Monday, November 15, 2010

Psst ... Jangan Bilang Mama, ya

Harus Proporsional

Biasanya, anak akan menyembunyikan nilai ulangan karena takut. Jika terjadi seperti itu, ortu jangan terburu-buru memberinya punishment. Sebaliknya, beri dia contoh yang baik tentang cara untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi. Ortu juga harus bersikap sportif. Artinya, ekspektasi ortu harus proporsional dengan kemampuan sang anak. Jangan mengharapkan hal terlalu tinggi yang tak mampu dicapai oleh sang anak. Hargai apapun hasil yang didapat oleh anak, berapa pun nilainya. Lihat proses pembelajaran yang dilakukan anak. Sebab, nilai tiga yang diperoleh dengan cara jujur jauh lebih baik daripada nilai tujuh yang diperoleh dengan cara curang. Dengan melakukan semua hal di atas, anak akan jadi lebih jujur pada diri sendiri serta lebih terbuka kepada orangtua. (daf/c8/fry)

Sumber:
Deteksi Jawa Pos, 15 November 2010

Tuesday, November 9, 2010

Ganti Nama Demi Langgengkan Perkawinan

Agar Diterima oleh Lingkungan Suami 

Menurut psikolog Universitas Airlangga, Dra. Josephine M. J. Ratna, M. Psych, Psikolog, mengganti nama bukanlah masalah besar. Tapi jarang menjadi komitmen besar bagi pasangan menikah.

"Mungkin ada yang merasa nyaman kalau semuanya menggunakan family name dari suaminya. Sehingga memudahkan pengurusan dokumen-dokumen penting," kata Josephine.

Secara psikologis, seorang wanita memakai nama belakang suami, dengan harapan sosial dan diterima di lingkungan baru dengan peran baru.

"Layaknya sebuah status baru, harapan sosial tentulah mengandung konsekuensi bahwa si istri harus membuktikan kemampuannya," lanjut Josephine.

Ditambahkan Jo, sapaan kecilnya, pergantian nama sama sekali tidak menjamin sebuah perkawinan menjadi langgeng dan bahagia.

"Persoalan mengganti nama sebenarnya bagaimana kita mengartikannya saja. Karena diganti atau tidak, tidak ada jaminan sebuah perkawinan akan bahagia dan langgeng. Tapi sekali lagi itu merupakan pilihan setiap orang sehingga bagi yang tidak melakukannya, jangan menghakiminya," kata Jo.

Sumber:
Tabloid Wanita Indonesia

Monday, November 8, 2010

Menjaga Psikologi Anak Merapi

Ada Trauma, tapi Optimisme Juga Masih Tinggi
Bencana letusan Gunung Merapi merupakan tragedi kemanusiaan yang menimbulkan beragam konsekuensi. Selain kehancuran dimana-mana, erupsi yang hingga kini terus berlangsung itu juga mempengaruhi banyak hal. Termasuk, kondisi psikologi anak-anak korban letusan yang saat ini menghuni posko-posko pengungsian di sejumlah kota di Jogjakarta dan Jawa Tengah.
Sepintas anak-anak itu memang masih terlihat ceria. Mereka tidak tampak seperti pengungsi-pengsungsi lain yang sudah dewasa. Namun, pengaruh psikis akan terlihat ketika anak-anak di posko pengungsian tersebut diajak menggambar, bernyanyi, dan bercerita bersama. Apa yang mereka ekspresikan hampir seluruhnya berkaitan dengan erupsi yang terjadi sejak 26 Oktober lalu itu.
Ketika disuruh menggambar, kebanyakan menggambar hunung dengan lava yang mengalir keluar. Saat diminta bercerita pun, kisah mereka tak jauh-jauh dari letusan Gunung Merapi. “Pokoknya cerita mereka hampir selalu berhubungan sama panas. Malah, pernah ada yang cerita begini. Dari puncak gunung keluar naga. Naga itu nyemburin api ke mana-mana. Semacam itulah,” kata Bunga Merilla Rahma Zita, mahasiswi Fakultas Psikologi Unair yang sempat menjadi relawan di Merapi setelah erupsi pertama yang juga menewaskan sang Juru Kunci Mbah Marijan itu.
Bunga dan rekannya, Nengsri Susanti, serta beberapa mahasiswa lain, sempat menjadi relawan di posko Banyubiru, Muntilan, Magelang. Di sana, selain membantu menyediakan logistic, mereka mendampingi para pengungsi secara psikologis. Bunga dan Nengsri membawa beberapa gambar yang dibuat dengan krayon oleh anak-anak di posko pengungsian tersebut.
Hasilnya memang cukup mencengangkan. Rata-rata anak menggambar gunung dengan persepsi masing-masing. Ada yang menggambar gunung yang mengembuskan asap hitam, ada pula yang puncak gunungnya mengeluarkan lahar merah. Ada pula yang puncak gunungnya berwarna kelabu. Bahkan, ada yang mnggambar gunung, namun puncaknya berupa lengkungan. Bagian puncak itu seperti lenyap setelah gunung meletus.
Beberapa gambar yang dibawa ke Surabaya juga menunjukkan coretan-coretan yang menggambarkan truk tentara serta posko pengungsian. Namun, pada gambar-gambar tersebut, anak-anak itu juga melukiskan daerah persawahan yang masih hijau, masih ditumbuhi pepohonan dan bunga.
Kendati demikian, gambar gunung itu tidak serta-merta menunjukkan trauma mendalam yang dialami anak-anak tersebut. “Orang Indonesia itu kalau disuruh menggambar, rata-rata refleksnya menggambar gunung kan,” kata psikolog Josephine M. J. Ratna M. Psych kepada Jawa Pos.
Yang menunjukkan keterkaitan dengan tragedi Merapi hanya bagaimana anak-anak itu menggambarkan puncak gunung yang diselimuti awan hitam atau mengeluarkan lahar. Namun, belum tentu juga itu menunjukkan trauma. Sebab, gambar-gambar tersebut dibuat pada Minggu (31/10) atau lima hari setelah Merapi meletus pertama. Rata-rata anak penghuni posko Banyubiru dibawa ke pengungsian sebelum wedhus gembel menerjang kampung mereka. Dengan demikian, hampir tidak ada yang melihat bagaimana kampung mereka luluh lantak oleh letusan Merapi.
Setelah berada di pengungsian pun, mereka tidak bisa melihat kondisi puncak Merapi karena selalu diselimuti kabut. “Mungkin mereka menggambarkan apa yang mereka dengar dari orang lain. Bukan apa yang mereka lihat sendiri. Memang ada trauma, tapi belum seberapa mendalam,” ujar Josephine.
Ibu dua anak itu menambahkan. Pada gambar-gambar tersebut terlihat bahwa anak-anak masih memiliki optimism yang tnggi. Indiksinya, mereka menggambarkan bahwa di bawah gunung masih ada sawah menghijau dan pak tani yang bekerja di sawah. “Artinya, mereka masih melihat desa mereka subur dan hijau. Seetelah letusan, mereka juga berharap desa mereka kelak masih seperti itu. Optimisme ini yang harus terus dipupuk oleh para relawan yang mendampingi mereka,” katanya. (rum/c2/nw)

Sumber:
Jawa Pos, Senin 8 November 2010

Saturday, November 6, 2010

Kencan Sekarang, Yuk

Lebih Menyenangkan

Seseorang pasti suka apabila diberi surprise. Sebab, sesuatu yang tidak terencana biasanya lebih indah dan menyenangkan. Sama halnya dengan kencan dadakan. Hal itu bisa dijadikan solusi untuk membangkitkan kembali hubungan yang datar-datar saja. Selain itu, kencan dadakan efektif sebagai media penguji pasangan terhadap jadwalnya dan seberapa penting kita buat pasangan. Itu bisa dilihat lewat rekasi dia dalam menanggapi ajakan kencan yang mendadak tersebut. Namun, terlepas dari semua itu, kencan dadakan membuat kita lebih kreatif dalam menyikapi permasalahan. Kita juga bisa belajar untuk terbuka kepada pasangan, misalnya jika kondisi finansial belum siap. Tentunya, dengan kencan dadakan tersebut, kita bisa memperoleh quality time bersama orang tersayang. (daf/c7/fry).

Sumber:
Deteksi Jawa Pos, Sabtu 6 November 2010

Monday, October 25, 2010

MENGEMBANGKAN MOTIVASI ANAK SEJAK DINI

Oleh: Josephine Ratna, M.Psych

Pendahuluan

Anak-anak sangat mudah mempelajari sesuatu yang baru. Namun memotivasi mereka untuk tetap mau belajar akan dapat dicapai dengan menciptakan lingkungan (iklim belajar) yang mendukung, dan orangtua idealnya mampu menjadi fasilitator dan bukan hanya penentu aturan. Mengembangkan motivasi anak sejak dini merupakan tugas yang gampang-gampang susah, artinya tugas ini bisa berhasil diemban oleh orangtua bila anak mereka memang memiliki motivasi dari dalam yang kuat untuk mencapai sesuatu atau bila orangtua mampu mengetahui motivasi dari luar yang mampu menggerakkan anak untuk melakukan sesuatu. Tugas ini bisa menjadi sulit bila anak tidak mampu menangkap makna suatu aktivitas sehingga is sulit menimbulkan motivasi dari dalam dirinya sehingga berbagai bentuk tawaran dari luar yang bermaksud untuk mendorongnya melakukan sesuatu belum tentu menarik perhatiannya.
Karena setiap anak berkembang melalui tahap perkembangan tertentu, adalah penting bagi orangtua untuk mengenal anak mereka sesuai tahap perkembangan yang sedang dilampauinya, sehingga diharapkan orangtua akan mampu menstimulasi dan memotivasi anak mereka untuk mau terlibat dan berprestasi dibidang tertentu.

 
Pengertian Motivasi dan Tipe Motivasi

Motivasi berasal dari kata motif yang dapat diartikan sebagai daya penggerak yang ada di dalam diri seseorang untuk melakukan aktivitas-aktivitas tertentu demi tercapainya suatu tujuan. Motif dapat diartikan sebagai suatu kondisi intern (kesiapsiagaan). Mc. Donald menyatakan bahwa motivasi adalah perubahan energi dalam diri seseorang yang ditandai dengan munculnya "feeling" dan di dahului dengan tanggapan terhadap adanya tujuan. Dari pengertian yang dikemukakan oleh Mc. Donald ini mengandung tiga elemen/ciri pokok dalam motivasi itu, yakni motivasi itu mengawalinya terjadinya perubahan energi, ditandai dengan adanya feeling, dan dirangsang karena adanya tujuan.
Motivasi merupakan kondisi psikologis yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu. Dalam kegiatan belajar, motivasi dapat dikatakan sebagai keseluruhan daya penggerak di dalam diri anak/siswa yang menimbulkan, menjamin kelangsungan dan memberikan arah kegiatan belajar, sehingga diharapkan tujuan dapat tercapai. Dalam kegiatan belajar, motivasi sangat diperlukan, sebab seseorang yang tidak mempunyai motivasi dalam belajar, tidak akan mungkin melakukan aktivitas belajar.
Ada 2 macam motivasi yaitu :

• Motivasi Intrinsik timbul dari dalam diri individu sendiri tanpa ada paksaan dorongan orang lain Contoh : keingintahuan, keinginan untuk membuktikan diri, kebutuhan untuk dipuji, minat besar untuk melakukan sesuatu yang menyenangkan

• Motivasi Ekstrinsik. Jenis motivasi ini timbul sebagai akibat pengaruh dari luar individu berupa ajakan, suruhan, atau paksaan dari orang lain yang terkadang diikuti dengan iming-iming sesuatu agar anak lebih memilih untuk melakukan sesuatu.


Masalah Berkaitan dengan Motivasi

1. Motivasi padam atau tidak punya motivasi

Masalah ini biasanya terjadi bila anak merasa takut gagal, frustrasi karena prestasi tidak stabil, tidak memahami harapan orang lain (orangtua, guru, teman), rendah diri /minder, masalah emosi (marah, sedih, benci), kurang perhatian dan kurang penghargaan.
Bentuk sikap dan perilaku pada anak dengan motivasi padam/rendah antara lain : Menyerah / putus asa (“Ah….sekolah susah…gak enak, aku gak mau sekolah”) ; Menghindari tugas (“Nanti saja mengerjakan PRnya…aku mau main dulu) ; Mengejek anak lain yang punya motivasi (“Buat apa belajar, nanti tidak sempat main”) ; Melakukan hal lain untuk mencari perhatian (bermain, melawak) ; Merasa diri tidak kompeten (“Aku kan bodoh, jadi memang tidak bisa berhitung”) ; Agresif dan impulsif (“Sudah! Aku berhenti saja!”) ; Tidak mau mencoba walaupun sudah dirayu dan didorong (“Pokoknya aku tidak mau, tidak mau….!”)

 
2. Motivasi yang salah

Hal ini biasanya terjadi karena ajakan atau paksaan dari luar, sehingga anak melakukan sesuatu didasari oleh tujuan yang tidak jelas/salah. Bila tidak segera diperbaiki, anak akan belajar memanipulasi tujuan demi tercapainya sesuatu.
Bentuk sikap dan perilaku anak yang mempunyai motivasi salah : Mengajak dan Memaksa orang lain melakukan hal yang tidak benar (“Ayo nyontek saja…. Daripada nilai jelek lalu kita tidak boleh bermain”) ; Berbohong (“Bilang saja kalau kita mau belajar, tapi nanti kita main dulu”) ; Memfitnah (“Bukan aku yang mencoreti buku tapi ada temanku yang menyuruh”)

 
3. Kesulitan menimbulkan motivasi anak

Bagi sebagian orangtua, menimbulkan motivasi anak bukanlah hal yang sulit, karena anak mereka memang memiliki keinginan besar untuk melakukan eksplorasi, mandiri, cerdas dan memiliki ambisi untuk mencapai sesuatu. Namun banyak orangtua mengalami kesulitan besar bahkan untuk membuat anak sedikit termotivasi untuk melakukan sesuatu. Berbagai upaya telah dilakukan misalnya memberi hadiah, menjanjikan sesuatu bila anak berhasil dan bahkan menghukum anak namun belum membuat sang anak termotivasi.
Anak yang acuh tak acuh (cuek) dan lebih senang menyendiri serta memiliki sifat dasar ‘pemberontak’ pada dasarnya tidak mudah termotivasi oleh hadiah maupun hukuman karena memiliki pola pikir yang berbeda dengan kebanyakan anak lain.

 
Strategi dan Kegiatan Untuk Menimbulkan Motivasi

Tantangan utama yang dihadpi orangtua dan guru adalah bagaimana menimbulkan motivasi intrinsic pada anak, sehingga anak akan dengan sendirinya termotivasi belajar hal baru, menyukai proses belajar itu sendiri dan mengetahui nilai / hasil akhir yang akan dicapainya melalui kegiatan ini.

Anak akan termotivasi bila :

1. Anak merasa kompeten (mampu melakukan sesuatu)

Orangtua hendaknya membantu anak untuk meraih kompetensi dan tidak membiarkan anak mereka berjuang sendirian. Beri tantangan yang diyakini mampu diselesaikan anak, sehingga ia merasakan suatu keberhasilan. Secara bertahap beri tantangan yang lebih besar disertai dengan kepercayaan orangtua bahwa anak akan mampu menghadapinya (bila perlu temani anak dengan sepenuh hati). Untuk menjadi kompeten, anak perlu tekun berlatih dan tugas orangtua juga memberi keteladanan dalam hal ketekunan. Orangtua yang menunjukkan kemalasan tidak dapat membantu anak termotivasi untuk rajin dan berprestasi.

2. Anak mempunyai pilihan dan dapat mengendalikan/mengontrol apa yang ia pelajari

Anak dan orang dewasa sekalipun akan lebih merasa nyaman bila mereka mempunyai alternative / pilihan. Adanya pilihan akan membuat anak terlatih untuk membuat pertimbangan, pembandingan dan akhirnya mengambil keputusan. Keberanian untuk mengambil keputusan akan menimbulkan motivasi untuk mencapai tujuan dari pilihan tersebut. Contoh, anak punya pilihan untuk belajar musik piano atau berenang. Orangtua membantu anak memberikan pertimbangan konsekuensi pilihan tersebut. Bila anak memilih untuk berenang, maka ia dipersiapkan untuk menjaga kondisi fisik dan diharapkan termotivasi untuk makan makanan bergizi.

3. Anak yakin akan kemampuan dirinya dan merasa / mendapatkan dukungan dari orangtuanya.

Ketika orangtua terlalu sayang kepada anaknya, maka mereka cenderung mengontrol apa yang dirasakan baik bagi anak dan kurang mempertimbangkan bagaimana perasaan anak sendiri akan pilihan orangtuanya. Dukungan yang paling dibutuhkan anak adalah rasa percaya orangtua bahwa anak mampu melakukan apa yang ingin dilakukannya. Bila orangtua tidak menyetujui apa yang akan dilakukan anak, sebaiknya orangtua memberi kesempatan anak mencoba dan tidak menghakimi di awal. Ketika anak semisal tidak berhasil menyelesaikan, maka peran orangtua sangat penting untuk tidak menunjukkan kekecewaan, tetapi tetap menunjukkan optimisme agar anak tidak berhenti mencoba karena orangtua juga tidak akan berhenti memberikan dukungan. Berada bersama anak dalam perjuangan adalah hal yang sangat dibutuhkan anak untuk tetap termotivasi melakukan sesuatu yang sulit.

4. Ada perpaduan antara kepribadian, minat belajar, gaya belajar, proses berpikir dan tahap perkembangan anak

Dalam mengembangkan motivasi anak, orangtua dan guru penting mempertimbangkan kepribadian, minat, gaya belajar, proses berpikir dan tahap perkembangan anak itu sendiri.

Anak dengan kepribadian introvert mempunyai cara yang berbeda dalam menunjukkan motivasinya melakukan sesuatu bila dibandingkan dengan anak yang ekstrovert.

Anak ekstrovert lebih mudah mengekspresikan apa yang diinginkannya sehingga orang lain lebih mudah mengukur tingkat motivasi anak. Seringkali ketika anak introvert mencapai keberhasilan, maka keberhasilannya tidak mendapatkan pujian yang belebihan bila dibandingkan pujian yang diterima oleh seorang anak ekstrovert.

Sejalan dengan bertambahnya usia anak, maka minat mulai ikut mengambil peran dalam membangun motivasi. Minat anak dapat diobservasi dari ketertarikan anak melakukan sesuatu, intensitas dan frekuensi ia menghabiskan waktu untuk melakukan suatu hal. Namun perlu disadari bahwa minat besar tidak selalu menghasilkan prestasi, tetapi adanya minat membuat anak menyukai dan menyenangi aktivitas tertentu. Artinya, minat memiliki peran besar dalam menimbulkan emosi positif dan emosi positif inilah yang akan memperkuat motivasi. Bila orangtua memperhatikan bahwa anak mereka berminat pada hal tertentu, beri dukungan dan tantangan agar minat tersebut semakin berkembang dan upayakan anak memiliki kompetensi yang berhubungan dengan minat tersebut. Perkuat rasa percaya diri anak dengan memberikan motivasi ekstrinsik, namun terus pupuk minat ke arah yang benar dengan memberi keteladanan. Contoh : Anak menunjukkan minat musik dan vokal. Ia suka bernyanyi sambil menari. Orangtua dapat membelikan CD atau VCD sehingga anak bisa melihat gaya dan cara menyanyi yang baik. Ketika ada kesempatan, maka anak didorong untuk berani menampilkan kemampuannya. Orangtua menunjukkan antusiasme ketika mendampingi anak dan mengambil foto atau merekam penampilan anak. Kemudian secara gembira mengevaluasi penampilan anak serta meyakinkan anak hal positif apa yang sudah ia dapatkan (pengalaman tampil di depan orang lain, keberanian menunjukkan kemampuan, dll).

Faktor gaya belajar sangat berperan dalam mengembangkan motivasi anak. Ada 3 macam gaya belajar yaitu : Visual (dengan melihat, menonton, melalui gambar, grafik) ; Auditori (dengan mendengarkan dan berdiskusi) dan Kinestetis (dengan melakukan). Anak- anak usia kurang dari 8 tahun biasanya memakai gaya belajar kinestetis, sehingga aktivitas di sekolah yang mengharuskan anak untuk duduk manis dan berdiskusi justru akan menurunkan minat dan motivasi belajar.

Di usia muda sekalipun, anak telah mengembangkan proses berpikir yang unik. Secara umum proses berpikir dibagi 3 yaitu proses berpikir analitis (mendetail) dan global (menyeluruh). Anak yang berpikir analitis biasanya memecah informasi secara mendetail dan kemudian mengurutkan secara logis, misalnya anak menceritakan secara runtut kegiatan yang dilakukan di sekolah. Anak analitis akan termotivasi jika berada di lingkungan yang teratur dengan aturan disiplin yang konsisten. Sebaliknya pembelajar global mengelompokkan informasi secara keseluruhan, cepat merangkum dan mencari inti cerita serta mengambil kesimpulan, tetapi sulit menerangkan langkah detail mencapai kesimpulan itu.

Tiap anak berkembang sesuai dengan tahap perkembangan tertentu, sehingga penting untuk menyesuaikan strategi mengembangkan motivasi menurut tahap perkembangan yang sedang dilaluinya. Contoh, anak usia 4-5 tahun akan mengalami masa Oedipus Complex atau Electra Complex (lihat Bagan Kompilasi Tahap Perkembangan), maka akan lebih efektif bila orangtua yang berlawanan jenislah yang mendampingi anak dan memberikan motivasi anak untuk melakukan sesuatu. Tantangan yang diberikan ibu pada anak laki-lakinya pada usia ini biasanya lebih efektif karena anak laki-laki pada masa ini lebih dekat dengan ibu. Tetapi bila cara Ibu memotivasi anak tidak menyenangkan makan akan menimbulkan bumerang dimana motivasi anak menjadi rendah atau bahkan padam.

Contoh penerapan : Doni (5.5 th) berminat belajar tentang dinosaurus, ia berpikir global, gaya belajar visual. Maka cara efektif mengajarkan tentang alam, Ibu (lawan jenis) dapat memakai gambar (melihat film), bercerita dari kesimpulan bahwa alam itu menyediakan berbagai sumber makanan dan mengambil contoh bagaimana dinosaurus makan dan hidup jaman dahulu.

Penutup

Memotivasi diri sendiri sama pentingnya dengan memotivasi orang lain, bahkan lebih penting karena keberhasilan itu menuntut 1% inspirasi dan 99% perjuangan. Mereka yang berhasil adalah mereka yang mengusahakan keberhasilan itu sendiri dengan mempertahankan motivasi diri untuk berbuat yang terbaik. Mari kita bantu anak kita masing-masing untuk mencapai keberhasilan masa depan dengan melatih mereka untuk mampu memotivasi diri sendiri. Selamat berjuang !

Wednesday, October 20, 2010

Penerapan Cognitive Behaviour Therapy dalam Kasus-Kasus Klinis

Oleh : Josephine M.J. Ratna, PG.Dip.Sc (UWA), M.Psych (Curtin), APS (Foreign Affiliate)


Pengantar

Cognitive Behaviour Therapy (CBT) merupakan salah satu alternative terapi yang dapat digunakan dalam intervensi psikologi, termasuk di dalamnya kasus-kasus klinis.

Baca ilustrasi di bawah ini :

Joe has been seeing a psychoanalyst for four years for treatment of the fear that he had monsters under his bed. It had been years since he had gotten a good night's sleep. Furthermore, his progress was very poor, and he knew it. So, one day he stops seeing the psychoanalyst and decides to try something different.


A few weeks later, Joe's former psychoanalyst meets his old client in the supermarket, and is surprised to find him looking well-rested, energetic, and cheerful. "Doc!" Joe says, "It's amazing! I'm cured!"


"That's great news!" the psychoanalyst says. "you seem to be doing much better. How?"


"I went to see another doctor," Joe says enthusiastically, "and he cured me in just ONE session!"


"One?!" the psychoanalyst asks incredulously


Yeah," continues Joe, "my new doctor is a behaviorist." "A behaviorist?" the psychoanalyst asks. "How did he cure you in one session?"


"Oh, easy," says Joe. "He told me to cut the legs off of my bed."


Dari ilustrasi di atas dan cukup banyak contoh nyata yang menunjukkan bahwa banyak kasus klinis akut dan kronis yang secara mencengangkan dapat di’selesaikan’ dan klien/pasien menunjukkan kemajuan yang berarti setelah terapis menerapkan teknik CBT. Apakah hal ini membuktikan bahwa CBT adalah teknik yang lebih baik dibandingkan teknik terapi lainnya ?

Tidak demikian. CBT pada dasarnya berkembang dan bersintesis dengan berbagai macam pendekatan lain, namun dengan menekankan adanya tahapan dan system yang memungkinkan baik klien, terapis maupun individu yang terlibat langsung maupun tidak langsung ikut menjadi bagian yang tidak terpisahkan untuk menghasilkan perubahan yang diharapkan.


Perkembangan Cognitive Behaviour Therapy

Dasar empiris dari pendekatan kognitif – perilaku dalam mengatasi permasalahan psikologis sebenarnya berawal dari pandangan Darwinian yang menyatakan bahwa ada kesinambungan antara manusia dan hewan, dimana perilaku primitif hewani dapat diaplikasikan dan digeneralisasikan pada manusia. Hal ini dibuktikan dengan teori Pavlov – Classical Conditioning dimana disimpulkan bahwa perilaku dan respon emosional dapat dikondisikan/dikontrol, termasuk di dalamnya adalah pemahaman tentang fenomena psikopatologi.

Konsep dan pemahaman bahwa ada faktor belajar pada manusia yang memungkinkan ia mengontrol perilaku dikenal dengan pendekatan Operant Conditioning, dimana ditekankan bahwa perilaku akan dikuatkan atau berubah tergantung pada manipulasi dari konsekuensi yang ada. Semakin menyenangkan konsekuensi yang akan diperoleh dari suatu tindakan, maka tindakan yang sama akan cenderung diulang. Semakin negatif akibat yang mungkin diterima dari suatu perilaku, diharapkan perilaku tersebut akan berubah atau menurun frekuensinya.

Teknik terapi perilaku yang lebih menekankan pada hasil akhir yaitu perubahan perilaku menjadi berkembang pesat dengan dikenalkannya berbagai pendekatan baru seperti :

• Watson dengan teori generalisasi pada rangsang yang mirip ;
• Wolpe dengan pendekatan desensitisasi sistematis ;
• Bandura dengan teori modeling/imitasi ;
• Mowrer dengan eksperimentasi enuresis (melibatkan aspek fisiologis) ;
• Dollard & Miller dengan teori psikoanalitik dan teori belajar yang menonjolkan peran budaya dan faktor sosial dalam pembentukan nilai dan perilaku ;
• Wolpe dengan penjelasan neurofisiologi terhadap munculnya rasa takut dan cemas serta bagaimana manusia pada dasarnya belajar tentang rangsang yang menimbulkan kecemasan dari respon fisiologinya ; memperkenalkan pentingnya pengalaman nyata pada individu yang nantinya dipergunakan untuk membuat individu tersebut mampu mengembangkan kemampuan imajinasi akan suatu situasi yang mencemaskan untuk kemudian mengontrolnya melalui teknik relaksasi

Dalam perkembangan selanjutnya, semakin banyak teori yang menekankan bahwa ada faktor lain yang sangat mempengaruhi perilaku dan bagaimana perilaku yang ini akan dapat menimbulkan konsekuensi yang lebih luas dan/atau patologis apabila tidak ditangani dengan benar. Faktor lain yang dimaksud adalah faktor kognitif dan pengaruh lingkungan.

Integrasi aspek kognitif dan perilaku berkembang dari teori 3 sistem yang diperkenalkan oleh Lang dan Rachman, dimana pada individu terdapat aspek perilaku, kognitif/afektif dan fisiologis yang walaupun berkaitan namun tidak berubah pada saat yang sama – desynchronous. Pemahaman tentang 3 sistem ini membawa angin segar dalam perkembangan intervensi psikologis karena semakin dipahami bahwa munculnya problem tidak terlepas dari 3 sistem yang saling berkaitan namun masing-masing sistem memiliki karakteristik unik yang perlu dipertimbangkan.

Pada akhirnya pendekatan CBT sangat dipengaruhi oleh :

• Teori Bandura tentang observational learning dan self-efficacy yang menekankan bahwa perilaku sangat dipengaruhi oleh proses pencernaan kognitif akan hal-hal yang diobservasi sebelum munculnya perilaku serta efektivitas dari perubahan perilaku yang sangat bergantung pada persepsi individu sendiri ;

• Meichenbaum yang memperkenalkan model self instructional training, dimana dikemukakan bahwa perubahan perilaku dapat terjadi bila individu sendirilah yang mengubah instruksi, menginginkan perubahan tersebut terjadi dan melatihnya ;

• Cognitive therapy yang diperkenalkan oleh Beck – yang menemukan korelasi antara negative thinking pada penderita depresi dan untuk mengatasi depresi sangat penting bagi individu tersebut untuk menyadari, menemukan dan mengubah pemikiran negatif otomatis yang muncul tentang diri sendiri, pengalaman saat ini dan masa depan (cognitive triad)

Pengertian dan Ciri-Ciri CBT

Cognitive Behaviour Therapy adalah model terapi terstruktur jangka pendek yang melibatkan kolaborasi antara individu yang bermasalah dengan terapisnya dalam rangka mencapai tujuan terapeutik yang telah disepakati bersama

Ciri-ciri CBT :

1. Melibatkan kerjasama aktif antara KLIEN, TERAPIS, KEY OTHERS, RELEVANT OTHERS

2. Psikolog sebagai mediator & fasilitator ; menolong klien mengenali pola berpikir yang menjadi sebab timbulnya disfungsi perilaku

3. Tujuan terapi adalah :

• menyusun secara seksama dan terstruktur tugas yang akan digunakan oleh klien dan terapis dalam rangka menolong klien mengevaluasi dan mengubah distorsi pola pikir dan disfungsi perilakunya

• Memberi kesempatan klien belajar beradaptasi dalam situasi kini dan mendatang

4. Mengacu pada :

• perubahan yang diharapkan klien (realistik dan memungkinkan adanya evaluasi)

• Keterlibatan dan partisipasi klien untuk menolong dirinya (self-help)

5. Time limited therapy

Model Pengukuran CBT

Ada beberapa cara yang biasa dipergunakan dalam CBT untuk mendapatkan informasi sekaligus menjadi bagian dari proses terapi, yaitu :

1. Behavioural Interviewing

2. Self Monitoring

3. Self-report questionnaires

4. Information from other people

5. Direct Observation of behaviour

6. Behavioural by-products

7. Physiological Measures

Ke-7 model di atas tidak harus dilakukan semuanya namun bergantung pada kasus yang ada.


Penerapan CBT

Untuk menggunakan pendekatan CBT dalam menangani kasus, sangat penting diperhatikan bahwa terapis harus terlebih dahulu memahami bahwa CBT tidak dapat diterapkan pada klien-klien tertentu (dependent personality, dalam pengaruh obat-obatan, kelainan neurofisiologi, tidak dapat diajak berkomunikasi, dan tidak punya konsep self-help).

CBT tidak dapat dijalankan terpisah dari pendekatan lainnya, sehingga dapat dikatakan bahwa CBT justru memberikan fleksibilitas bagi terapis dan klien untuk mengeksplorasi cara tertentu untuk mengungkap sesuatu.

Contoh : ketika interview, klien dan keluarga dapat diminta untuk menjabarkan onset (awal mula munculnya perilaku bermasalah) dengan membuat urutan kejadian (time event chart) atau bila dirasakan lebih nyaman dengan teknik psikoanalisa dapat pula dilakukan demikian.

Mengingat keberhasilan CBT sangat tergantung pada kolaborasi dan peran aktif klien (self instructional training), maka klien sering akan diminta memberikan catatan tentang permasalahannya untuk kemudian dibahas pada pertemuan selanjutnya. Memberikan PR dan proses mencatat hal-hal tertentu yang disepakati pada pertemuan sesungguhnya mempunyai fungsi terapeutik bagi klien sendiri sehingga pada pertemuan selanjutnya lebih ditekankan pada anchoring insight (mengkonfirmasi dan memberikan penegasan pada insight yang muncul).

Contoh penerapan CBT pada kasus kecemasan :

 Anxiety : perasaan cemas atas situasi yang dianggap / dirasakan membahayakan

 Tujuan CBT : membantu klien mengidentifikasi, mengevaluasi dan mengubah persepsi bahaya yang tidak realistis dan mengubah perilaku yang menyebabkan salah persepsi

 Tipe kecemasan : Panik, Generalized Anxiety

 Model kognitif ?

 Pelaksanaan CBT :

* Identifikasi pemikiran negatif

* Mengubah pikiran negatif dan

perilaku yang menyertai

pikiran tersebut

Contoh penerapan CBT pada kasus depresi :

 Faktor penyebab bervariasi dan interaksi banyak faktor

 Gejala depresi :

* sedih berlebihan

* mudah menangis

* rasa bersalah

* menganggap diri menyusahkan

* merasa tidak berguna kini & yang akan datang (masa depan)

* mudah tersinggung, cemas dan tegang

 Tujuan treatment depresi :

* Mempercepat penyembuhan dari episode depresi

* Mengalihkan individu ke situasi tidak / bukan depresif menjadi normal dan

proporsional

* Mencegah terjadinya episode berikut (kekambuhan) yang lebih parah

 Model kognitif ?

 CBT untuk depresi

Bertujuan agar klien dapat berpikir lebih rasional serta berani mengubah perilakunya

untuk keluar dari episode depresi

 Biasanya mencoba mengatasi cognitive errors

 Strategi utama : Cognitive à Behavioural à Cognitive Behavioural à Preventive strategies


Penutup

Cognitive Behaviour Therapy memberikan angin segar dalam intervensi psikologis dan sudah banyak penelitian yang menemukan efektivitas dan efisiensi dari penerapan pendekatan ini untuk kasus-kasus klinis. Namun CBT tidak dapat diterapkan untuk menyelesaikan semua masalah psikologis dan tidak dapat dilaksanakan terpisah dari pendekatan lain.

Terapis yang hendak menerapkan pendekatan CBT ini hendaknya melatih diri, memiliki keyakinan akan efektivitas intervensi ini dan fleksibel untuk mendesain program yang sesuai untuk tiap kasus. Latihan terus menerus akan meningkatkan kepekaan penggunaan model pengukuran dan pemberian tugas untuk mendapatkan informasi yang relevan sekaligus memungkinkan proses penggalian informasi sebagai bagian dari proses terapeutiknya sendiri. Ukuran keberhasilan adalah pada bagaimana klien mampu mengidentifikasi sendiri distorsi pola pikir yang mempengaruhi perilakunya atau bagaimana perilakunya menimbulkan pola pikir disfungsional yang menghambat aspek kehidupan lain dalam dirinya.

Wednesday, August 18, 2010

STOP Disuapin Ortu

Time Management

Pada dasarnya, nyuapin anak yang sudah beranjak remaja adalah tindakan yang salah. Sebab, seharusnya, mereka berusaha menunjukkan kemandirian. Dengan tingkat kemandirian anak yang minim, hendaknya, orangtua tidak memberikan kepercayaan serta kebebasan lebih kepada anak itu. Remaja yang masih menunggu disuapin orangtuanya akan tumbuh menjadi remaja childish dan manja. Bagi orangtua, berlakulah sedikit tega. Kalau anak mulai lapar, biarkan saja, toh nanti dia akan beranjak dari kegiatannya untuk makan. Biarkan dia makan sendiri. Kalaupun anak terlalu sibuk, tanamkan kepada mereka untuk tahu kapan menyempatkan diri untuk makan. Dengan demikian, secara tidak langsung, orangtua akan mengajarkan time management kepada anak.

Sumber:
Deteksi Jawa Pos, 18 Agustus 2010