyek tertentu

- penilaian berdasarkan daftar aspek yang ingin di raih dan tidak semua anak diharuskan mencapai kemampuan tertentu  berpedoman pada indikator kecerdasan majemuk

- mengikutsertakan kegiatan fisik yang berkualitas / bertujuan (OR, atau Brain Gym - Kinesiologi) dan seni (gambar, tari, suara, musik)

- dilakukan dalam suasana bermain berkualitas

- guru mau dan ikut terlibat (tidak malu untuk terlihat ’aneh’)

- mengkombinasikan 3 faktor : kognitif, afekif, psikomotor

- tidak menggunakan hukuman tetapi ’belaian tegas’


6. Evaluasi inovasi secara berkala dengan menanyakan :

a. Apakah permasalahan lebih mudah diatasi ?

b. Apakah guru lebih mampu mengendalikan diri ?

c. Apakah jumlah anak yang masuk sekolah (dan gembira) meningkat ?

d. Apakah lebih banyak orangtua yang menawarkan diri untuk membantu ?


LET’S MAKE A DIFFERENCE – MARI MEMBUAT PERUBAHAN KECIL

Impikan ini ! – Suatu saat 6, 9, 12, 16 dan 20 tahun yang akan datang, kita menerima kunjungan seseorang dengan senyum, mungkin sambil membawa generasi yunior kembali ..... ke TK yang sama

Disampaikan pada Pertemuan BKS – TK Regio I, Surabaya 6 Oktober 2007 oleh Josephine M.J. Ratna, M.Psych

No comments:

Post a Comment