Tuesday, November 11, 2008

Warning, si Charming Mendekat - Kalau Status Taken, Boleh Direspons tapi Jangan Diembat

Pantang Main Belakang

Dalam kondisi punya pasangan tapi ada yang pedekate, kita normal jika merasa bimbang. Apalagi, orang itu lebih menarik daripada pasangan kita. Entah fisik atau kepribadian. Namun, kita harus bijak menyikapinya. Jangan main belakang. Kita harus berani jujur mengatakan bahwa kita sudah punya pasangan. Saat itulah komitmen kita diuji. Bagaimana kesetiaan kita dan seberapa jauh kita menerima pasangan kita apa adanya. Didekati orang juga tidak boleh disimpan sendiri. Itu harus dikomunikasikan dengan pasangan. Selain minta saran, itu juga harus bisa jadi introspeksi diri baginya. Dalam hubungan, harus dikembangkan sikap mau maju. Artinya, bukan sekadar menerima, tapi saling memperbaiki diri.

Sumber:
Deteksi Jawa Pos, Sabtu 11 November 2008

Saturday, July 26, 2008

Balada Cinta Tambalan

Cocok, Jalan Terus

Sebenarnya, jadian karena pelarian tidak selalu berimbas buruk bagi hubungan pacaran. Awalnya memang disebabkan ingin melupakan trauma dari hubungan sebelumnya. Tetapi, ada dua sudut pandang. Pertama, jika niatnya hanya ingin melupakan mantan, tidak baik untuk dilanjutkan. Akan tetapi, ketika menjalin hubungan menemukan evaluasi yang baik, tidak ada salahnya dilanjutkan. Dengan catatan, jujur. Berterus teranglah kepada pasangan bahwa awal kalian bersatu memang karena pelarian. Tetapi, di dalam proses pelarian itu, ternyata kalian menemukan cinta sejati. Ingat, prinsip jalinan cinta adalah saling respek. Di sana akan terlihat, kalau sekedar pelarian, cintanya juga "sekadar" saja.

Sumber:
Deteksi Jawa Pos, Sabtu 26 Juli 2008

Friday, July 11, 2008

Apa dan Bagaimana Distress Pada Anak?


Oleh: Dra. Josephine Ratna, PG DipSC, M. Psych
RS Surabaya Internasional

Apa dan Bagaimana Distress pada Anak?
Biasanya kalau seseorang merasa tertekan oleh sesuatu hal, ia akan menyebut dirinya sedang stress. Paahal stress itu artinya respon terhadap sebuah keadaan. Ada dua macam keadaan stress, yang menyenangkan dan berpengaruh positif disebut EUSTRESS, seperti: menang undian 100 juta, lulus ujian, akan menikah, naik kelas, dll. Sedangkan stress yang menimbulkan perasaan sedih dan berpengaruh negatif disebut DISTRESS, seperti: nilai jelek, keadaan sakit, orangtua meninggal, dll. Tidak hanya orang dewasa saja yang mengalami stress, anak-anak juga dapat mengalaminya.

Apa Penyebab Distress pada Anak?
Masalah makanan, distress tidak mau atau susah makan.
Di sekolah, distress karena guru yang galak atau teman yang suka berbuat jahat.
Di rumah, distress karena orangtua tidak perhatian, tidak ada teman bermain.
Berhubungan dengan aturan, distress karena kebanyakan aturan dari orangtua, tidak memahami keinginan dan aturan orangtua.
Phobia, distress karena rasa takut yang luar biasa terhadap sesuatu.
Distress karena jenius, sehingga berpikir sesuatu sesuai dengan persepsinya sendiri dan hanya meyakini bahwa pikirannyalah yang paling benar dan orang lain keliru (irrational thinking). Pada distress ini, anak tersebut sangat pintar, bisa menganalisa sendiri. Pasien yang mengalami distress ini sedikit sekali, 1 di antara seribu dan biasanya tidak dapat sembuh dengan hanya 1 kali konsultasi/pertemuan, karena perlu mengerti jalan pikiran mereka.
Distress karena volume suara orangtua waktu marah. Jika orangtua sedang marah, cenderung dalam posisi berdiri. Itu membuat anak tidak bisa melihat mata orangtua dan hanya melihat paha atau bagian bawah tubuh orangtua. Jadi yang dilihat anak adalah sosok raksasa yang menakutkan. Maka dari itu, sebaiknya waktu marah, disarankan anak diangkat sehingga menjadi selevel dengan pandangan mata orangtua (pandangan mata anak selevel dengan pandangan mata orangtua).
Orangtua yang defensif juga menyebabkan anak distress, karena mereka cenderung membela diri terhadap aturan yang telah mereka tetapkan dan merasa ini untuk kebaikan anak, padahal belum tentu anak suka.

Apa Gejalanya?
Banyak manifestasi perilaku akibat distress, berbeda-beda pada setiap anak. Misalnya:
a.    Tidak fokus
b.    Perilaku tidak sesuai (childish)
c.    Mudah sakit
d.    Mudah melawan orangtua
e.    Berontak
f.     Marah
g.    Sedih berlbihan
h.    Prestasi akademik menurun
i.      Mudah sakit perut
j.      Withdraw, menarik diri, tidak bisa diajak berkomunikasi

Depresi pada anak (clinical depression pada anak) bisa menjadi distress berganda (multiple distress), karena anak tidak ada penyaluran distress-nya, sementara orangtua otoriter, frustasi, tidak punya pengalaman, atau tidak punya teman curhat. Anak biasanya hanya diam saja dan memendamnya sampai suatu ketika ia tidak mampu menahan dan gejala akan muncul berlebihan.

Bagaimana Mengatasinya?
1.    Observasi
Bagi orangtua yang menghadapi masalah ini, sebaiknya melakukan observasi sudah berapa lama hal itu terjadi. Ini bisa dilihat dari rutinitas anak, sehingga bisa dilihat ‘pola tertentu yang berulang’, seperti anak menangis di pagi hari atau anak yang baru pindah sekolah yang biasanya mengalami separation anxiety (kecemasan berpisah dari orangtua, karena lingkungan baru).

2.    Temukan akar masalah
Dari hasil observasi, dicari dan temukan masalah, akar masalahnya. Seperti anak bayi yang tidak mau minum susu, lalu diare. Orang awam akan berpikiran jika anak anak alergi minum susu. Padahal diare itu bisa saja terjadi karena anak distress tidak mau minum susu, bukan karena alergi. Adanya “Mind Body Relationship”, dimana pikiran berdampak pada badan dan stress (respon terhadap sebuah keadaan) menghasilkan respon physiological dan psychological. Karena anak kecil belum bisa menyampaikan perasaan dan pikirannya, maka penyaluran distress-nya dalam bentuk lain. bisa menangis, melawan, sedih, memukul diri sendiri, marah, tidak sayang lingkungan sekitar, dll.

3.    Buat roleplay/bermain peran
Setelah observasi, bisa juga orangtua membuat roleplay untuk terapi. Orangtua pura-pura jadi ‘siapa’ buat anak.
Seperti distress yang dialami anak yang orangtuanya overprotective. Anak pulang sekolah wajib pulang ke rumah, semuanya diatur orangtua, aturan ketat. Juga untuk anak yang susah makan, makan lama, bisa diemut hingga 30 menit.
Pada kasus-kasus seperti ini, biasanya anak dan orangtua juga sama distress-nya. Biasanya bisa diterapi dengan pendekatan CBT – Cognitive Behaviour Therapy. Ini adalah intervensi paling mudah untuk mencari tahu akar permasalahan sesuatu yang menimbulkan perilaku tertentu, yang akhirnya bisa menimbulkan pola tertentu yang berulang.
Observasi bisa saja kurang berhasil karena ibu/yang melakukan observasi tidak dengan seksama melihat atau memperhatikan pola berulang yang ada pada anak atau ibu tidak mencatat kebiasaan anak.
Anak tidak mungkin menunjukkan perilaku bermasalah tanpa ada penyebabnya. Anak yang punya masalah biasanya menjadi diam, berubah dan tidak menunjukkan kegembiraan. Dengan melihat atau memperhatikan pola kebiasaan anak, orangtua bisa melihat apa yang diinginkan anak, sehingga kebutuhan utama anak bisa terpenuhi. Terabaikannya kebutuhan utama anak juga menyebabkan distress pada anak.

Bagaimana Efek Distress Pada Anak?
Untuk jangka panjang, distress dapat menjadi bagian dari kepribadian. Anak bisa terus menarik diri dari lingkungan, berpikir bahwa hidupnya tidak berguna dan menjadi pendendam.
Efek positif distress yang biasa terjadi pada anak-anak yang orangtuanya gagal menjadi orangtua yang baik, anak biasanya menjadi orang yang lebih bijaksana dalam menilai hidup.


Pengaruh Saat Dewasa:
Distress akan menjadi bagian hidup. Distress wajib diubah menjadi Eustress. Memang dibutuhkan skill yang baik untuk ini. Bisa juga melalui proses mem’bahagia’kan diri. Cari keseimbangan diri distress ke eustress. Bisa dengan jalan relaksasi, kembalikan fungsi respon tubuh. Bisa juga melalui proses imajinasi, sehingga bisa mengadopsi cara menghindari stress.

TIPS AGAR ANAK TIDAK DISTRESS:
1.    Jangan mendelegasikan tugas sebagai orangtua ke babysitter. Orangtua itu psikolog terbaik untuk anaknya, menjaga hubungan baik dan kerjasama yang baik antara orangtua dan anak sangat dibutuhkan.
2.    Jangan defensive, tidak ada jaminan untuk menjadi orangtua terbaik. Tidak ada orangtua yang sempurna.
3.    Distress dapat diminimalisir dengan memberi support ke anak.
4.    Ada baiknya orangtua berubah untuk anak sendiri.
5.    Patut diingat, bahwa komunikasi efektif antara anak dan orangtua terjadi hanya sampai anak berumur 12 tahun, karena biasanya setelah masuk ke masa puber, anak lebih suka berinteraksi dengan teman sebayanya, bukan dengan orangtuanya. Untuk itu tingkatkan komunikasi dengan anak semaksimal mungkin dan jadilah ‘teman’ bagi anak sesuai dengan usia perkembangannya. Orangtua wajib mau belajar agar anak betah bersama orangtuanya.

Sumber:
Buletin From Us – RAMSAY Health Care, Edisi 11 Juli – September 2008.


Monday, June 30, 2008

Pelupa dan Perhatian Mudah teralih? Waspadai ADD!


Attention Deficit Disoder (ADD) atau gangguan pemusatan perhatian, ternyata tidak hanya dialami anak-anak. Tapi, orang dewasa pun bisa mengalaminya. Apa tanda-tandanya?

Selama ini Attention Deficit Disoder (ADD) atau gangguan pemusatan perhatian sering dianggap hanya bisa terjadi pada anak-anak. Faktanya, orang dewasa pun bisa terserang gangguan tersebut.

Hal itu juga dibenarkan oleh Josephine M. J. Ratna, M. Psych. Hanya saja, menurut staf medis di RS Surabaya Internsional itu, ADD pada orang dewasa sebenarnya merupakan gejala sisa dari gangguan semasa kecilnya. 

“Atau, bisa juga karena saat kecil gangguan ADD-nya tidak terdeteksi. Sehingga, ketika dewasa gejala tersebut tampak semakin jelas,” ujar Josephine. 

Artinya, ADD memang berproses sejak masa anak-anak hingga dewasa. ADD yang ‘tersisa’, atau muncul kembali ketika dewasa itu, mengindikasikan bahwa penanganan yang sudah dilakukan sejak terdeteksi itu belum sempurna. 

“Sebab, pada umumnya ADD berkurang, bahkan hilang seiring dengan perkembangan kognitif seseorang,” ungkap Josephine.

Gejala
Hingga kini, belum diketahui secara pasti penyebab ADD. Namun, ada bukti yang menyebutkan bahwa faktor biologis, genetis, dan lingkungan ikut berperan. 

Pada faktor biologis, ada dua neurotransmitter di otak yang terganggu, yakni yang memproduksi dopamine dan norepinefrin. Dopamine merupakan zat yang bertanggung jawab pada tingkah laku dan hubungan sosial, serta mengontrol aktivitas fisik. Sementara norepinefrin terkait dengan konsentrasi, memusatkan perhatian, dan perasaan. 

Faktor genetis tentu saja terkait dengan keturunan. Sehingga, apabila orangtua mengalami ADD, kemungkinan besar anaknya pun akan begitu. Dan, faktor lingkungan ini lebih besar pada karakter pola asuh dalam keluarga. 

Nah, untuk mengetahui apakah seseorang mengidap ADD atau tidak, salah satunya bisa Anda lakukan dengan memperhatikan gejala berikut ini:

·         Perhatian Mudah Teralih
Orang yang ADD, perhatiannya akan mudah teralih. Misalnya, ia sedang mengerjakan tugas A, belum selesai dengan tugas A, ia sudah mengerjakan tugas B.
“Atau, kalau lagi kumpul bersama teman, bisa jadi ia sibuk sendiri dengan handphone, sementara yang lain ngobrol,” kata Josephine. 

·         Lamban Berpikir
Seseorang yang ADD cenderung lamban dalam berpikir. Ia akan kesulitan mencerna informs dari orang lain, sehingga sulit baginya untuk menjalankan suatu perintah yang agak rumit. 

·         Mudah Lupa
Akibat kemampuannya yang kurang dalam mencerna informasi panjang atau detil, orang ADD jadi mudah lupa. “Ia suka lupa meletakkan barang dan marah kalau tidak ketemu,” ujarnya.

·         Sering Keliru
Ketidakmampuannya menyerap informasi dengan jelas, membuat orang yang ADD sering keliru menafsirkan sebuah perintah atau kata-kata dari orang lain. “Kadang, meskipun sesuatu sudah dilakukan secara rutin, orang ADD ttap lupa,” tukasnya. 

·         Sering Bertanya
Di antara rekan-rekan kerjanya yang lain, mereka yang menderita ADD menonjol karena sering bertanya. “Ketika rapat atau briefing, orang ADD akan sering bertanya karena kelambatannya mencerna informasi. Ia sering dikira telmi atau telat mikir, paahal bukan begitu. Karena memang ada yang ‘salah’ di otaknya, terkait dengan pemrosesan informasi,”
imbuh Josephine. 

·         Lainnya
Sebenarnya, masih banyak gejala yang bisa menggambarkan ADD. Gejala lainnya meliputi, suka interupsi, tak mau antri, mudah bosan dan gelisah, kreatif, intuitif, dan sebagainya.

Cara Mengatasi
Meskipun ada gejala yang mengarah pada terjadinya ADD, pengakan diagnosa secara medis tetap diperlukan. “Lakukan pemeriksaan langsung pada psikiater atau psikolog klinis yang praktik di rumah sakit,” ungkap Josephine. 

Penegakan diagnosa itu penting, apalagi jika gangguan pemusatan perhatian ini sampai berimbas pada diri sendiri maupun orang di sekitarnya. “Dengan diagnosa yang tepat, tentu bisa dilakukan terapi yang tepat pula,” imbuhnya. Berikut ini beberapa hal yang biasanya digunakan untuk terapi ADD:


1.    Obat
Pada mereka yang level ADD-nya cukup parah (sampai menghambat seseorang secara sosial, edukasi, dan emosional, red), dokter biasanya member obat sebagai salah satu bentuk terapi. “Tentu dengan resep khusus, tidak bisa ditebus sendiri,” ujar Josephine. Obat yang diberikan, yaitu dari golongan psikostimulan. Salah satunya adalah methylphenidate yang bekerja dengan meningkatkan pelepasan dopamine dan noradrenalin di dalam otak.

2.    Manajemen Diri
Hal yang paling mudah untuk mengurangi gejala ADD atau membantu proses terapi adalah dengan manajemen diri.
“Di sini sangat dibutuhkan kesadaran individu bahwa dirinya mengalami gangguan dan ada kemauan kuat untuk sembuh,” ungkap Josephine. Agar bisa memanage diri sendiri, yang dibutuhkan adalah:
o   Agenda
Ini merupakan sebuah ‘alat’ untuk membantunya mengingat detil sebuah pekerjaan. Selain itu, agenda juga berfungsi untuk mengatur jadwal aktivitas individu.
o   Pengingat
Pengingat atau reminder ini bisa dibuat sendiri. Misalnya, dengan memanfaatkan fitur di handphone. Fungsinya untuk mengantisipasi jika agenda hilang atau tertinggal.

3.    Bantuan Luar
Jika ada seseorang yang dapat dipercaya bisa membantu keluar dari masalah ADD, cobalah untuk memintanya bantuan.
Misalnya, kalau berada di rumah, minta suami untuk mengingatkan. Sementara kalau berada di kantor, mintalah bantuan pada sekretaris atau staf anda. (bianda)

Jangan Hanya Lihat Satu Gejala!
Josephine menegaskan bahwa penegakan diagnosa ADD pada wanita dewasa harus sangat berhati-hati. “Jangan asal melabel hanya karena melihat salah satu gejala saja, misalnya perhatian mudah beralih,” ujarnya. 

Bisa jadi gejala perhatian yang mudah beralih itu terjadi karena memang ‘kodrat’ wanita yang multitasking dalam kehidupan sehari-harinya. “Terlebih wanita zaman sekarang. Ia bisa berkarier sekaligus berumahtangga,” imbuhnya. 

Dan memang, seorang wanita dewasa itu bisa mengerjakan maupun memikirkan beberapa hal dalam satu waktu. Terkait dengan tugas kantor, misalnya ia seorang karyawati bagian administrasi, maka ia harus merekap data, melakukan inventarisasi, menerima telepon, dan sebagainya. Semua itu bisa dilakukan dalam waktu yang bersamaan. Sebab, tidak mungkin ketika sedang menginventarisasi dan ada telepon bordering, ia tidak mengangkatnya. 

Begitu pula dengan seorang wanita yang sehari-harinya menjadi ibu rumah tangga. Selain mengurus anak, ia harus mencuci, memasak dan sebagainya. Dalam pemikiran seorang wanita, akan sulit jadinya jika mengerjakan sesuatu menunggu satu hal selesai. 

“Dalam pikiran mereka, kalau dilakukan bersamaan bisa lebih cepat, kenapa harus menunggu selesai satu-satu? Jadi, jika hanya mengalami perhatian mudah teralih, jangan keburu memvonis ADD,” tandasnya. (bianda)

Sumber:
Tabloid Cantiq – Edisi 50, IV Juni 2008

Saturday, June 21, 2008

No Money No Honey

Bikin yang Meaningful

Selain disesuaikan dengan kemampuan, bujet pedekate sebaiknya disesuaikan dengan kepribadian dan keadaan. Kalau sudah sering ketemu, berarti butuh mengajaknya pergi ke tempat baru, yang artinya butuh bujet lebih besar. Sedangkan kalau orang yang didekati justru speechless ketika ketemu, cari jalur komunikasi lain. Misalnya lewat telepon, SMS, atau e-mail. Dengan begitu, mungkin bujetnya bisa lebih murah. Tapi, yang paling penting bukan besar kecilnya bujet pedekate. Yang penting, bagaimana dengan bujet itu, pedekate bisa terasa meaningful, bermakna. Jadi, bujet itu tidak perlu berlebihan.

Sumber:
Deteksi Jawa Pos, Sabtu 21 Juni 2008

Sunday, May 18, 2008

ABG Kasmaran? Capek Deh …


Masih ingat kasus Rico Ceper bukan? Duda berusia 34 tahun ini berpacaran dengan cewek ABG berusia 16 tahun, Stachy Lubis atau dipanggil achy. Meski saling cinta dan tak ada paksaan, cinta mereka dinilai terlarang. Achy memilih lengket bersama penyiar radio itu dibandingkan dengan orangtuanya.

Emosional, Pilihan Sesaat
Orangtua dengan anak ABG sudah selayaknya ekstra hati-hati. Josephine Ratna, M. Psych, psikolog klinis dari Rumah Sakit Surabaya Internasional menuturkan, saat memasuki usia puber, remaja cenderung emosional. Terutama pada ABG perempuan. 

“Biasanya keputusan yang mereka ambil lebih bersifat situasional. Bukan keputusan jangka panjang, karena mereka lebih mengedepankan emosi,” terang Josephine. Artinya peran dan sikap orangtua yang benar dibutuhkan saat anak memasuki masa rawan ini. Berikut beberapa tipsnya.

·         Orangtua harus menjalankan perannya sesuai usia anak. Bila anak berusia di bawah lima tahun, orangtua berperan sebagai orangtua. Saat anak berusia lima tahun hingga sebelum puber, orangtua berperan sebagai guru. Dan untuk usia puber ke atas, orangtua harus menganggap si anak sebagai teman. “Orangtua harus bisa mengubah pola asuhnya. Jangan terus-terusan menerapkan aturan lama,” saran Josephine.
·         Di saat anak masuk dalam fase puber, ketertarikan terhadap lawan jenis datang lebih cepat. Dan tak dimungkiri, dorongan-dorongan seksual pasti pernah dirasakan. “Di waktu inilah, butuh pengalihan dari dorongan-dorongan yang timbul tersebut. Misalnya mengikuti kegiatan sekolah yang membuat mereka bangga,” kata Josephine.
·         Cara berkomunikasi antara orangtua dan anak perlu diperhatikan. Orangtua tidak boleh selalu merasa benar dan memaksakan kehendaknya. Masa remaja adalah masa eksperimentasi. Semakin dilarang, anak akan semakin berontak dan tidak percaya. Nah, di sini orangtua harus pandai-pandai menyampaikan pesannya. Salah satunya lewat contoh-contoh.
·         Orangtua yang jenis kelaminnya dengan anak, diharapkan bisa lebih dekat hubungannya. Bila anak perempuan, maka peranan ayah sangat penting. Anak akan lebih percaya karena si ayah berbeda dengan dirinya. “Namun kadang si bapak tidak siap bila harus berdekatan dengan putrinya. Sementara si ibu tidak rela bila harus jauh dari putrinya yang beranjak dewasa,” kata Josephine.
·         Jangan langsung menghakimi apa yang dilakukan anak. Orangtua hendaknya mengerti kebutuhan anak saat itu. Di masa puber, anak butuh disayangi, diperhatikan dan dikagumi. “Tak ada orangtua yang ingin mencelakakan anaknya. Dan yang paling pas untuk tempat curhat adalah orangtua,” tegas Josephine. (tis)

Sumber:
Harian Surya, Minggu 18 Mei 2008

Sunday, May 11, 2008

Main Boneka Cara Digital

Bagus untuk Edukasi Kehidupan

Life simulation game adalah salah satu bentuk kemajuan teknologi di dunia permainan. Permainan itu mengambil beberapa fase dalam kehidupan, seperi bekerja, menikah, dan berinteraksi dengan orang lain. Prinsipnya, permainan seperti ini bagus untuk edukasi. Sebab, mengajarkan pemainnya untuk mengatur strategi hidup. Misalnya, bagaimana mengatur pengeluaran atau bagaimana mencari pekerjaan. Namun, tetap ada bahayanya. Apalagi jika saat bermain, ia lantas berbuat curang. Itu akan membuat pemain berpikir bahwa kehidupan bisa disikapi seperi itu. Padahal, kenyataannya tidak. Dalam kehidupan nyata, ada seperangkat aturan. Sementara itu, dalam life simulation game, tidak ada feedback. Yang penting, jangan sampai aktivitas memainkan life simulation game mengganggu interaksi kita dengan orang lain dalam kehidupan nyata.

Sumber:
Deteksi Jawa Pos, Minggu 11 Mei 2008

Tuesday, April 1, 2008

Happy Eifril Fool! - Ready Nge-Trick, Watch Out Di-Trick

Be Careful Philih the Victim

Nge-trick saath Eifril Fool is hak everybody. But, be careful philih the victim. Better kitcha philih friends yiang seumuruyan, jyangan philih other people yiang age-nya lebhih tcua. Because, friends lebhih bhisa understanding maksyud kitcha. Kalau kitcha nge-trick other people djengan age lebhih tcua, ditcakutkhan tcimbul miss communication you know. Kelhanjutcanya, kitcha dicap not polite. Tcidak shophan. If kitcha lihath djari cici fositif, actually Eifril Fool is the day for us for beladjayar about tolerance. because, dhalam mencalanhi life, sometimes humor is needed. Believe or not, Eifril Fool also bisa membyuat dua persons yang shedang bertcengkar become friends. Finally, kalauw kitcha nge-trick other people, jhangan mhemaksa merekha untchuk maklum. If the victim marhah, kitcha harhus tcerima. (kiy/dat)

Sumber:
Deteksi Jawa Pos, Selasa 1 April 2008

Sunday, March 30, 2008

Mengatasi Konflik di Tempat Kerja

Setiap orang yang bekerja pasti penuh mengalami konflik di tempat kerja. Bagaimana cara tepat mengatasinya?

Tempat kerja adalah salah satu tempat bertemunya orang dengan beragam karakter dan keinginan. Perbedaan karakter ataupun keinginan dari masing-masing pekerjaannya, bukan tidak mungkin akan menimbulkan gesekan yang berujung pada terjadinya konflik.
Memang, bukan hanya di tempat kerja, di lingkungan lain pun, di mana banyak orang berkumpul, akan berisiko memunculkan konflik. Demikian yang diungkapkan Josephine M.J. Ratna, M. Psych., Cilinical and Health Psychologist dari RS Surabaya Internasional.

Namun, di tempat kerja, kata Josephine, konflik pun bisa muncul dalam tipe relasi apa pun. “Bisa berupa konflik vertical antara bawahan dengan atasan, bisa juga konflik horizontal antarsesama pekerja yang posisinya sama,” ujarnya.

Ada Perbedaan
Menurut Josephine, secara umum penybab terjadinya konflik di tempat kerja adalah karena perbedaan yang dipicu oleh masalah komunikasi. Perbedaan tersebut meliputi:

·         Persepsi
Hampir tiap orang memiliki persepsi sendiri atas suatu hal yang sedang dihadapi ataupun didengar. Tanpa komunikasi yang jelas, perbedaan persepsi bisa menimbulkan konflik.
Misalnya, seorang general manager (GM) meminta manager-nya untuk mengambil barang di kantor pos. dalam persepsi si GM, manager-nya akan punya kesempatan berkenalan dengan direktur kantor pos.
Sementara dalam persepsi manager, bisa saja ia merasa diremehkan karena disuruh melakukan pekerjaan yang bisa dilakukan level office boy.
Akhirnya si manager berpikir kalau itu sikap yang merendahkannya. Itu berarti persepsi mereka tidak bertemu. Maka, terjadilah konflik!” tandasnya.

·         Perlakuan
Adanya perbedaan perlakuan dari atasan pada dua orang bawahan atau lebih pada level yang sama bisa menyebabkan konflik. Misalnya, manager memfasilitasi supervisor dari divisi keuangan sesuai dengan anggaran yang diajukan.
Sementara, supervisor dari divisi produksi tidak dipenuhi fasilitasnya. Padahal, anggaran yang diajukan sama. “Hal yang tidak fair seperti itu sangat berpotensi menimbulkan konflik,” ungkap Josephine.

·         Kepentingan
Setiap orang dalam sebuah organisasi tentu memiliki kepentingan masing-masing. Tak jarang kepentingan tiap individu berbeda. Sehingga, konflik bisa terjadi.

·         Karakter
Karakter tiap orang yang berbeda juga bisa menimbulkan konflik. Misalnya, dalam sebuah team work, satu orang sangat memerhatikan detil, sementara orang yang lain tidak.
Atau satu orang memiliki kepribadian ekstrovert sementara yang lain introvert.
Tanpa komunikasi yang baik, pasti akan sering terjadi konflik, dalam hubungan kerja mereka,” imbuh Josephine.

Baik dan Buruk
Sekilas mendengar kata “konflik” yang terbayang pasti sesuatu yang buruk. Padahal tidak selalu demikian. “Bahkan, jika dalam sebuah organisasi tidak ada konflik, itu namanya stagnan. Makanya, ada perusahaan yang sengaja menciptakan konflik agar ada dinamika di dalamnya,” tukas Josephine.

Tapi memang, ada berbagai akibat yang bisa ditimbulkan. “Ada yang baik dan buruk, bergantung bagaimana kita mengarahkan penyelesaiannya,” ujarnya.

Bisa berakibat baik jika penyelesaian konflik dilakukan dengan komunikasi yang tepat. “Jadi, konflik dibicarakan bersama, ada proses saling mendengarkan. Apapun hasilnya, semua saling belajar untuk memahami satu sama lain,” ucapnya.
Dengan penyelesaian yang baik, tiap individu akan menjadi lebih berkembang karena jiwanya diperkaya dengan usaha memahami pandangan orang lain. 

“Konflik itu menjadi sehat selama kita bisa menjadikannya sebagai pelengkap kekurangan dan sarana belajar,” katanya. 

Sebaliknya, konflik bisa berakibat buruk, misalnya jika tak kunjung diselesaikan, sengaja dihindari atau dijauhkan. Tentu itu bisa terakumulasi dan suatu saat meledak ketika ada pemicunya. 

“Kalau sudah meledak, kondisi bisa jadi sangat emosional dan irasional. Ujung-ujungnya merugikan diri sendiri lho!” imbuh Josephine. 

Akibat buruk bisa juga terjadi jika memang tidak ada pihak yang belajar berkompromi.
“Memang wajar kalau naluri orang itu ingin menang, tapi kan juga harus memerhatikan kepentingan orang lain. Kalau ngotot tapi merugikan banyak orang kan juga tidak baik,” ungkapnya. (bianda)

Bergantung Individu dan Sistem
Dalam pandangan Josephine, konflik bisa diselesaikan, bisa juga tidak diselesaikan. “Semua sangat bergantung pada individu dan sistem yang berlaku di perusahaan,” katanya.

Bergantung ada individu, misalnya pada orang dengan tipe introvert dan ekstrovert. “Kalau orang introvert akan cenderung menghindari konflik atau membuat jarak dengan sumber konflik. Sementara orang ekstrovert psti akan lebih konfrontatif ketika mengalami konflik,” paparnya.
Sedangkan bergantung pada sistem perusahaan, maksudnya bahwa tiap perusahaan memiliki manajemen tersendiri dalam menghadapi konflik. 

Dalam sebuah perusahaan yang baik, seharunya ada wadah tersendiri untuk menyelesaikan konflik. “Pada perusahaan- perusahaan besar biasanya sudah diciptakan sistem untuk mendengar suara hati karyawan,” tukas Josephine.

Misalnya, ketika seseorang berkonflik dengan rekan kerjanya, ia bisa meminta form dari supervisornya mengenai persoalan yang dihadapinya. Kemudian form tersebut diisi untuk diserahkan pada bagian HRD. 

Atau, ada juga perusahaan yang memberikan tempat khusus penampungan curhat para karyawannya, dengan meletakkan boks di depan front office. Bisa juga dengan mnciptakan line atau layanan khusus curhat tentang masalah pekerjaan. “Apapun bentuknya, sehatusnya tiap perusahaan punya. Namun, jangan sekadar punya hanya untuk menjadi formalitas. Melainkan, juga untuk ditindaklanjuti,” kata Josephine. 

Selain itu, ia juga mengingakan bahwa akar tejadinya konflik adalah komunikasi. Karenanya, jika komunikasi tidak berjalan lancar, tentu konflik yang terjadi akan semakin panas dan berlarut-larut. (bianda)

Munculkan Stres
Setiap kali terjadi konfik, sudah pasti akan memicu munculnya stress. Namun, stress jangan melulu diartikan sebagai sebuah tekanan yang menimbulkan efek negative. “Sebab, ada yang namanya eustress, dan ada yang namanya distress,” ungkapnya.

Eustress merupakan respon positif individu terhadap suatu stressor atau penyebab stress yang datang. Misalnya, ketika konflik karena perbedaan pendapat dengan atasan, seseorang justru termotivasi untuk memperuangkan pandangannya demi kepentingan orang banyak. “Itu malah baik,” kata Josephine.

Sedangkan, distress adalah kebalikannya. Sebab, merupakan respon negatif ketika individu dihadapkan pada stressor. Misalnya, karena mengalami konflik, seseorang malah jadi malasa, agresif dan hal-hal buruk lainnya. (bianda)

Sumber:
Tabloid Cantiq – edisi 36, III Maret 2008