Sunday, November 17, 2002

Musti Siap Keluar Duit - Risiko Nemenin Pacar Belanja

Refleksi Cinta

Cowok yang menemani pacarnya belanja, bukanlah hal yang patut dirisaukan. Di satu sisi, hal itu merefleksikan cinta yang ada di antara mereka. Di sisi lain, banyaknya cara belanja yang instan dan mudah, merangsang cowok untuk nggak sekadar menjadi pengantar saja. Tapi lebih ke konsultan dan teman belanja yang menyenangkan. Namun, cowok bukan makhluk yang suka membuang waktu untuk belanja. Mereka lebih suka langsung beli sesuatu. Tak heran, cowok terkesan males nganterin ceweknya berbelanja. Cowok suka pada cewek yang mandiri dalam urusan belanja.

Sumber:
Deteksi Jawa Pos, Sabtu 17 November 2001

Sunday, July 14, 2002

Celaka Dua Belas Impotensi!

Cobalah Katarsis

"Berdasarkan data, kasus disfungsi ereksi sebagian besar disebabkan penyakit organik"

Dalam nada tegas, psikolog Dra Josephine Maria Julianti Ratna PGDip (Sc), M. Psych., menekankan bahwa keberadaan seorang pria tidak ditentukan dari keampuhan fungsi kejantanannya.

"Bukan itu ukuran kemanusiaan seorang laki-laki," tegasnya menjawab Surya, Jumat (12/7) di ruang kerjanya.

Bahkan ia dengan tegas menyatakan munculnya persepsi tersebut mengesankan adanya pemahaman yang sangat gender. Bahwa sosok laki-laki itu harus kuat, harus mampu memuaskan pasangannya dalam multiorgasme dan sederet harus-harus lainnya sebagai suatu pola kognitif.

Bila sejuta harus itu diyakini dan diterima otak sebagai suatu persepsi kebenaran, akan terefleksi sebagai suatu kebenaran dalam bersikap. Sehingga bila pria tidak merasa greng atau tidak merasakan adanya stroom dengan pasangannya, ia sudah terlanjur memvonis kemampuan seksualnya sendiri. Yang kurang jantanlah, kurang greng, kurang besar watt stroomnya, bahkan tidak menutup kemungkinan ia memvonis dirinya homo.

"Itu sungguh keliru," sesalnya.

Itu sebabnya Josephine menyarankan untuk tidak bersikap negatif, karena nurani akan jauh lebih mendengar pengakuan tersebut yang belum tentu kebenarannya dibanding orang lain. Pasalnya, suara hati yang terlanjur menyuarakan hal-hal negatif sebagai premis ekstrem akan diterima otak sebagai suatu kebenaran.

"Mungkin tidak terlalu berpengaruh bagi mereka yang memiliki kepribadian kuat, namun sebaliknya bagi mereka yang berkepribadian labil, bila keharusan atau premis-premis ekstrem tadi tidak tercapai, ia sontak akan down dan sangat terpukul," terangnya.

Kalaupun benar ada gangguan seksual, seperti ejakulasi dini hingga impotensi, jangan dianggap sebagai hal yang sepele. Bahkan ia mengingatkan, karena sikap menerima tadi justru akan menggiringnya untuk merasionalisasikan 'kesalahan' yang terjadi.

Sebagai contoh, Josephine menyebutkan, acapkali karena perjalanan usia banyak pasangan menganggap seks sudah bukan prioritas lagi. Sehingga, bila ada kesalahan ataupun disfungsi seksual ia memilih cara untuk merasionalkannya dengan mengalihkan kelemahan pada kegiatan lain.

Seperti, lari dan membenamkan diri pada pekerjaan dan sebagainya.

"Jangan pernah bersikap seperti itu," sarannya. Karena, masalah tidak akan pernah selesai bahkan akan terlambat untuk menyadari adanya kesalahan yang ada.

Karenanya, Josephine menyarankan, kalaupun ada perubahan, "Alangkah lebih baiknya bila dilakukan secara bersama-sama dengan pasangan." Karena itu akan jauh lebih bermakna untuk menerima adanya perubahan yang terjadi pada keduanya. Termasuk adanya perubahan dalam disfungsi ereksi. Pasalnya, dengan adanya admit bahwa ada sesuatu yang salah di antara mereka, sikap itu sudah memenangkan 40 persen sendiri proses kesembuhan.

Karenanya Josephine begitu tidak setuju dengan adanya gangguan seksual yang dialami salah satu pasangan suami itri menjadikan alasan bagi pasangan yang lain memilih solusi jalan pembenaran yang keliru.

Misalnya, dengan mencari kenikmatan di luar rumah dengan cara berselingkuh. Terlebih bila pasangan yang memilih jalan selingkuh menggunakan alasan ketidakmampuan seksual pasangan sebagai tidak menerima nafkah batin.

"Itu sungguh sebuah dikotomi yang salah tentang nafkah lahir dan nafkah batin," sesalnya.

Ia malah mempertanyakan, apakah dengan memberi nafkah lahir, lalu kemudian nafkah batinnya beres begitu saja? Justru, keduanya bukan terpisah, tetapi saling melengkapi satu sama lain.

Lebih jauh Josephine menawarkan cara untuk berusaha katarsis dengan pihak ketiga. Dalam hal ini ia menyarankan untuk berbagi masalah, curhat sebagai salah satu langkah berkatarsis dengan ahlinya. Bisa psikolog ataupun ahli medis.

Kerap terjadi, kunci permasalahannya baru diketahui masing-masing pasangan justru setelah mereka saling berbuka diri di depan ahlinya. "Karena berdua mereka akan saling menceritakan dengan jujur persoalan yang mereka hadapi," yakinnya.

Sumber:
Harian Surya, Minggu 14 Juli 2002

Sunday, June 30, 2002

Bila Suami Anak Mami

Kegagalan Oedipus Complex

Menurut psikolog Dra. Josephine Ratna, M. Psych., sikap suami yang sangat tergantung secara psikis terhadap orangtua (ibu), itu karena dia gagal melampaui tahapan Oedipus Complex.

Suatu tahapan yang dilalui setiap orang pada usia antara 5-7 tahun. Dan itu terjadi akibat orangtua yang terlalu sayang kepada anak, sehingga tidak memberikan kesempatan pada anak untuk belajar mandiri. Sebuah rasa sayang terhadap anak yang salah dalam penerapannya.

"Karena terlalu sayang, si orangtua tidak memberi kebebasan anak. Setiap kali anak mau melakukan sesuatu selalu dilarang, dengan alasannya, khawatir terjadi sesuatu yang mencelakai anak. Begitu juga anak tidak diberi kesempatan mengerjakan sesuatu. Mainan atau pekerjaan yang seharusnya dilakukan anak, diambil alih, dengan alasan kasihan atau merasa anak tidak akan bisa. Itu dilakukan si ibu karena rasa sayangnya pada si anak, tanpa mengetahui atau memikirkan dampaknya psikologis pada anak," papar Vivin, panggilan akrab Josephine Maria Julianti Ratna.

Lebih parah lagi, lanjutnya, bila orangtua selalu mengatakan, "Kamu tidak bisa, sini biar mama yang mengerjakan," atau membela anak yang sedang dimarahi ayahnya. Kondisi ini membuat anak merasa nyaman bersama ibunya, sehingga tidak bisa melewati tahapan Oedipus Complex. "Kalau orangtua sayang terhadap anak, kasih sayang itu hendaknya diwujudkan dengan memberi kesempatan anak berusaha mandiri. Dan yang paling baik dilakukan adalah saat anak berusia 5-7 tahun, karena anak menentukan perkembangan dan keadaan psikis dikemudian hari.

Untuk mengubah sikap 'anak mami' menjadi seorang pria dewasa yang mandiri, menurut psikolog yang praktek di RS Surabaya International dan RSK Santo Vincentius A Paulo (RKZ) ini tidak mudah. Kuncinya ada pada ibunya. Selain harus memberi semangat untuk bersikap mandiri secara terus menerus, si ibu juga harus rela 'melepas' anaknya. "Kalau mengharapkan kesadaran muncul dari dai (suami- , Red) terlalu sulit," tandas Vivin. Kalau ibunya tidak 'rela' dan ikhlas melepas, kata Vivin, istri harus berjuang agar suami mau menjalani terapi atau konsultasi dengan psikolog. "Sekali lagi, kuncinya pada ibunya," tandas Vivin.

Sumber:
Harian Surya, Minggu 30 Juni 2002

Sunday, May 5, 2002

Bila Pasangan Tuntut Keperawanan

Media Barat pernah membanggakan selebriti kesayangan mereka, si Perawan Amerika, Brooke Shields. Meski akhirnya keperawanan si Blue Lagoon ini tidak memberinya jaminan kelanggengan biduk rumah tangganya dengan petenis Andre Agassi. Kini, publik Barat kembali menemukan sang perawan kebanggan mereka. Penyanyi remaja penuh talenta, Britney Spears, yang berani menyatakan dirinya masih perawan dan akan terus mempertahankannya sampai nanti menjelang pernikahannya.


Apa yang bisa kita tangkap? Ternyata era kebebasan yang selama ini menjadi dewa bagi negara-negara di belahan Barat sana, mereka masih berharap banyak pada sebuah keperawanan. Bagaimana dengan fenomena moral remaja dan anak baru gedhe (ABG) kita yang kian memprihatinkan itu?

“Kalau bisa dijaga bener deh sampai menjelang pernikahan nanti,” ujar keprihatinan peragawati papan atas Indonesia, Arzety Bilbina dan penyanyi R&B Sania, menyikapi keperawanan. Pasalnya, belum tentu si perempuan akan mendapat suami yang penuh pengertian mengenai keperawanan. Bagaimana kalau Mr Right atau Mr Perfect balik merongrong dengan menggunakan senjata keperawanan sepanjang hidup perkawinan mereka?

Sementara Josephine M. J. Ratna, psikolog Universitas Widya Mandala (UWM) Surabaya, menyarankan senada. Idealnya perempuan saat melangsungkan pernikahan masih virgin (perawan). Begitu pula mempelai laki-laki, masih perjaka.

Tapi kalau memang mereka sudah tak lagi perawan ataupun perjaka, tidak sepatutnya masalah itu dipertanyakan. Sebab, sebelum memutuskan untuk menikah, tentu mereka terlebih dahulu harus mengenal pasangan masing-masing.

“Kalau seorang suami mempertanyakan keperawanan istri, dan sebaliknya seorang istri mempertanyakan keperjakaan suami, sudah bukan saatnya. Itu hanya mencari-cari masalah dan pandangan mereka terhadap pernikahan sangat sempit. Pertanyaan semacam itu seharusnya dilontarkan sebelum mereka memutuskan untuk menikah,” tutur Josephine.

Karena itu, lanjutnya, pacaran sangat penting. Pacaran merupakan masa penjajakan untuk mengetahui lebih jauh tentang calon suami atau istri, untuk mengetahui sejauh mana mereka cocok untuk hidup bersama.

Pada masa ini, perempuan bisa mengungkapkan keadaan dirinya. Namun, khusus soal keperawanan, hendaknya jangan disampaikan secara vulgar dan juga jangan dengan nada seperti terdakwa, karena justru bisa ditafsirkan sebagai bentuk kesalahan dan kepasrahan. Cukup dengan isyarat, dan kalau ternyata calon suami tanggapannya negative, tidak berkenan, lebih baik hubungan tidak diteruskan.

Ia merasa heran dengan pasangan suami-istri yang sudah bertahun-tahun mengarungi kehidupan rumah tangga masih tetap mempersoalkan keperawanan dan menjadikan istrinya sebagai ‘bulan-bulanan’.

Itu sama artinya dia secara mental belum siap menikahi istrinya. Dalam kondisi semacam ini, keharmonisan rumah tangga sulit diharapkan. Seharusnya mereka bisa menerima apa adanya.


Bukan masalah fisik

Tentang operasi selaput dara, menurut Josephine, akan merugikan diri sendiri, terutama kalau suami bersifat terbuka. Sebab kalau suatu saat ketahuan, suami akan merasa telah dibohongi dan sulit untuk mengembalikan kepercayaannya.

Promosi mengenai keperawanan kini tengah digencarkan Singapura lewat program Singapore Virgins menyarankan senada. Bahwa operasi selaput dara sebelum menikah bukan jaminan. Karena keperawanan bukan sekadar urusan fisik semata. Namun terkandung aspek di dalamnya, dan nurani Anda akan terus ‘mempersoalkan’ selamanya.

Sasaran Singapore Virgins sebetuknya untuk menggarap kaum muda Negeri Singa itu yang cenderung bersikap mulai mengkhawatirkan. Bahkan berkembang anggapan di kalangan mereka, bahwa masih perawan berarti kuno dan tidak trendi. Berkembang pula anggapan, mereka yang belum ‘kehilangan’ keperawanannya merasa sebagai kelompok minoritas. Mereka juga merasa ketakutan, hingga usianya yang kepala dua atau tiga masih tetap perawan.

Banyaknya anggapan yang keliru mengenai hal itu. Seperti kasus klise, menyerahkan keperawanan sebagai bukti cinta kepada pasangan. Singapore Virgins menekankan bahwa, keperawanan tidak ada sangkut pautnya dengan usia seseorang. Bahwa cinta yang sesungguhnya lahir dari hati yang dalam, bukan dari mata atau tubuh seseorang. (lia/tri/SV)


Jika Mencintainya …

Jika Anda memang benar-benar mencintainya, maka:

• Hargai dia dan keputusannya.

• Jangan pernah mencoba mempengaruhinya untuk melakukan hubungan seks.

• Jangan pernah menekan dirinya.

• Lakukan hubungan seksual hanya setelah menikah.

• Tunjukkan rasa cinta tanpa pemaksaan hubungan seksual. (tri/SV)



Sumber:

Harian Surya, Minggu 5 Mei 2002

Sunday, April 7, 2002

Beri Kesempatan Suami

Beban yang dihadapi Nia Daniaty, secara psikologis memang berat. Meskipun yang memiliki persoalan itu suami, namun ebagai public figure, justru ia yang menjadi sorotan dan pergunjingan masyarakat. Apalagi perkawinan pertamanya juga berantakan.

Untuk meringankan beban itu, menurut psikolog Dra. Josephine Maria Julianti Ratna, M. Psych., Nia Daniaty harus berpikir secara rasional, tidak perlu hanyut dalam persoalan yang dihadapi suaminya. Juga tidak perlu menyalahkan suami, karena hal itu akan memunculkan persoalan baru dalam rumah tangganya.

"Persoalan yang sedang dihadapi adalah persoalan suami dengan wanita yang pernah menjadi istrinya. Beri kesempatan kepada suami untuk menyelesaikan," kata Josephine.

Apa Nia tidak merasa ditipu? "Persoalan suami tak semuanya diketahui istri. Begitu juga sebaliknya, karena setiap individu memiliki persoalan masing-masing. Apalagi mereka baru menikah dan pacarannya juga relatif sebentar. Wong yang sudah berkeluarga selama bertahun-tahun saja belum tentu tahu semua persoalan yang dihadapi pasangan kok. Nia Daniaty tak perlu merasa dirinya ditipu," kata Josephine.

Disamping itu, lanjutnya, Nia tidak perlu banyak  berkomentar tentang kasus itu. Semakin dia banyak berbicara, akan menimbulkan polemik, dan tentunya dia akan semakin menjadi sorotan masyarakat dengan berbagai macam penilaian. Dan hal itu justru akan menjadikan beban Nia semakin berat.

Sumber:
Harian Surya, 7 April 2002

Dekatkan sejak pacaran

“Dia akan bertambah tertekan kalau ternyata suami membela ibunya”
Hubungan menantu perempuan dengan mertua perempuan selalu digambarkan penuh konflik bagaikan hubungan kucing dan anjing, tentu saja gambaran semacam itu tidak sepenuhnya benar, kenyataannya banyak yang rukun-rukun saja.
Namun juga tak dapat disalahkan, sebab kenyataannya memang banyak terjadi konflik antara menantu perempuan dan mertua perempuan.
Konflik itu muncul karena secara psikologis, mertua perempuan sadar atau tidak sadar merasa anak laki-lakinya ‘dirampas’ menantunya. Ibu yang bertahun-tahun membesarkan dan mendidik merasa kehilangan. Apalagi kalau anaknya itu anak lelaki satu-satunya atau anak kesayangan.
Keadaan bertambah parah jika sebelum menikah anak laki-lakinya itu pencari nafkah utama keluarga dan selalu mengutamakan kepentingan ibu, sedang ibunya mengurus keperluan putranya. Setelah menikah, tentu perhatian itu ditumpahkan kepada istri serta anak-anaknya. Akibatnya, ibu merasa diacuhkan dan disia-siakan.
Karena perasaan-perasaan itu, maka seringkali ibu mertua bersikap sinis, galak dan selalu mengkritik menantu perempuannya. Segala hal mengenai menantu perempuannya dinilainya kurang. Keadaan bertambah parah kalau ibu dan menantu perempuan tinggal satu rumah, apalagi tinggal di rumah miliki suami, maupun suami masih tinggal di rumah orangtuanya.
Urusan dapur pun menjadi masalah. Ibu mertua tidak mau ‘daerah kekuasaannya’ direbut menantu, karena merasa dia yang berkuasa di rumah itu. Selain itu, dia merasa lebih tahu seera makan anaknya. Sikap ibu mertua makin menjadi-jadi kalau dulu dia tidak merestui perkawinan anaknya, baik karena perbedaan status, ekonomi atau lainnya. Hal ini bisa menjadi alasan untuk menjatuhkan menantu perempuannya.
Dalam kasus seperti itu, umumnya menantu perempuan hanya bisa mengeluh pada suami, dan tentu saja hal itu mengganggu keharmonisan rumah tangga mereka. “Dia akan bertambah tertekan kalau ternyata suami membela ibunya,” kata Dra. Josephine Maria Julianti Ratna M. Psych, Psikolog di RS Surabaya International, yang juga Direktur Australia Education Centre di Surabaya.
Mengapa konflik seperti itu jarang terjadi antara menantu lelaki dan mertua perempuan ataupun mertua lelaki? “Karena menantu laki-laki kodratnya sebagai pencari nafkah keluarga, sehingga sebagian besar waktunya dihabiskan di luar rumah. Dengan demikian, sumber-sumber penyebab konflik dengan mertua bisa dihindari,” ujarnya.

Sinergi Segitiga
Untuk menghindari konflik menantu perempuan dengan mertua perempuan, menurut Josephine, mereka harus bisa menciptakan hubungan segitiga, yaitu hubungan antara istri dengan suami, istri (menantu) dengan mertua dan suami dengan ibunya.
“Jangan berupa hubungan garis lurus (istri-suami-mertua, atau istri-mertua-suami, Red), karena yang berada di tengah menjadi serba salah,” tandas Josephine.
Agar tercipta hubungan segitiga yang baik, lanjut Josephine, hendaknya dimulai sedini mungkin. Akan lebih bagus di saat masih pacaran. Hendaknya pacar sering diajak ke rumah calon mertua, supaya saling kenal dan menjadi keluarga sendiri. Dengan begitu, ketika menikah, mertua tak merasa anaknya dirampas orang lain. Sementara menantu perempuan juga harus bisa bersikap baik dan menjadikan mertua perempuan seperti ibu kandungnya sendiri.
“Bisa juga dengan cara lain. Sebelum menikah, buat perjanjian dengan suami, tak perlu harus tertulis, yang menyangkut tiga hal. Pertama, berapa lama akan bersama mertua. Kedua, apa yang diharapkan suami terhadap istri. Ketiga, tentang kewenangan. Mungkin masalah ini tidak etis bagi kita sebagai orang Timur, tapi demi kebaikan bersama, tidak ada salahnya,” tutur Josephine. (lia)

Sumber:
Harian Surya, Minggu 7 April 2002

Sunday, February 10, 2002

Ciptakan Variasi Dalam Hubungan Seksual

Dalam kehidupan rumah tangga, tidak jarang terjadi kejemuan dalam hubungan seksual. Dalam masalah ini suami lebih merasakan, sebab langsung mempengaruhi ereksi mereka. Sementara di pihak istri merasakan akibat kegagalan suami melakukan kewajibannya.
Keadaan seperti itu menyebabkan suami mudah sekali tergoda untuk melakukan penyelewengan, lebih-lebih mereka yang tidak mempunyai keteguhan hati. Mereka akan mencoba melakukan hubungan seks dengan wanita lain, untuk membuktikan kemampuan seksualnya yang terganggu dengan sang istri.
Apabila gangguan itu semata-mata karena kejemuan, maka hubungan seks dengan wanita lain akan selalu berlangsung dengan baik, atau paling tidak, lebih baik daripada dengan istrinya. Sementara di pihak istri, seringkali menimbulkan dugaan bahwa suami tidak bisa melaksanakan kewajibannya dengan baik karena telah melakukan hubungan seks dengan wanita lain.
Akibatnya, sudah bisa dibayangkan. Meski seks bukan satu-satunya kebutuhan dalam kehidupan rumah tangga, tetapi ini bukan masalah sepele. Kegagalan dalam hubungan seksual akan besar pengaruhnya dalam keharmonisan mereka. Baik suami maupun istri sama-sama berpotensi melakukan penyelewengan ataupun perselingkuhan, dan itu merupakan awal kehancuran rumah tangga.
Menurut Psikolog RS Mitra Keluarga, Josephine M. J. Ratna, kejemuan hubungan seksual bisa terjadi pada siapa saja. Bahkan boleh dibilang setiap pasangan suami istri pernah mengalami hal semacam itu. “Ini harus segera diatasi. Kalau dibiarkan berlarut-larut, bisa menghancurkan keharmonisan rumah tangga,” tandas Josephine.
Bagaimana mengatasinya? “Pertama, harus melakukan penyegaran, menciptakan suasana percintaan baru yang lebih harmonis, untuk menghilangkan suasana monoton yang membosankan,” kata mantan Pembantu Dekan I Fakultas Psikologi Universitas Widya Mandala Surabaya itu.

Inovasi Baru
Pada prinsipnya, upaya tersebut adalah menciptakan inovasi baru yang berpengaruh secara psikis dalam hubungan pribadi dengan istri. Ini bisa dilakukan antara lain dengan berlibur berdua ke suatu tempat romantis atau ke tempat yang memiliki kenangan indah bagi Anda berdua, mengubah suasana rumah, khususnya ruang tidur, melakukan variasi posisi dan rangsangan hubungan seksual, variasi dalam penampilan dan sebagainya.
Hal seperti ini benar-benar harus diterapkan dan dilakukan dengan sebaik-baiknya, terlebih lagi dengan penuh variasi. Misalnya, dengan berlibur akan membangun suasana baru yang secara psikis memberikan rangsangan seksual yang berbeda dan baru pula.
Suasana hari-hari yang ikut memberikan variasi rangsangan seksual fisik dan psikis saat mengubah suasana ruang tidur. Bau pewangi ruangan atau bau parfum yang digunakan di dalam ruang tidur juga harus bervariasi agar tidak selalu sama. Demikian juga dengan penampilan diri sehari-hari, baik pria maupun wanita.
Dalam hal perilaku seksual, rangsangan dan posisi hubungan seksual perlu variasi, jangan itu-itu saja seperti yang dilakukan selama ini. Memang, untuk melakukan variasi, baik dalam hal suasana maupun perilaku seksual tidak semudah yang diduga. Untuk itu, diperlukan komunikasi yang baik dengan pasangan. Ini penting, karena biasanya komunikasi akan mulai macet bila disangkutpautkan dengan masalah seksual. Ada kalanya satu pihak sudah siap, namun pihak lain masih mempunyai hambatan yang disebabkan faktor tertentu. Di sini perlunya keterbukaan dalam berkomunikasi.
“Yang tidak kalah pentingnya, saling mempelajari keinginan pasangan. Harus tahu apa yang diinginkan dan apa yang tidak disukai pasangan. Dan semua ini kuncinya adalah saling terbuka dalam komunikasi,” kata psikolog yang juga Manajer AEC (Australian Education Centre) Surabaya itu.
Selain kejemuan, faktor lain seperti usia dan penyakit juga menyebabkan timbulnya gangguan terhadap pasangan suami-istri yang sudah lama menikah. Karena itu, selain mengatasi kejemuan, sebaiknya kesehatan juga perlu dijaga bagi kedua belah pihak. Ini dimaksudkan agar kehidupan seksual dapat tetap terbina. Tetapi harus dipahami bahwa terjadinya kemunduran fungsi seksual seiring dengan bertambahnya usia tidak akan dapat dihindari. Untuk yang satu ini, diperlukan saling pengertian dan keterbukaan yang besar dari kedua pasangan.
Janganlah melihat seks sebagai suatu ungkapan fisik belaka. Jika dimungkinkan, tuntutan mental dan spiritual dalam pembahasan dan perilaku seks, maka ekspresi keindahan tersebut menjadi suatu ekspresi normal dari tubuh yang normal dan sehat. (lia)

Sumber:
Harian Surya, Minggu 10 Februari 2002

Sunday, February 3, 2002

Perginya Sepasang Sahabat Karib - Pakai Heroin Sebelum Bertindak Keji

Anak-Anak Mesti Diberdayakan

Mengomentari tragedi di Pasuruan ini, psikolog Josephine M. J. Ratna, M. Psych., menyatakan keprihatinannya. Kebetulan, ia mengikuti perkembangan kasus ini dari awal. Ia menduga, salah satu penyebab terjadinya kasus ini, dua pelaku adalah pemakai narkoba. "Ingat, efek dari pemakaian narkoba bisa bermacam-macam. Ada yang bisa membuat rendah diri, beringas, pembohong, dan sebagainya," papar konsultan dan dosen psikologi di Surabaya ini, Kamis (17/1).

Begitu kuatnya efek pemakai narkoba, kata Josephine, hingga meski pemakai sudah tiga tahun berhenti, dampak buruknya masih ada. "Jadi, jangan dikira sekarang berhenti, sebulan dua bulan tidak ada akibatnya," lanjutnya.

Soal begitu gampangnya para pelaku membunuh, Josephine menduga, semua itu tak lepas dari kecenderungan cara berpikir masyarakat sekarang. Masyarakat sekarang ini maunya menerapkan pola berpikir yang efektif dan efisien. Begitu juga dengan pelaku kejahatan. Dalam melanggar hukum pun dia menggunakan pola pikir seperti itu."

Josephine memerinci, "Saat pelaku ingin melenyapkan seseorang, mereka melakukan cara yang paling memungkinkan untuk menghalangi terungkapnya kejahatan mereka. Apapun caranya. Kalau perlu dengan membunuh. Sungguh mengerikan, memang."

Untuk menghadapi kejahatan seperti ini, yang paling mendesak, menurut Josephine adalah memberdayakan anak. Di antara cara yang bisa dilakukan, "Biasakan anak-anak untuk memberitahukan keberadaannya, mengajari anak berkata tidak, bila diajak seseorang yang belum kenal, atau menjerit bila diperlakukan tidak benar. Juga ada baiknya sedini mungkin anak belajar olahraga beladiri. Dengan begitu bisa membela diri bila diserang orang."

Kendati hanya anak-anak, Josephine mengingatkan, mereka bisa mencegah terjadinya kejahatan atas diri mereka bila orangtua memberi arahan tentang upaya-upaya pencegahan tadi. "Jangan remehkan anak kecil, lho. Biasanya orangtua kan suka begitu. Mereka menganggap, anak-anak bisa apa sih. Padahal mending anak diberdayakan, ketimbang tidak sama sekali."

Menanggapi kasus ini, Sri Redjeki Soemaryoto, S. H., Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan menegaskan bahwa para pelaku pemerkosaan sudah selayaknya mendapat hukuman yang seberat-beratnya. "Saya mengakui, UU yang kini berlaku masih harus direvisi. Hukuman bagi pelaku pemerkosaan masih terbilang rendah dan tak sebanding dengan penderitaan jiwa dan fisik yang ditanggung korban," ungkap Sri pada NOVA, Senin (21/1) di Jakarta.

Ditambahkan Sri, pihaknya tengah mendesak DPR untuk mengesahkan substansi RUU tentang hukum acara pidana mengenai perlindungan korban dan saksi peristiwa perkosaan. "Namun pemerintah tentunya tidak dapat bergerak sendiri tanpa adanya dukungan dari masyarakat."

Untuk mencapai keadilan hukum bagi perempuan dan anak, ujar Sri, seluruh masyarakat harus bergerak bersama. Masyarakat juga mesti semakin peduli melalui sikap nyata yang menentang kejahatan pada perempuan dan anak, sampai pada bentuk yang sekecil-kecilnya. "Untuk semua gerakan yang membela hak-hak anak dan perempuan, Pemerintah akan memfasilitasi. Kami juga akan memberikan advokasi dan dukungan sebesar-besarnya," tegas Sri.

Sumber:
Tabloid NOVA No. 727/XIV - 3 Februari 2002

Friday, January 11, 2002

Perhatikan Pakaian Dalam

Banyak hal yang harus dilakukan untuk membina dan menjaga keharmonisan rumah tangga. Di antaranya, saling memberikan perhatian dan menghargai. Bentuk perhatian pun bisa bermacam-macam. Kebiasaan yang dilakukan Manajer Australian Education Centre di Surabaya, Josephine M. J. Ratna, merupakan salah satu contoh kecil, namun cukup berarti.

Ibu dua orang anak, kelahiran Surabaya, 4 Januari 1968 ini tidak pernah lupa memberikan ucapan selamat kepada suami, setiap tanggal kelahiran, pernikahan dan tanggal pertama pacaran. "Jadi setiap bulan, minimal tiga kali kami memberikan ucapan selamat. Suami juga melakukan hal yang sama. Untuk tanggal perkawinan dan tanggal pertama pacaran, terkadang suami yang lebih dulu memberi ucapan selamat, terkadang saya. Meski tampak sepele, sangat bermakna bagi kami," tuturnya.

Selain memberi ucapan selamat, yang juga mendapat perhatian serius adalah pakaian dalam. Masters of Clinical and Health Psychology Curtin University of Technology, Western Australia ini tidak sembarangan dalam memilih pakaian dalam. Selain memperhatikan faktor kesehatan, juga masalah keindahannya. Ia tidak mau mengenakan pakaian dalam asal-asalan, demi suami.

"Kalau kita mengenakan pakaian dalam asal-asalan, menurut saya itu sama dengan tidak menghargai suami, sebab pakaian dalam hanya suami yang melihatnya. Begitu juga pakaian di rumah. Masak kita di hadapan orang lain mengenakan pakaian bagus, di hadapan suami mengenakan pakaian seenaknya. Bisa-bisa suami lebih suka memperhatikan orang lain," kata alumni Fakultas Psikologi Universitas Airlangga Surabaya ini.

Sumber:
Rubrik Tamu Kita - Harian Surya, Jumat 11 Januari 2002

Sunday, January 6, 2002

Seks Bukan Faktor Utama Selingkuh

Tidak dapat dihitung, berapa banyak rumah tangga berantakan melakukan perselingkuhan, tak peduli yang melakukan selingkuh itu salah satu pasangan mereka, atau kedua-duanya. Semua orang juga tahu, dampak buruk perselingkuhan bukan hanya dirasakan pasangan suami isteri, tapi juga anak-anak mereka. Bahkan tidak jarang sanak famili juga ikut menanggung malu.
Boleh dikatakan budaya dan norma-norma yang ada di masyarakat tidak membenarkan perselingkuhan dan menyebut perbuatan itu sebagai aib. Semua agama juga melarangnya. Meski demikian, perselingkuhan selalu terjadi dan tumbuh subur di masyarakat. Perselingkuhan juga selalu menarik untuk dibicarakan, apalagi kalau dilakukan oleh publik figur. 
Belakangan ini, perselingkuhan kembali menjadi pembicaraan nasional, menyusul pengaduan Mamay ke Polda Metro Jaya. Suami artis Nicky Astrea itu menuduh istrinya telah berselingkuh dengan laki-laki lain. Terlepas benar atau tidaknya tuduhan itu, yang jelas perselingkuhan bisa terjadi dimana-mana. Persoalannya, mengapa perselingkuhan itu terjadi?
Menurut Director International John Robert Power Surabaya, Indayati Oetomo, perselingkuhan diawali dari rasa ketertarikan, sebagai akibat kebutuhan salah satu dari pasangan suami istri tidak terpenuhi oleh pasangannya. Untuk memenuhi kebutuhan itu, ia mencari atau menemukan kepada orang lain – lawan jenis tentunya.
“Dari keteratrikan itu, disadari atau tidak akan berkembang ke arah yang lain, yang puncaknya pada masalah seks. Jadi kebutuhan seks bukan pemicu atau faktor utama, tetapi hampir dipastikan selalu mengikuti. Jadi perselingkuhan itu manusiawi, hanya saja manusiawi yang negative,” tutur Indayati, ditemui di kantornya, Jumat (4/1) siang.
Menurut dia, umumnya kebutuhan yang tidak bisa dipenuhi suami atau istri adalah kebutuhan akan pengakuan atau dihargai. Ini kebutuhan sangat mendasar bagi setiap manusia, namun sering kali dilupakan oleh pasangan suami istri. Selain itu, banyak juga karena pasangan tidak bisa atau enggan diajak bicara persoalan, khususnya persoalan yang berkaitan dengan pekerjaan, apalagi memberikan solusi. Akibatnya, uneg-uneg itu ditumpahkan kepada orang lain. karena ada kecocokan, akhirnya berkembang ke hal-hal lain.
Hal yang sama diungkapkan psikolog Josephine M.J. Ratna. Ia sependapat bahwa kebutuhan seks bukan pemicu utama, tetapi selalu mengikuti dalam perselingkuhan. “Ada juga sih perselingkuhan dilakukan hanya karena untuk memenuhi kebutuhan seks, tetapi prosentasenya kecil,” kata psikolog yang dinas di RS Surabaya Internasional ini.
Sama halnya dengan Indayati Oetomo, Josephine juga berpendapat, awal perselingkuhan terjadi karena ada kebutuhan yang tidak terpenuhi oleh pasangan, dapat dipenuhi wanita atau laki-laki lain. Menurut dia, kebutuhan teman untuk membicarakan persoalan yang sedang dihadapi, terutama persoalan yang berkaitan dengan pekerjaan, paling dominan dan menjadi awal perselingkuhan.
“Merasa menemukan orang yang enak diajak bicara, mulai ketertarikan, mulai ada perhtian terhadap orang itu, dan frekunsi berkomunikasi, semakin sering. Topik pembicaraan pun berkembang, bukan hanya sebatas persoalan pekerjaan dan puncaknya pada hubungan seksual. Semua itu dilakukan secara sadar. Namun tanpa dia sadari, terjadi perubahan pada perilaku dan itu sulit dikembalikan meski perbuatan mereka diketahui istri atau suaminya,” kata psikolog yang menjabat Manager Australian Education Centre di Surabaya.
Sekalipun perselingkuhan bisa terjadi di setiap lapisan masyarakat, baik Indayati maupun Josephine tidak menyangkal bahwa kecenderungan berselingkuh lebih besar dilakukan oleh mereka yang secara ekonomi telah mapan. “Semakin tinggi tingkat ekonomi seseorang, kecenderungan berselingkuh semakin besar, karena mereka memiliki fasilitas penunjang dan kesempatan yang lebih besar. Bagaimanapun juga, perselingkuhan membutuhkan saran dan juga dana,” kata mereka.
Josephine memperingatkan, perselingkuhan bisa saja terjadi pada kehidupan rumah tangga yang adem ayem. “Biasanya hal ini dilakukan pasangan laki-laki, karena dia merasa tidak tega mengajak istri membicarakan masalah pekerjaan atau urusan-urusan di luar rumah. Dia merasa kasihan terhadap istri yang capek mengurus rumah dan anak-anak, masih harus dibebani dengan persoalan pekerjaan yang dihadapi suami. Suami memilih mencari wanita lain untuk teman bicara, dan akhirnya berkembang menjadi perselingkuhan,” kata Josephine. (lia)

Jadikan rumah seperti ‘Supermarket’
Baik Indayati Oetomo maupun Josephine M. J. Ratna sependapat bahwa perselingkuhan lebih didominasi kaum pria. Bahkan dalam tahun 2002 yang disebut-sebut sebagai kebangkitan wanita, perselingkuhan tetap masih akan didominasi kaum adam. Alasan mereka, selain faktor kesempatan, sanksi moral terhadap wanita berselingkuh jauh lebih berat dibandingkan sanksi yang dijatuhkan kepada kaum pria.
Bagaimana supaya perselingkuhan tidak ‘mengotori’ kehidupan rumah tangga? Indayati menyarankan agar wanita bisa menjadikan rumah sebagai ‘supermarket’ yang mampu memenuhi semua kebutuhan suami, jadikan rumah tangga sebagai surga, sehingga suami ingin selalu segera pulang dan betah di rumah.
“Memang tidak semudah yang diucapkan, harus ada kemauan dan kesungguhan. Selain itu juga harus ada keterbukaan. Dengan begitu bisa saling memahami keinginan pasangan,” katanya.
Selain itu, lanjutnya, wanita harus mau belajar untuk meningkatkan wawasan dan punya kepedulian terhadap persoalan-persoalan yang berkaitan dengan pekerjaan suami. Kalau toh tidak bisa memberikan solusi terhadap persoalan yang sedang dihadapi suami, paling tidak bisa memahami dan merasakan. Juga perlu menjaga penampilan agar suami tidak merasa bosan.
Josephine menambahkan, selain saling terbuka, saling memperhatikan dan menciptakan komunikasi yang baik, pasangan suami istri perlu membuat perubahan dan menciptakan sesuatu yang baru yang bisa dibina secara berkelanjutan. (lia)

Sumber:
Harian Surya, 6 Januari 2002