Thursday, August 23, 2001

Seks Saat Pacaran Sarat Problem

Soal seks kadang menjadi pelik dan rumit terutama bagi pasangan yang sedang berpacaran. Apalagi bila salah satu pihak merasa tak nyaman atau dirugikan akibat tuntutan seks tersebut. Malah hubungan kadang menjadi renggang bila antara keduanya tak terjalin komunikasi yang baik dalam menyelesaikan urusan seks.

Menurut Josephine M. J. Ratna M.Psych, orang yang berani pacaran punya konsekuensi harus berani berhadapan dengan lawan jenis.

"Karena lawan jenis bisa memberikan stimulus (rangsangan) yang sangat luar biasa. Bagaimana mencegahnya, ya tergantung bagaimana mengelola stimulan itu," ujar Josephine M. J. Ratna M.Psych, Rabu (22/8).

Dosen Fakultas Psikologi Universitas Katolik Widya Mandala ini mengatakan urusan seks dalam berpacaran di Indonesia masih terikat budaya timur. Namun demikian, tak jarang norma ini dilanggar, sehingga urusan seks dalam pacaran dianggap hal biasa. Bahkan sering urusan seks dikedepankan dalam berpacaran.

Namun demikian, pacaran yang hanya mengutamakan seks bisa sarat problem karena akan menyulitkan pasangan membuat keputusan, mau menuruti permintaan pacar atau tidak.

Celakanya, tak jarang seks dianggap sebagai wujud dari cinta. "Bila itu yang diminta namanya bukan lagi cinta, namun nafsu yang memanfaatkan kesempatan dan digunakan sebagai pengalaman yang dibungkus dengan kedok cinta. Karena itu harus berani menolak," papar Josephine.

Namun mereka yang terlanjur melakukan hubungan seks pada masa pacaran, katanya, tak perlu menyesali apa yang telah dilakukan. Karena mereka yang sudah berani pacaran sudah berorientasi jangka panjang.

"Kalau ada penyesalan setelah terjadinya hubungan seks hanya akan menunjukkan sikap picik dan tidak gentlemen. Semestinya bila tahu akibat dari hubungan seks, mereka tidak melakukan hal itu," urainya.

Ditambahkan, seseorang yang terjebak hubungan seks karena ada peluang melakukan. Misalnya suasana yang mendukung. Cara mengatasinya bisa dilakukan dengan komunikasi yang baik, mengalihkan pembicaraan yang menjurus persoalan seks atau melibatkan orang lain dalam pembicaraan. "Namun yang paling penting adalah iman dan kontrol diri," imbuh Josephine.

Sumber:
Harian Surya, Kamis 23 Agustus 2001

Sunday, April 15, 2001

Mencurigai Mantan Pacar Istri

Harus Terbuka dan Percaya

Untuk menghindari agar tidak menimbulkan masalah di belakang hari, sebaiknya bila kita putus hubungan dengan pacar, harus ada komitmen. Berupa sikap bagaimana hubungan antara dua orang ini selanjutnya. "Apakah mereka akan menjadi teman, ataukah tidak usah berhubungan sama sekali," tutur Dra. Josephine M. J. Ratna, psikolog yang dosen di Fakultas Psikologi Unika Widya Mandala Surabaya ini.

Menurut Josephine, hidup manusia itu tidak hanya sekarang saja. Karena itu, bila kita putus hubungan dengan seseorang bukan tidak mungkin suatu saat kita akan bertemu lagi. Di sinilah pentingnya komitmen setelah putus itu harus kita lakukan.

Setelah kita putus dengan seseorang, lalu menjalin hubungan kembali dengan orang lain, ada baiknya kita terbuka dengan pasangan baru kita. "Keterbukaan itu tidak perlu terlalu mendetail, tapi cukup misalnya kita pernah dekat dengan si A, dan seterusnya," kata Josephine.

Kalau tidak cerita, bisa juga pada saat kita bertemu dengan mantan pacar, kita memperkenalkan dia pada pasangan kita bisa bermasalah. Tapi kalau pasangan tidak mempersalahkan, sebaiknya tidak usah menceritakan bagaimana hubungan kita dengan dia sebelumnya. Semua itu memang tergantung dari masing-masing pihak, dan sejauhmana keterbukaan dan kepercayaan masing-masing pasangan.

Sebenarnya mencurigai atau mencemburui mantan pacar suami atau istri itu tak perlu. Bila kita sudah memutuskan untuk menikah, semua masa lalu suami atau istri, itu adalah bagian dari masa lalu yang tidak perlu dipersoalkan.

Bila pasangan menyadari hal ini, maka curiga atau cemburu itu tidak perlu lagi. Menjalin hubungan sebagai teman dengan mantan pacar, boleh-boleh saja. Bahkan tidak jarang juga ada yang bisa menjalin hubungan bisnis dengan mantan pacar suami atau istri. Semuanya tergantung seberapa besar keterbukaan dan kepercayaan masing-masing pasangan. Selain itu, sejauh mana sikap pasangan itu terhadap mantan pacar suami atau istrinya. "Misalnya di hari-hari besar seperi Idul Fitri kita ingin mengirim kartu ucapan, mintalah izin suami atau istri, dan pakailah atas nama keluarga," kata Josephine.

Bila mantan pacar menelepon di kantor, sebaiknya juga cerita pada pasangan. Umumnya belum cerita, salah satu pasangan sudah khawatir atau takut dulu. Padahal tidak selalu demikian. Bila memang tidak ada apa-apa, tidak perlu takut. Bisa juga dengan cara lain, misalnya, meminta mantan pacar untuk menelepon di rumah, di saat suami ada, sekaligus sambil kenalan.

"Dengan begini hubungan pertemanan jadi lebih enak, karena tidak ada hubungan pribadi," ucapnya.

Dalam kesempatan ini Josephine kembali menekankan pentingnya keterbukaan dan juga kepercayaan antara pasangan untuk menyikapi hal ini. Dan bila masing-masing sudah memberikan kepercayaannya, jangan sampai kepercayaan itu disalahgunakan.

"Bagaimanapun semua orang punya masa lalu, tinggal bagaimana kita menyikapinya dengan arif, dan menjadikan masa lalu itu hanya sebagai bagian dari perjalanan hidup, bukan untuk mencari masalah baru," tutup Josephine M.J. Ratna.

Sumber:
Harian Surya, Minggu 15 April 2001

Thursday, March 29, 2001

Ketika Cowok Lagi Mupeng

Tergantung Penilaian Masyarakat

Dari sudut pandang psikologi gender, sebenarnya hal tersebut terjadi karena peran sosial yang dilekatkan pada jenis kelamin tertentu, misalnya cowok. Masyarakat terlanjur memberi suatu peran khusus terhadap laki-laki. Mereka (laki-laki) dipandang memiliki peran yang lebih besar dalam banyak hal, termasuk dalam aktivitas seksual. Oleh karena itu, ketika laki-laki bertindak agresif, hal itu dianggap biasa dan masyarakat cenderung bisa menerima. Tapi lain halnya jika yang melakukan tersebut adalah wanita. Tindakan seperti ini akan dianggap aneh atau menyimpang. Makanya, permasalahan ini tidak bisa dilepaskan dari bagaimana masyarakat itu menilai dan memberi peran sosial pada satu golongan tertentu.

Sumber:
Deteksi Jawa Pos, Kamis 29 Maret 2001

Sunday, January 28, 2001

Menyakiti Anak, Tidak Bijaksana

Konsultasi Psikologi

Pertanyaan:
Kepada pengasuh konsultasi psikologi yang saya hormati. Saya ibu dari dua anak, anak pertama saya perempuan (2 tahun), kedua laki-laki (4 bulan). Saya tidak tahu kenapa sekarang saya jadi sedikit kurang sabar sama anak pertama saya. Sepertinya dia selalu menggoda dengan bertingkah laku yang selalu membuat saya marah dan akhirnya memukulnya, padahal menyesal setelah memukulnya.

Mungkin karena saya capek karena kerja mengurus rumah dan anak-anak sendirian, trus sorenya harus kerja lagi (gantian dengan suami waktu saya kerja). Sebenarnya tujuan saya ingin melatih dia untuk disiplin dan tahu mana yang seharusnya boleh dan tidak boleh dilakukan, pertanyaan saya adalah:
1. Apakah sikap saya terlalu berlebihan untuk usia anak saya (2 tahun)?
2. Apakah cara saya mengingatkan dia dengan memukulnya itu salah?
3. Bagaimana caranya supaya bisa mengontrol diri untuk sabar dan ngga ingin memukul?

Atas jawaban dan sarannya saya ucapkan terima kasih.

Hormat saya,
Ny. Andi, Surabaya

_________________

Jawaban:
Ibu Andi terkasih, mencermati permasalahan yang ibu alami, saya menganggap perilaku anak pertama ibu sesungguhnya merupakan suatu bentuk protes, diantaranya:
1. Kecemburuan atas kehadiran anak yang seringkali lebih menyita perhatian orangtua (khususnya ibu).
2. Merasa dibandingkan dengan adik.
3. Terhadap perubahan perilaku orangtua sendiri, artinya secara sadar dari hari ke hari si anak sesungguhnya mengamati perubahan perilaku orangtuanya sendiri. Seperti ibu sendiri juga menyatakan bahwa akhir-akhir ini ibu menjadi sering kurang sabar. Saya mengira bahwa perilaku anak (yang terkadang memicu kemarahan ibu) boleh jadi sebagai bentuk peniruan atas perilaku kita sendiri. Jangan lupa bahwa anak adalah makhluk peniru yang luar biasa terutama pada tahap perkembangan dimana ia belum memiliki nilai pribadi yang menjadi panutannya, sehingga ia lebih banyak meniru dari lingkungan terdekatnya. Bila orangtua sulit mengontrol emosi marah dan kemudian memukul anak, bukan tidak mungkin ia akan meniru perilaku memukul tersebut di kemudian hari, yang mungkin dilakukannya terhadap teman atau adiknya, ketika ia merasa marah.
4. Mencerminkan kebutuhan anak, artinya kemungkinan anak membutuhkan waktu dan perhatian yang lebih besar dari ibu, misalnya ia sesungguhnya ingin bermain dan ditemani, namun dengan usianya yang masih sangat belia, ia belum dapat mengekspresikan kebutuhannya ini, sehingga terkadang orangtua juga tidak dapat mengetahui maksud anak dengan jelas.

Pada anak usia 2-7 tahun, sikap dan perilaku anak biasanya lebih dilandaskan pada upaya untuk memperoleh hadiah dan tidak menerima hukuman. Pada usia ini, anak belum dapat membedakan mana yang benar dan tidak benar menurut orang lain. Ukuran masih didasarkan pada penilaian dirinya sendiri. Jadi agak kurang tepat bila perilaku anak diukur berdasarkan perilaku orangtuanya (yang sudah berada pada tahap perkembangan yang jauh lebih tinggi).

Memukul anak, menurut saya, kurang bijaksana, karena masih banyak cara lain yang dapat dilakukan agar tidak menimbulkan permasalahan baru. Apabila ibu merasa sedang tidak mampu mengontrol diri, maka sebaiknya ibu 'keluar' dari situasi ini dan membiarkan orang lain (misalnya suami) untuk membantu menangani anak. Bila tidak ada orang lain, cobalah untuk menarik nafas panjang dahulu dan minum segelas air untuk menenangkan diri dan kemudian kembali berusaha merespon dengan tenang.

Ajari sang kakak untuk duduk dan berhadapan sama tinggi, sehingga ibu dapat menatap matanya (jangan sekali-kali memarahi anak dengan berteriak dan berdiri karena anak hanya mendengar suara keras dan tidak mampu menangkap pesan sesungguhnya), kemudian peluklah ia dan katakan: "Ibu mencintaimu" dan tidak ingin menyakiti dia. Lalu perlahan dan lembut katakan apa yang ibu harapkan dari dia disertai janji bila anak dapat memenuhinya, maka ibu akan meluangkan waktu lebih banyak bersamanya.

Mengingat usia 2-5 tahun anak masih sangat membutuhkan pendampingan secara fisik (berada berdekatan dan bersentuhan) khususnya untuk memberikan rasa aman ("bahwa ada ibu di samping saya yang akan melindungi saya"), maka hendaknya kebutuhan akan rasa aman ini dapat diberikan oleh orangtua dengan merencanakan lebih baik lagi akan waktu kerja dan orang lain yang dapat dimintai bantuan untuk menggantikan ibu apabila ibu berhalangan.

Selamat mencoba dan semoga ibu semakin dapat menikmati peran ini dengan mengamati pertumbuhan dan perkembangan anak-anak tercinta setiap hari dengan segala keunikannya. Saya yakin dengan kesabaran yang lebih besar, disertai rasa syukur, segala permasalahan dapat dijalani dan diselesaikan.

Sumber:
Harian Surya, Minggu 28 Januari 2001

Tuesday, January 9, 2001

Masa Generativity

Sebagai anak muda, munculnya bayangan tentang malam pertama itu wajar. Mereka sedang mengalami perkembangan sebagai seorang manusia. Pada suatu saat, akan memasuki masa generativity, yaitu masa mencari pasangan hidup. Munculnya gambaran itu bisa dipicu oleh hal-hal seperti percakapan dengan sesamanya, setelah menonton suatu film, atau saat membicarakan masa depan. Umumnya, malam pertama yang ada dalam benak mereka bergantung pada harapan mereka sendiri. Apa yang ada dalam pikiran cowok dan cewek tentu berbeda. Cowok cenderung melihat keadaan diri mereka, sedangkan cewek lebih ke arah pasangannya. Jadi sebaiknya, tiap individu mencari gambaran tentang malam pertama mereka sendiri, agar kelak sesuai dengan yang diharapkan.

Sumber:
Deteksi Jawa Pos, 9 Januari 2002