Monday, November 15, 2010

Psst ... Jangan Bilang Mama, ya

Harus Proporsional

Biasanya, anak akan menyembunyikan nilai ulangan karena takut. Jika terjadi seperti itu, ortu jangan terburu-buru memberinya punishment. Sebaliknya, beri dia contoh yang baik tentang cara untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi. Ortu juga harus bersikap sportif. Artinya, ekspektasi ortu harus proporsional dengan kemampuan sang anak. Jangan mengharapkan hal terlalu tinggi yang tak mampu dicapai oleh sang anak. Hargai apapun hasil yang didapat oleh anak, berapa pun nilainya. Lihat proses pembelajaran yang dilakukan anak. Sebab, nilai tiga yang diperoleh dengan cara jujur jauh lebih baik daripada nilai tujuh yang diperoleh dengan cara curang. Dengan melakukan semua hal di atas, anak akan jadi lebih jujur pada diri sendiri serta lebih terbuka kepada orangtua. (daf/c8/fry)

Sumber:
Deteksi Jawa Pos, 15 November 2010

Tuesday, November 9, 2010

Ganti Nama Demi Langgengkan Perkawinan

Agar Diterima oleh Lingkungan Suami 

Menurut psikolog Universitas Airlangga, Dra. Josephine M. J. Ratna, M. Psych, Psikolog, mengganti nama bukanlah masalah besar. Tapi jarang menjadi komitmen besar bagi pasangan menikah.

"Mungkin ada yang merasa nyaman kalau semuanya menggunakan family name dari suaminya. Sehingga memudahkan pengurusan dokumen-dokumen penting," kata Josephine.

Secara psikologis, seorang wanita memakai nama belakang suami, dengan harapan sosial dan diterima di lingkungan baru dengan peran baru.

"Layaknya sebuah status baru, harapan sosial tentulah mengandung konsekuensi bahwa si istri harus membuktikan kemampuannya," lanjut Josephine.

Ditambahkan Jo, sapaan kecilnya, pergantian nama sama sekali tidak menjamin sebuah perkawinan menjadi langgeng dan bahagia.

"Persoalan mengganti nama sebenarnya bagaimana kita mengartikannya saja. Karena diganti atau tidak, tidak ada jaminan sebuah perkawinan akan bahagia dan langgeng. Tapi sekali lagi itu merupakan pilihan setiap orang sehingga bagi yang tidak melakukannya, jangan menghakiminya," kata Jo.

Sumber:
Tabloid Wanita Indonesia

Monday, November 8, 2010

Menjaga Psikologi Anak Merapi

Ada Trauma, tapi Optimisme Juga Masih Tinggi
Bencana letusan Gunung Merapi merupakan tragedi kemanusiaan yang menimbulkan beragam konsekuensi. Selain kehancuran dimana-mana, erupsi yang hingga kini terus berlangsung itu juga mempengaruhi banyak hal. Termasuk, kondisi psikologi anak-anak korban letusan yang saat ini menghuni posko-posko pengungsian di sejumlah kota di Jogjakarta dan Jawa Tengah.
Sepintas anak-anak itu memang masih terlihat ceria. Mereka tidak tampak seperti pengungsi-pengsungsi lain yang sudah dewasa. Namun, pengaruh psikis akan terlihat ketika anak-anak di posko pengungsian tersebut diajak menggambar, bernyanyi, dan bercerita bersama. Apa yang mereka ekspresikan hampir seluruhnya berkaitan dengan erupsi yang terjadi sejak 26 Oktober lalu itu.
Ketika disuruh menggambar, kebanyakan menggambar hunung dengan lava yang mengalir keluar. Saat diminta bercerita pun, kisah mereka tak jauh-jauh dari letusan Gunung Merapi. “Pokoknya cerita mereka hampir selalu berhubungan sama panas. Malah, pernah ada yang cerita begini. Dari puncak gunung keluar naga. Naga itu nyemburin api ke mana-mana. Semacam itulah,” kata Bunga Merilla Rahma Zita, mahasiswi Fakultas Psikologi Unair yang sempat menjadi relawan di Merapi setelah erupsi pertama yang juga menewaskan sang Juru Kunci Mbah Marijan itu.
Bunga dan rekannya, Nengsri Susanti, serta beberapa mahasiswa lain, sempat menjadi relawan di posko Banyubiru, Muntilan, Magelang. Di sana, selain membantu menyediakan logistic, mereka mendampingi para pengungsi secara psikologis. Bunga dan Nengsri membawa beberapa gambar yang dibuat dengan krayon oleh anak-anak di posko pengungsian tersebut.
Hasilnya memang cukup mencengangkan. Rata-rata anak menggambar gunung dengan persepsi masing-masing. Ada yang menggambar gunung yang mengembuskan asap hitam, ada pula yang puncak gunungnya mengeluarkan lahar merah. Ada pula yang puncak gunungnya berwarna kelabu. Bahkan, ada yang mnggambar gunung, namun puncaknya berupa lengkungan. Bagian puncak itu seperti lenyap setelah gunung meletus.
Beberapa gambar yang dibawa ke Surabaya juga menunjukkan coretan-coretan yang menggambarkan truk tentara serta posko pengungsian. Namun, pada gambar-gambar tersebut, anak-anak itu juga melukiskan daerah persawahan yang masih hijau, masih ditumbuhi pepohonan dan bunga.
Kendati demikian, gambar gunung itu tidak serta-merta menunjukkan trauma mendalam yang dialami anak-anak tersebut. “Orang Indonesia itu kalau disuruh menggambar, rata-rata refleksnya menggambar gunung kan,” kata psikolog Josephine M. J. Ratna M. Psych kepada Jawa Pos.
Yang menunjukkan keterkaitan dengan tragedi Merapi hanya bagaimana anak-anak itu menggambarkan puncak gunung yang diselimuti awan hitam atau mengeluarkan lahar. Namun, belum tentu juga itu menunjukkan trauma. Sebab, gambar-gambar tersebut dibuat pada Minggu (31/10) atau lima hari setelah Merapi meletus pertama. Rata-rata anak penghuni posko Banyubiru dibawa ke pengungsian sebelum wedhus gembel menerjang kampung mereka. Dengan demikian, hampir tidak ada yang melihat bagaimana kampung mereka luluh lantak oleh letusan Merapi.
Setelah berada di pengungsian pun, mereka tidak bisa melihat kondisi puncak Merapi karena selalu diselimuti kabut. “Mungkin mereka menggambarkan apa yang mereka dengar dari orang lain. Bukan apa yang mereka lihat sendiri. Memang ada trauma, tapi belum seberapa mendalam,” ujar Josephine.
Ibu dua anak itu menambahkan. Pada gambar-gambar tersebut terlihat bahwa anak-anak masih memiliki optimism yang tnggi. Indiksinya, mereka menggambarkan bahwa di bawah gunung masih ada sawah menghijau dan pak tani yang bekerja di sawah. “Artinya, mereka masih melihat desa mereka subur dan hijau. Seetelah letusan, mereka juga berharap desa mereka kelak masih seperti itu. Optimisme ini yang harus terus dipupuk oleh para relawan yang mendampingi mereka,” katanya. (rum/c2/nw)

Sumber:
Jawa Pos, Senin 8 November 2010

Saturday, November 6, 2010

Kencan Sekarang, Yuk

Lebih Menyenangkan

Seseorang pasti suka apabila diberi surprise. Sebab, sesuatu yang tidak terencana biasanya lebih indah dan menyenangkan. Sama halnya dengan kencan dadakan. Hal itu bisa dijadikan solusi untuk membangkitkan kembali hubungan yang datar-datar saja. Selain itu, kencan dadakan efektif sebagai media penguji pasangan terhadap jadwalnya dan seberapa penting kita buat pasangan. Itu bisa dilihat lewat rekasi dia dalam menanggapi ajakan kencan yang mendadak tersebut. Namun, terlepas dari semua itu, kencan dadakan membuat kita lebih kreatif dalam menyikapi permasalahan. Kita juga bisa belajar untuk terbuka kepada pasangan, misalnya jika kondisi finansial belum siap. Tentunya, dengan kencan dadakan tersebut, kita bisa memperoleh quality time bersama orang tersayang. (daf/c7/fry).

Sumber:
Deteksi Jawa Pos, Sabtu 6 November 2010

Monday, October 25, 2010

MENGEMBANGKAN MOTIVASI ANAK SEJAK DINI

Oleh: Josephine Ratna, M.Psych

Pendahuluan

Anak-anak sangat mudah mempelajari sesuatu yang baru. Namun memotivasi mereka untuk tetap mau belajar akan dapat dicapai dengan menciptakan lingkungan (iklim belajar) yang mendukung, dan orangtua idealnya mampu menjadi fasilitator dan bukan hanya penentu aturan. Mengembangkan motivasi anak sejak dini merupakan tugas yang gampang-gampang susah, artinya tugas ini bisa berhasil diemban oleh orangtua bila anak mereka memang memiliki motivasi dari dalam yang kuat untuk mencapai sesuatu atau bila orangtua mampu mengetahui motivasi dari luar yang mampu menggerakkan anak untuk melakukan sesuatu. Tugas ini bisa menjadi sulit bila anak tidak mampu menangkap makna suatu aktivitas sehingga is sulit menimbulkan motivasi dari dalam dirinya sehingga berbagai bentuk tawaran dari luar yang bermaksud untuk mendorongnya melakukan sesuatu belum tentu menarik perhatiannya.
Karena setiap anak berkembang melalui tahap perkembangan tertentu, adalah penting bagi orangtua untuk mengenal anak mereka sesuai tahap perkembangan yang sedang dilampauinya, sehingga diharapkan orangtua akan mampu menstimulasi dan memotivasi anak mereka untuk mau terlibat dan berprestasi dibidang tertentu.

 
Pengertian Motivasi dan Tipe Motivasi

Motivasi berasal dari kata motif yang dapat diartikan sebagai daya penggerak yang ada di dalam diri seseorang untuk melakukan aktivitas-aktivitas tertentu demi tercapainya suatu tujuan. Motif dapat diartikan sebagai suatu kondisi intern (kesiapsiagaan). Mc. Donald menyatakan bahwa motivasi adalah perubahan energi dalam diri seseorang yang ditandai dengan munculnya "feeling" dan di dahului dengan tanggapan terhadap adanya tujuan. Dari pengertian yang dikemukakan oleh Mc. Donald ini mengandung tiga elemen/ciri pokok dalam motivasi itu, yakni motivasi itu mengawalinya terjadinya perubahan energi, ditandai dengan adanya feeling, dan dirangsang karena adanya tujuan.
Motivasi merupakan kondisi psikologis yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu. Dalam kegiatan belajar, motivasi dapat dikatakan sebagai keseluruhan daya penggerak di dalam diri anak/siswa yang menimbulkan, menjamin kelangsungan dan memberikan arah kegiatan belajar, sehingga diharapkan tujuan dapat tercapai. Dalam kegiatan belajar, motivasi sangat diperlukan, sebab seseorang yang tidak mempunyai motivasi dalam belajar, tidak akan mungkin melakukan aktivitas belajar.
Ada 2 macam motivasi yaitu :

• Motivasi Intrinsik timbul dari dalam diri individu sendiri tanpa ada paksaan dorongan orang lain Contoh : keingintahuan, keinginan untuk membuktikan diri, kebutuhan untuk dipuji, minat besar untuk melakukan sesuatu yang menyenangkan

• Motivasi Ekstrinsik. Jenis motivasi ini timbul sebagai akibat pengaruh dari luar individu berupa ajakan, suruhan, atau paksaan dari orang lain yang terkadang diikuti dengan iming-iming sesuatu agar anak lebih memilih untuk melakukan sesuatu.


Masalah Berkaitan dengan Motivasi

1. Motivasi padam atau tidak punya motivasi

Masalah ini biasanya terjadi bila anak merasa takut gagal, frustrasi karena prestasi tidak stabil, tidak memahami harapan orang lain (orangtua, guru, teman), rendah diri /minder, masalah emosi (marah, sedih, benci), kurang perhatian dan kurang penghargaan.
Bentuk sikap dan perilaku pada anak dengan motivasi padam/rendah antara lain : Menyerah / putus asa (“Ah….sekolah susah…gak enak, aku gak mau sekolah”) ; Menghindari tugas (“Nanti saja mengerjakan PRnya…aku mau main dulu) ; Mengejek anak lain yang punya motivasi (“Buat apa belajar, nanti tidak sempat main”) ; Melakukan hal lain untuk mencari perhatian (bermain, melawak) ; Merasa diri tidak kompeten (“Aku kan bodoh, jadi memang tidak bisa berhitung”) ; Agresif dan impulsif (“Sudah! Aku berhenti saja!”) ; Tidak mau mencoba walaupun sudah dirayu dan didorong (“Pokoknya aku tidak mau, tidak mau….!”)

 
2. Motivasi yang salah

Hal ini biasanya terjadi karena ajakan atau paksaan dari luar, sehingga anak melakukan sesuatu didasari oleh tujuan yang tidak jelas/salah. Bila tidak segera diperbaiki, anak akan belajar memanipulasi tujuan demi tercapainya sesuatu.
Bentuk sikap dan perilaku anak yang mempunyai motivasi salah : Mengajak dan Memaksa orang lain melakukan hal yang tidak benar (“Ayo nyontek saja…. Daripada nilai jelek lalu kita tidak boleh bermain”) ; Berbohong (“Bilang saja kalau kita mau belajar, tapi nanti kita main dulu”) ; Memfitnah (“Bukan aku yang mencoreti buku tapi ada temanku yang menyuruh”)

 
3. Kesulitan menimbulkan motivasi anak

Bagi sebagian orangtua, menimbulkan motivasi anak bukanlah hal yang sulit, karena anak mereka memang memiliki keinginan besar untuk melakukan eksplorasi, mandiri, cerdas dan memiliki ambisi untuk mencapai sesuatu. Namun banyak orangtua mengalami kesulitan besar bahkan untuk membuat anak sedikit termotivasi untuk melakukan sesuatu. Berbagai upaya telah dilakukan misalnya memberi hadiah, menjanjikan sesuatu bila anak berhasil dan bahkan menghukum anak namun belum membuat sang anak termotivasi.
Anak yang acuh tak acuh (cuek) dan lebih senang menyendiri serta memiliki sifat dasar ‘pemberontak’ pada dasarnya tidak mudah termotivasi oleh hadiah maupun hukuman karena memiliki pola pikir yang berbeda dengan kebanyakan anak lain.

 
Strategi dan Kegiatan Untuk Menimbulkan Motivasi

Tantangan utama yang dihadpi orangtua dan guru adalah bagaimana menimbulkan motivasi intrinsic pada anak, sehingga anak akan dengan sendirinya termotivasi belajar hal baru, menyukai proses belajar itu sendiri dan mengetahui nilai / hasil akhir yang akan dicapainya melalui kegiatan ini.

Anak akan termotivasi bila :

1. Anak merasa kompeten (mampu melakukan sesuatu)

Orangtua hendaknya membantu anak untuk meraih kompetensi dan tidak membiarkan anak mereka berjuang sendirian. Beri tantangan yang diyakini mampu diselesaikan anak, sehingga ia merasakan suatu keberhasilan. Secara bertahap beri tantangan yang lebih besar disertai dengan kepercayaan orangtua bahwa anak akan mampu menghadapinya (bila perlu temani anak dengan sepenuh hati). Untuk menjadi kompeten, anak perlu tekun berlatih dan tugas orangtua juga memberi keteladanan dalam hal ketekunan. Orangtua yang menunjukkan kemalasan tidak dapat membantu anak termotivasi untuk rajin dan berprestasi.

2. Anak mempunyai pilihan dan dapat mengendalikan/mengontrol apa yang ia pelajari

Anak dan orang dewasa sekalipun akan lebih merasa nyaman bila mereka mempunyai alternative / pilihan. Adanya pilihan akan membuat anak terlatih untuk membuat pertimbangan, pembandingan dan akhirnya mengambil keputusan. Keberanian untuk mengambil keputusan akan menimbulkan motivasi untuk mencapai tujuan dari pilihan tersebut. Contoh, anak punya pilihan untuk belajar musik piano atau berenang. Orangtua membantu anak memberikan pertimbangan konsekuensi pilihan tersebut. Bila anak memilih untuk berenang, maka ia dipersiapkan untuk menjaga kondisi fisik dan diharapkan termotivasi untuk makan makanan bergizi.

3. Anak yakin akan kemampuan dirinya dan merasa / mendapatkan dukungan dari orangtuanya.

Ketika orangtua terlalu sayang kepada anaknya, maka mereka cenderung mengontrol apa yang dirasakan baik bagi anak dan kurang mempertimbangkan bagaimana perasaan anak sendiri akan pilihan orangtuanya. Dukungan yang paling dibutuhkan anak adalah rasa percaya orangtua bahwa anak mampu melakukan apa yang ingin dilakukannya. Bila orangtua tidak menyetujui apa yang akan dilakukan anak, sebaiknya orangtua memberi kesempatan anak mencoba dan tidak menghakimi di awal. Ketika anak semisal tidak berhasil menyelesaikan, maka peran orangtua sangat penting untuk tidak menunjukkan kekecewaan, tetapi tetap menunjukkan optimisme agar anak tidak berhenti mencoba karena orangtua juga tidak akan berhenti memberikan dukungan. Berada bersama anak dalam perjuangan adalah hal yang sangat dibutuhkan anak untuk tetap termotivasi melakukan sesuatu yang sulit.

4. Ada perpaduan antara kepribadian, minat belajar, gaya belajar, proses berpikir dan tahap perkembangan anak

Dalam mengembangkan motivasi anak, orangtua dan guru penting mempertimbangkan kepribadian, minat, gaya belajar, proses berpikir dan tahap perkembangan anak itu sendiri.

Anak dengan kepribadian introvert mempunyai cara yang berbeda dalam menunjukkan motivasinya melakukan sesuatu bila dibandingkan dengan anak yang ekstrovert.

Anak ekstrovert lebih mudah mengekspresikan apa yang diinginkannya sehingga orang lain lebih mudah mengukur tingkat motivasi anak. Seringkali ketika anak introvert mencapai keberhasilan, maka keberhasilannya tidak mendapatkan pujian yang belebihan bila dibandingkan pujian yang diterima oleh seorang anak ekstrovert.

Sejalan dengan bertambahnya usia anak, maka minat mulai ikut mengambil peran dalam membangun motivasi. Minat anak dapat diobservasi dari ketertarikan anak melakukan sesuatu, intensitas dan frekuensi ia menghabiskan waktu untuk melakukan suatu hal. Namun perlu disadari bahwa minat besar tidak selalu menghasilkan prestasi, tetapi adanya minat membuat anak menyukai dan menyenangi aktivitas tertentu. Artinya, minat memiliki peran besar dalam menimbulkan emosi positif dan emosi positif inilah yang akan memperkuat motivasi. Bila orangtua memperhatikan bahwa anak mereka berminat pada hal tertentu, beri dukungan dan tantangan agar minat tersebut semakin berkembang dan upayakan anak memiliki kompetensi yang berhubungan dengan minat tersebut. Perkuat rasa percaya diri anak dengan memberikan motivasi ekstrinsik, namun terus pupuk minat ke arah yang benar dengan memberi keteladanan. Contoh : Anak menunjukkan minat musik dan vokal. Ia suka bernyanyi sambil menari. Orangtua dapat membelikan CD atau VCD sehingga anak bisa melihat gaya dan cara menyanyi yang baik. Ketika ada kesempatan, maka anak didorong untuk berani menampilkan kemampuannya. Orangtua menunjukkan antusiasme ketika mendampingi anak dan mengambil foto atau merekam penampilan anak. Kemudian secara gembira mengevaluasi penampilan anak serta meyakinkan anak hal positif apa yang sudah ia dapatkan (pengalaman tampil di depan orang lain, keberanian menunjukkan kemampuan, dll).

Faktor gaya belajar sangat berperan dalam mengembangkan motivasi anak. Ada 3 macam gaya belajar yaitu : Visual (dengan melihat, menonton, melalui gambar, grafik) ; Auditori (dengan mendengarkan dan berdiskusi) dan Kinestetis (dengan melakukan). Anak- anak usia kurang dari 8 tahun biasanya memakai gaya belajar kinestetis, sehingga aktivitas di sekolah yang mengharuskan anak untuk duduk manis dan berdiskusi justru akan menurunkan minat dan motivasi belajar.

Di usia muda sekalipun, anak telah mengembangkan proses berpikir yang unik. Secara umum proses berpikir dibagi 3 yaitu proses berpikir analitis (mendetail) dan global (menyeluruh). Anak yang berpikir analitis biasanya memecah informasi secara mendetail dan kemudian mengurutkan secara logis, misalnya anak menceritakan secara runtut kegiatan yang dilakukan di sekolah. Anak analitis akan termotivasi jika berada di lingkungan yang teratur dengan aturan disiplin yang konsisten. Sebaliknya pembelajar global mengelompokkan informasi secara keseluruhan, cepat merangkum dan mencari inti cerita serta mengambil kesimpulan, tetapi sulit menerangkan langkah detail mencapai kesimpulan itu.

Tiap anak berkembang sesuai dengan tahap perkembangan tertentu, sehingga penting untuk menyesuaikan strategi mengembangkan motivasi menurut tahap perkembangan yang sedang dilaluinya. Contoh, anak usia 4-5 tahun akan mengalami masa Oedipus Complex atau Electra Complex (lihat Bagan Kompilasi Tahap Perkembangan), maka akan lebih efektif bila orangtua yang berlawanan jenislah yang mendampingi anak dan memberikan motivasi anak untuk melakukan sesuatu. Tantangan yang diberikan ibu pada anak laki-lakinya pada usia ini biasanya lebih efektif karena anak laki-laki pada masa ini lebih dekat dengan ibu. Tetapi bila cara Ibu memotivasi anak tidak menyenangkan makan akan menimbulkan bumerang dimana motivasi anak menjadi rendah atau bahkan padam.

Contoh penerapan : Doni (5.5 th) berminat belajar tentang dinosaurus, ia berpikir global, gaya belajar visual. Maka cara efektif mengajarkan tentang alam, Ibu (lawan jenis) dapat memakai gambar (melihat film), bercerita dari kesimpulan bahwa alam itu menyediakan berbagai sumber makanan dan mengambil contoh bagaimana dinosaurus makan dan hidup jaman dahulu.

Penutup

Memotivasi diri sendiri sama pentingnya dengan memotivasi orang lain, bahkan lebih penting karena keberhasilan itu menuntut 1% inspirasi dan 99% perjuangan. Mereka yang berhasil adalah mereka yang mengusahakan keberhasilan itu sendiri dengan mempertahankan motivasi diri untuk berbuat yang terbaik. Mari kita bantu anak kita masing-masing untuk mencapai keberhasilan masa depan dengan melatih mereka untuk mampu memotivasi diri sendiri. Selamat berjuang !

Wednesday, October 20, 2010

Penerapan Cognitive Behaviour Therapy dalam Kasus-Kasus Klinis

Oleh : Josephine M.J. Ratna, PG.Dip.Sc (UWA), M.Psych (Curtin), APS (Foreign Affiliate)


Pengantar

Cognitive Behaviour Therapy (CBT) merupakan salah satu alternative terapi yang dapat digunakan dalam intervensi psikologi, termasuk di dalamnya kasus-kasus klinis.

Baca ilustrasi di bawah ini :

Joe has been seeing a psychoanalyst for four years for treatment of the fear that he had monsters under his bed. It had been years since he had gotten a good night's sleep. Furthermore, his progress was very poor, and he knew it. So, one day he stops seeing the psychoanalyst and decides to try something different.


A few weeks later, Joe's former psychoanalyst meets his old client in the supermarket, and is surprised to find him looking well-rested, energetic, and cheerful. "Doc!" Joe says, "It's amazing! I'm cured!"


"That's great news!" the psychoanalyst says. "you seem to be doing much better. How?"


"I went to see another doctor," Joe says enthusiastically, "and he cured me in just ONE session!"


"One?!" the psychoanalyst asks incredulously


Yeah," continues Joe, "my new doctor is a behaviorist." "A behaviorist?" the psychoanalyst asks. "How did he cure you in one session?"


"Oh, easy," says Joe. "He told me to cut the legs off of my bed."


Dari ilustrasi di atas dan cukup banyak contoh nyata yang menunjukkan bahwa banyak kasus klinis akut dan kronis yang secara mencengangkan dapat di’selesaikan’ dan klien/pasien menunjukkan kemajuan yang berarti setelah terapis menerapkan teknik CBT. Apakah hal ini membuktikan bahwa CBT adalah teknik yang lebih baik dibandingkan teknik terapi lainnya ?

Tidak demikian. CBT pada dasarnya berkembang dan bersintesis dengan berbagai macam pendekatan lain, namun dengan menekankan adanya tahapan dan system yang memungkinkan baik klien, terapis maupun individu yang terlibat langsung maupun tidak langsung ikut menjadi bagian yang tidak terpisahkan untuk menghasilkan perubahan yang diharapkan.


Perkembangan Cognitive Behaviour Therapy

Dasar empiris dari pendekatan kognitif – perilaku dalam mengatasi permasalahan psikologis sebenarnya berawal dari pandangan Darwinian yang menyatakan bahwa ada kesinambungan antara manusia dan hewan, dimana perilaku primitif hewani dapat diaplikasikan dan digeneralisasikan pada manusia. Hal ini dibuktikan dengan teori Pavlov – Classical Conditioning dimana disimpulkan bahwa perilaku dan respon emosional dapat dikondisikan/dikontrol, termasuk di dalamnya adalah pemahaman tentang fenomena psikopatologi.

Konsep dan pemahaman bahwa ada faktor belajar pada manusia yang memungkinkan ia mengontrol perilaku dikenal dengan pendekatan Operant Conditioning, dimana ditekankan bahwa perilaku akan dikuatkan atau berubah tergantung pada manipulasi dari konsekuensi yang ada. Semakin menyenangkan konsekuensi yang akan diperoleh dari suatu tindakan, maka tindakan yang sama akan cenderung diulang. Semakin negatif akibat yang mungkin diterima dari suatu perilaku, diharapkan perilaku tersebut akan berubah atau menurun frekuensinya.

Teknik terapi perilaku yang lebih menekankan pada hasil akhir yaitu perubahan perilaku menjadi berkembang pesat dengan dikenalkannya berbagai pendekatan baru seperti :

• Watson dengan teori generalisasi pada rangsang yang mirip ;
• Wolpe dengan pendekatan desensitisasi sistematis ;
• Bandura dengan teori modeling/imitasi ;
• Mowrer dengan eksperimentasi enuresis (melibatkan aspek fisiologis) ;
• Dollard & Miller dengan teori psikoanalitik dan teori belajar yang menonjolkan peran budaya dan faktor sosial dalam pembentukan nilai dan perilaku ;
• Wolpe dengan penjelasan neurofisiologi terhadap munculnya rasa takut dan cemas serta bagaimana manusia pada dasarnya belajar tentang rangsang yang menimbulkan kecemasan dari respon fisiologinya ; memperkenalkan pentingnya pengalaman nyata pada individu yang nantinya dipergunakan untuk membuat individu tersebut mampu mengembangkan kemampuan imajinasi akan suatu situasi yang mencemaskan untuk kemudian mengontrolnya melalui teknik relaksasi

Dalam perkembangan selanjutnya, semakin banyak teori yang menekankan bahwa ada faktor lain yang sangat mempengaruhi perilaku dan bagaimana perilaku yang ini akan dapat menimbulkan konsekuensi yang lebih luas dan/atau patologis apabila tidak ditangani dengan benar. Faktor lain yang dimaksud adalah faktor kognitif dan pengaruh lingkungan.

Integrasi aspek kognitif dan perilaku berkembang dari teori 3 sistem yang diperkenalkan oleh Lang dan Rachman, dimana pada individu terdapat aspek perilaku, kognitif/afektif dan fisiologis yang walaupun berkaitan namun tidak berubah pada saat yang sama – desynchronous. Pemahaman tentang 3 sistem ini membawa angin segar dalam perkembangan intervensi psikologis karena semakin dipahami bahwa munculnya problem tidak terlepas dari 3 sistem yang saling berkaitan namun masing-masing sistem memiliki karakteristik unik yang perlu dipertimbangkan.

Pada akhirnya pendekatan CBT sangat dipengaruhi oleh :

• Teori Bandura tentang observational learning dan self-efficacy yang menekankan bahwa perilaku sangat dipengaruhi oleh proses pencernaan kognitif akan hal-hal yang diobservasi sebelum munculnya perilaku serta efektivitas dari perubahan perilaku yang sangat bergantung pada persepsi individu sendiri ;

• Meichenbaum yang memperkenalkan model self instructional training, dimana dikemukakan bahwa perubahan perilaku dapat terjadi bila individu sendirilah yang mengubah instruksi, menginginkan perubahan tersebut terjadi dan melatihnya ;

• Cognitive therapy yang diperkenalkan oleh Beck – yang menemukan korelasi antara negative thinking pada penderita depresi dan untuk mengatasi depresi sangat penting bagi individu tersebut untuk menyadari, menemukan dan mengubah pemikiran negatif otomatis yang muncul tentang diri sendiri, pengalaman saat ini dan masa depan (cognitive triad)

Pengertian dan Ciri-Ciri CBT

Cognitive Behaviour Therapy adalah model terapi terstruktur jangka pendek yang melibatkan kolaborasi antara individu yang bermasalah dengan terapisnya dalam rangka mencapai tujuan terapeutik yang telah disepakati bersama

Ciri-ciri CBT :

1. Melibatkan kerjasama aktif antara KLIEN, TERAPIS, KEY OTHERS, RELEVANT OTHERS

2. Psikolog sebagai mediator & fasilitator ; menolong klien mengenali pola berpikir yang menjadi sebab timbulnya disfungsi perilaku

3. Tujuan terapi adalah :

• menyusun secara seksama dan terstruktur tugas yang akan digunakan oleh klien dan terapis dalam rangka menolong klien mengevaluasi dan mengubah distorsi pola pikir dan disfungsi perilakunya

• Memberi kesempatan klien belajar beradaptasi dalam situasi kini dan mendatang

4. Mengacu pada :

• perubahan yang diharapkan klien (realistik dan memungkinkan adanya evaluasi)

• Keterlibatan dan partisipasi klien untuk menolong dirinya (self-help)

5. Time limited therapy

Model Pengukuran CBT

Ada beberapa cara yang biasa dipergunakan dalam CBT untuk mendapatkan informasi sekaligus menjadi bagian dari proses terapi, yaitu :

1. Behavioural Interviewing

2. Self Monitoring

3. Self-report questionnaires

4. Information from other people

5. Direct Observation of behaviour

6. Behavioural by-products

7. Physiological Measures

Ke-7 model di atas tidak harus dilakukan semuanya namun bergantung pada kasus yang ada.


Penerapan CBT

Untuk menggunakan pendekatan CBT dalam menangani kasus, sangat penting diperhatikan bahwa terapis harus terlebih dahulu memahami bahwa CBT tidak dapat diterapkan pada klien-klien tertentu (dependent personality, dalam pengaruh obat-obatan, kelainan neurofisiologi, tidak dapat diajak berkomunikasi, dan tidak punya konsep self-help).

CBT tidak dapat dijalankan terpisah dari pendekatan lainnya, sehingga dapat dikatakan bahwa CBT justru memberikan fleksibilitas bagi terapis dan klien untuk mengeksplorasi cara tertentu untuk mengungkap sesuatu.

Contoh : ketika interview, klien dan keluarga dapat diminta untuk menjabarkan onset (awal mula munculnya perilaku bermasalah) dengan membuat urutan kejadian (time event chart) atau bila dirasakan lebih nyaman dengan teknik psikoanalisa dapat pula dilakukan demikian.

Mengingat keberhasilan CBT sangat tergantung pada kolaborasi dan peran aktif klien (self instructional training), maka klien sering akan diminta memberikan catatan tentang permasalahannya untuk kemudian dibahas pada pertemuan selanjutnya. Memberikan PR dan proses mencatat hal-hal tertentu yang disepakati pada pertemuan sesungguhnya mempunyai fungsi terapeutik bagi klien sendiri sehingga pada pertemuan selanjutnya lebih ditekankan pada anchoring insight (mengkonfirmasi dan memberikan penegasan pada insight yang muncul).

Contoh penerapan CBT pada kasus kecemasan :

 Anxiety : perasaan cemas atas situasi yang dianggap / dirasakan membahayakan

 Tujuan CBT : membantu klien mengidentifikasi, mengevaluasi dan mengubah persepsi bahaya yang tidak realistis dan mengubah perilaku yang menyebabkan salah persepsi

 Tipe kecemasan : Panik, Generalized Anxiety

 Model kognitif ?

 Pelaksanaan CBT :

* Identifikasi pemikiran negatif

* Mengubah pikiran negatif dan

perilaku yang menyertai

pikiran tersebut

Contoh penerapan CBT pada kasus depresi :

 Faktor penyebab bervariasi dan interaksi banyak faktor

 Gejala depresi :

* sedih berlebihan

* mudah menangis

* rasa bersalah

* menganggap diri menyusahkan

* merasa tidak berguna kini & yang akan datang (masa depan)

* mudah tersinggung, cemas dan tegang

 Tujuan treatment depresi :

* Mempercepat penyembuhan dari episode depresi

* Mengalihkan individu ke situasi tidak / bukan depresif menjadi normal dan

proporsional

* Mencegah terjadinya episode berikut (kekambuhan) yang lebih parah

 Model kognitif ?

 CBT untuk depresi

Bertujuan agar klien dapat berpikir lebih rasional serta berani mengubah perilakunya

untuk keluar dari episode depresi

 Biasanya mencoba mengatasi cognitive errors

 Strategi utama : Cognitive à Behavioural à Cognitive Behavioural à Preventive strategies


Penutup

Cognitive Behaviour Therapy memberikan angin segar dalam intervensi psikologis dan sudah banyak penelitian yang menemukan efektivitas dan efisiensi dari penerapan pendekatan ini untuk kasus-kasus klinis. Namun CBT tidak dapat diterapkan untuk menyelesaikan semua masalah psikologis dan tidak dapat dilaksanakan terpisah dari pendekatan lain.

Terapis yang hendak menerapkan pendekatan CBT ini hendaknya melatih diri, memiliki keyakinan akan efektivitas intervensi ini dan fleksibel untuk mendesain program yang sesuai untuk tiap kasus. Latihan terus menerus akan meningkatkan kepekaan penggunaan model pengukuran dan pemberian tugas untuk mendapatkan informasi yang relevan sekaligus memungkinkan proses penggalian informasi sebagai bagian dari proses terapeutiknya sendiri. Ukuran keberhasilan adalah pada bagaimana klien mampu mengidentifikasi sendiri distorsi pola pikir yang mempengaruhi perilakunya atau bagaimana perilakunya menimbulkan pola pikir disfungsional yang menghambat aspek kehidupan lain dalam dirinya.

Wednesday, August 18, 2010

STOP Disuapin Ortu

Time Management

Pada dasarnya, nyuapin anak yang sudah beranjak remaja adalah tindakan yang salah. Sebab, seharusnya, mereka berusaha menunjukkan kemandirian. Dengan tingkat kemandirian anak yang minim, hendaknya, orangtua tidak memberikan kepercayaan serta kebebasan lebih kepada anak itu. Remaja yang masih menunggu disuapin orangtuanya akan tumbuh menjadi remaja childish dan manja. Bagi orangtua, berlakulah sedikit tega. Kalau anak mulai lapar, biarkan saja, toh nanti dia akan beranjak dari kegiatannya untuk makan. Biarkan dia makan sendiri. Kalaupun anak terlalu sibuk, tanamkan kepada mereka untuk tahu kapan menyempatkan diri untuk makan. Dengan demikian, secara tidak langsung, orangtua akan mengajarkan time management kepada anak.

Sumber:
Deteksi Jawa Pos, 18 Agustus 2010

Saturday, July 10, 2010

Pendampingan Orangtua Terhadap Siswa Belajar di SMA

Oleh : Josephine M.J.Ratna, M.Psych


“Ternyata anak kita sudah remaja dan mulai dewasa”

“Anak jaman sekarang susah dimengerti, mau jadi apa mereka?”

“Akhirnya sudah SMA anak kita…berarti musti siap mereka tidak mudah ditangani”

“Mereka mustinya sudah ngerti maksud kita, pasti mereka sengaja”

“Badan sih besar… pikiran dan sifat kayak anak kecil”

“Ah …anak sekarang mau gampang saja, ada saja akalnya …”


Ketika anak-anak memasuki SMA, serasa waktu berlalu sedemikian cepat…membuat para orangtua meningkat kecemasan dan kekuatirannya. Manifestasi dari kekuatiran dan kecemasan itu justru muncul dalam berbagai cara yang berdalih ‘melindungi’ anak mereka dengan berbagai larangan dan ‘ancaman’. Di sisi lain, remaja yang masuk ke jenjang studi SMA menganggap bahwa masa kanak-kanak telah berakhir…mereka punya label baru “anak SMA” yang diartikan sebagai cikal kedewasaan dan awal dari kebebasan. Komentar di atas hanya sebagian kecil dari wujud kegelisahan orangtua yang juga menunjukkan bahwa mereka merasa gamang dalam berhadapan dengan periode ini. Salah satu cara dan strategi yang kebanyakan dipilih oleh orangtua adalah mengingat kembali bagaimana masa remaja mereka sendiri, sehingga tidak heran bila komentar yang diawali dengan “Kalau papa/mama dulu……”. Bisa diperkirakan respon remaja SMA terhadap komentar ini ? EGP. Mengangguk tapi tidak mendengarkan….

Pendidik utama seorang anak adalah orang tuanya. Peran sekolah adalah membantu orang tua, melengkapi apa yang tidak bisa dilakukan orang tua di rumah berkaitan dengan pendidikan anak. Sekolah tidak bisa dan tidak akan bermaksud mengambil alih peran tersebut. Namun kerjasama dalam mendidik anak perlu diciptakan, supaya ada kesamaan gerak, ada kesepahaman dan kerjasama yang baik antara orang tua dan pihak sekolah. Nilai-nilai yang ditanamkan kepada anak di sekolah - sesuai dengan visi sekolah - semestinya mendapat suasana yang mendukung juga di rumah.


Tugas Perkembangan Usia Remaja

Secara teoritis, manusia memiliki tugas perkembangan sesuai dengan periode usia dan tugas perkembangan ini harus dipenuhi sejak bayi sampai mati. Ahli psikologi perkembangan bernama Havighurst menyatakan bahwa tugas perkembangan masa remaja adalah :

1. Menerima keadaan fisik dirinya sendiri dan menggunakan tubuhnya secara lebih efektif. Sederhana diucapkan tetapi tidak mudah dijalankan. Cukup banyak remaja yang sulit menerima keadaan fisiknya karena membandingkan dengan kriteria ideal yang ada dalam benaknya masing-masing. Misalnya perasaan tidak puas karena tidak seramping temannya, berjerawat, warna kulit tidak sesuai dengan harapan, tinggi badan dan ukuran tubuh tidak ideal, dan lain-lain.

Resiko : Akibat tidak mampu menerima keadaan fisik, remaja sering menjadi minder, tidak mudah menyesuaikan diri, merasa tidak mampu dan pada akhirnya ikut mempengaruhi prestasi akademik dan hal-hal lain.

Peran orangtua : membantu remaja untuk memfokuskan diri pada potensi dan kelebihan yang ada. Menyadarkan remaja bahwa sukses hidup tidak dinilai hanya dari penampilan luar. Mengajak dan memberi teladan untuk mensyukuri apa yang dimiliki dan tidak menuntut hal yang tidak mungkin terjadi. Jika ternyata permasalahan ini mengganggu tugas akademis, maka orangtua perlu mengambil langkah prioritas dalam menyelesaikan masalah, misalnya dengan melibatkan sekolah dan guru untuk membantu anak.

2. Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang-orang dewasa lainnya.
Usaha untuk mencapai kemandirian emosional bisa membuat remaja melawan keinginan atau bertentangan pendapat dengan orangtuanya. Hal ini biasanya menjadi salah satu alasan remaja dianggap bermental pemberontak di rumah. Ketika label pemberontak ditempelkan pada seorang remaja, secara bawah sadar remaja ini akan ‘menunggu waktu yang tepat’ untuk membuktikan bahwa mereka dapat bertanggungjawab atas keputusan pribadinya.

Resiko : Apabila masalah ‘pemberontakan remaja’ ini tidak terselesaikan, remaja cenderung untuk mencari jalan keluar di luar rumah, antara lain lebih memilih berada bersama teman-teman sebaya yang senasib, lebih sering di luar rumah, terutama apabila orangtua bersikap otoriter. Remaja yang mengalami permasalahan dengan orangtua biasanya suka curhat dengan teman sebayanya (teman sekolah atau tetangga). Hal ini tidak salah namun terkadang dengan curhat, remaja menjadi lebih mampu menghadapi permasalahan hidup selanjunya walaupun nasehat teman sebaya terkadangan belum mampu mendapatkan solusi yang terbaik. Jika teman curhat seusia, maka ada kalanya remaja justru tidak mendapatkan advis yang sesuai karena keterbatasan pengalaman teman. Perilaku berontak bisa berakibat pada persepsi ‘nakal’ yang terbentuk secara otomatis di pikiran mereka yang berinteraksi dengan si remaja pemberontak ini, akibatnya ia bisa kehilangan kesempatan untuk membuktikan kemampuannya. Prestasi akademis biasanya terpengaruhi karena ada nilai afeksi yang terukur dari sikap dan sifat selama remaja ini mengikuti pelajaran di seolah.

Peran orangtua : menempatkan diri menjadi teman bagi remaja, menjadi gaul sehingga lebih mampu memahami dunia mereka. Selain itu penting bagi orangtua untuk mengenal siapa teman anak remaja dan berteman pula dengan mereka. Terkadang teman anak justru akan mampu membawa ‘pesan’ lebih baik daripada ketika orangtua yang harus menyampaikan pemikiran mereka sendiri pada anak kandungnya. Selain itu orangtua hendaknya memberikan kepercayaan bagi anak untuk melakukan tugas orangdewasa dan orang tua cukup mengawasi.

3. Mematangkan suatu hubungan dan pergaulan antara lawan jenis yang sebaya. Dengan tugas ini remaja akan mampu bergaul secara baik dengan kedua jenis kelamin, baik laki-laki maupun perempuan. Tugas perkembangan ini akan tercapai bila sang remaja mampu berinteraksi dengan individu lawan jenisnya.

Resiko : Jika remaja bersekolah di sekolah khusus cowok atau khusus cewek, kemampuan untuk bergaul secara matang dengan jenis kelamin lain akan terpengaruhi. Kegiatan lain di luar sekolah ikut mempengaruhi ketrampilan dalam berinteraksi dengan laki-laki maupun perempuan.

Peran orangtua : Memahami adanya tugas perkembangan ini, hendaknya orangtua memberikan kesempatan yang luas bagi remaja untuk terlibat secara seimbang dalam kegiatan di dalam keluarga dan di luar rumah, sehingga mereka bisa melatih ketrampilan berinteraksi sosial antar sebaya baik sesama maupun lawan jenis kelamin. Ayah dan ibu secara khusus dapat mendampingi remaja putra dan putrinya dalam mengambil keputusan yang paling tepat dalam situasi sosial tertentu dimana terdapat nilai-nilai budaya yang berlaku karena kelaki-lakian atau keperempuanan. Misalnya sopan santun, kebebasan berperilaku dan lain-lain. Kemampuan untuk berinteraksi dengan seimbang itu hanya dapat terganggu apabila kita sendiri yang memang menciptakan batasan untuk bergaul.

4. Dapat menjalankan peran sosial maskulin dan feminin. Peran sosial yang dimaksud di sini adalah seperti yang diharapkan masyarakat, dan bergeser sesuai dengan peralihan zaman.

Resiko : Apabila pada zaman dahulu secara sosial dianggap baik bila laki-laki mencari nafkah di luar rumah sedangkan perempuan mengurus rumah tangga, dengan timbulnya kesadaran akan kesetaraan jender sekarang ini tidak harus demikian. Sehingga, yang paling penting untuk dipahami adalah sebagai anggota dari satu jenis kelamin, kita jangan sampai kemudian merasa berhak untuk mensubordinasi atau memperlakukan anggota jenis kelamin lain secara buruk atau semena-mena, baik di publik (masyarakat) maupun domestik (rumah tangga).

Peran Orangtua : Memahami perubahan zaman serta tuntutan kesetaraan jender sebagai kesempatan bagi anak laki-laki dan perempuan untuk bersaing secara sehat di segala bidang yang memungkinkan, termasuk dalam bidang akademik. Hendaknya orangtua memberikan dukungan yang sama baik kepada anak laki-laki dan perempuan dalam upaya mereka mengembangkan kemampuan akademis di segala bidang yang menjadi peminatannya.

5. Berperilaku sosial yang bertanggung jawab. Idealnya, seseorang tentu diharapkan untuk berpartisipasi demi kebaikan atau perbaikan di lingkungan sosialnya. Secara bertahap untuk mencapai hal ini bila remaja belum bisa berpartisipasi nyata dalam perbaikan lingkungan sosial, minimal mereka harusnya tidak menjadi beban bagi masyarakat atau lingkungan sosialnya.

Resiko : Secara emosional remaja masih dinilai belum stabil dan mudah terpicu oleh pengaruh dari luar. Misalnya remaja yang terlibat tawuran sampai menghancurkan fasilitas umum tentu tidak dapat dianggap telah melampaui tugas perkembangan yang satu ini dengan sukses.

Apabila dalam memenuhi tugas perkembangan ini remaja tidak berada di lingkungan yang memungkinkan ia berpartisipasi dan menunjukkan perilaku sosial yang bertanggungjawab (misalnya diberi peran basa-basi atau hanya penggembira atau justru peran yang terlalu besar), maka tidak heran jika mereka memilih untuk tidak mau ambil bagian karena resiko terlalu besar untuk dipersalahkan atau justru tidak menguntungkan. Akibatnya waktu berlalu dan remaja tidak mendapatkan latihan yang cukup untuk berkontribusi sosial.

Peran Orangtua : Tanggungjawab sosial tidak dapat ditunjukkan secara otomatis, melainkan melalui sebuah proses. Orangtua diharapkan memberikan kemudahan bagi remaja untuk menunjukkan tanggungjawab sosialnya dan memberikan penghargaan yang cukup, misalnya mengijinkan dan mendorong anak menjadi anggota panitia atau ikut dalam organisasi sosial di lingkungan sekolah atau tempat tinggal. Sehingga terlihat bagaimana mereka terlatih untuk mengembangkan kepekaan sosial termasuk berlatih untuk berperilaku yang bertanggungjawab dan dapat diterima oleh komunitas sosial yang lebih luas. Penerimaan dijadikan sebagai bentuk apresiasi dan pengakuan. Hendaknya orangtua menjadi orang pertama yang memberikan apresiasi dan pengakuan ini.

6. Mempersiapkan diri untuk memiliki karier atau pekerjaan yang mempunyai konsekuensi ekonomi dan finansial. Setelah melepaskan diri dari ketergantungan emosional dengan orangtua atau orang dewasa lain, tugas yang menanti remaja adalah juga melepaskan diri dari ketergantungan finansial dari mereka. Biasanya setelah setahun berada di SMA, siswa harus memilih penjurusan yang tepat dan sesuai dengan minat dan kemampuan mereka. Penjurusan merupakan bagian penting dalam memenuhi tugas perkembangan ini.

Resiko : Pada remaja yang memiliki orangtua yang otoriter dan dominant, seringkali tidak mampu menilai kemampuan dan minat diri sendiri karena mendapatkan pendampingan orangtua yang terlalu besar/kuat. Ia menjadi tidak mampu menilai diri sendiri yang pada akhirnya bisa berakibat remaja menyesali atau tidak merasa bertanggungjawab atas pilihan orangtua. Dalam konteks kompetisi yang sangat besar antar remaja untuk berlomba menunjukkan prestasi, orangtua mau tidak mau seolah ‘mengharuskan’ anak untuk mendapatkan pelajaran tambahan dan tidak mengijinkan anak memiliki waktu terlalu banyak untuk mengerjakan sesuatu yang mereka senangi. Orangtua berdalih bahwa anak harus menggunakan waktu yang ada untuk belajar, belajar dan belajar atas dasar persiapan karier mendatang. Alhasil anak justru mengalami kondisi yang tidak kondusif untuk berprestasi karena kelelahan dan kebosanan rutinitas.

Peran Orangtua : Membantu anak memiliki keseimbangan waktu belajar di sekolah dan waktu untuk mengembangkan hobi dan minat. Juga sangat baik bila remaja berkesempatan untuk belajar bekerja (magang) betapapun kecil penghasilan yang diperoleh. Orangtua dengan relasi yang cukup besar diharapkan mampu membuka peluang dan mendorong anaknya secara positif untuk mau memanfaatkan waktu kosong dengan mencoba merasakan dunia kerja yang sesungguhnya dan menganalisa kegiatan ini sebagai kegiatan yang penting agar anak siap terjun dan bekerja di masyarakat.

Tugas-tugas perkembangan ini harus dicapai sebelum seorang remaja melangkah ke tahapan perkembangan selanjutnya. Apabila remaja tadi gagal dalam memenuhi tugas perkembangannya secara tepat waktu, maka ia akan sulit untuk memenuhi tugas perkembangan fase selanjutnya. Atau, apabila ia gagal melaksanakan tugas perkembangannya pada waktu yang tepat, maka ia akan mengalami kesulitan untuk menyelesaikannya di waktu yang lain, atau melaksanakan tugas perkembangan pada tahapan yang lebih lanjut.

Potensi Permasalahan Berhubungan Dengan Studi

Memahami adanya tugas perkembangan yang harus dilalui remaja, tuntutan terhadap mereka juga meningkat seiring dengan level pendidikan yang sedang mereka tempuh. SMA merupakan saat dimana siswa menerima tempaan yang lebih serius dalam mempersiapkan diri memilih jenjang pendalaman ketrampilan yang lebih terarah untuk karier masa depan.

Orangtua perlu memahami bahwa di era pendidikan modern ini, sekolah dituntut memberikan persiapan yang cukup bagi siswa untuk mampu bersaing di jenjang pendidikan selanjutnya, termasuk mempersiapkan karakter yang kuat dan mampu dibanggakan. Di sisi lain, orangtua sendiri memiliki harapan dan tuntutan bagi anak-anak mereka untuk nantinya dipersiapkan dalam meneruskan usaha atau terlibat dalam pekerjaan yang menuntut kesiapan dalam berbagai bidang. Namun demikian, segala sesuatunya nantinya akan terpulang pada remaja/siswa sendiri dalam menjalani dan memanfaatkan peluang dan kesempatan yang ada. Dalam proses penggemblengan di tingkat SMA, orangtua dituntut untuk mampu mendampingi perjuangan remaja dan ikut terlibat aktif sebagai partner sekolah dalam menjalankan pendidikan bagi putra-putri mereka.

Berikut ini adalah daftar singkat beberapa potensi masalah yang biasa disampaikan oleh siswa dan orangtua siswa SMA :

1. Penyesuaian diri dengan teman baru : biasanya terjadi pada beberapa bulan di tahun pertama

2. Grouping : berkelompok (kelas sosial, kemampuan, minat, atau bahkan terdapat pengelompokan berdasarkan permasalahan perilaku)

3. Belajar mandiri masih belum otomatis sehingga menimbulkan konflik dengan orangtua dan guru

4. Tuntutan orangtua dianggap konvensional (kuno), namun anak sendiri kerap tidak mampu menunjukkan kemampuan yang mereka miliki tetapi tidak mau menerima tuntutan orangtua

5. Time management (membagi waktu belajar dan kesenangan)

6. Dilema tawaran menarik non akademis vs akademis : hal ini bisa membuat anak menentukan pilihan yang baginya lebih mudah (melakukan kegiatan non akademis) dan akhirnya meninggalkan jalur akademis bila dirasakan nyaman. Banyak orangtua berpikiran negative terhadap kegiatan non akademis, namun sekolah perlu terus mensosialisasikan keuntungan mengikuti kegiatan non-akademis.

7. Prestige Sekolah : terkadang untuk mengikutsertakan siswa dalam kompetisi tertentu, sekolah akan memilihkan anak yang sesuai denga yang diharapkan. Adalah suatu kebanggaan tersendiri bag pihak sekolah untuk bisa menemukan siswa/guru yang akan membawa nama baik sekolah (jika memenangkan kompetisi). Namun perlu didorong agar sekolah memberikan penghargaan karakter anak pula.

8. Pengaruh teman dan lingkungan (pornografi, teknologi informasi) : orangtua mengalami kesulitan dalam menetapkan pembatasan pergaulan dan teknologi informasi, sehingga yang bisa dilakukan hanyalah memberikan ancaman dan hukuman atau bisa saja memberikan kebebasan namun dilakukan monitoring berkala.

9. Pacaran : Masa SMA = masa bercinta dan menemukan pacar. Problematika seputar kualitas pacar dan gaya pacaran yang menjadi fokus problematika.

10. Komunikasi dengan Orangtua, Guru dan Teman : adalah problematika klasik yang dialami oleh hampir semua orangtua remaja. Kunci komunikasi dan mendengarkan dengan empati adalah hal yang harus dilatihkan pada remaja dan juga orangtuanya.

11. Finansial : pengeluaran cukup banyak tetapi belum dapat menghasilkan uang

12. Minat dan Bakat : belum yakin dan masih sulit menentukan pilihan (penjurusan)

13. Kelas Akselerasi : jika kemampuan anak di atas rata-rata mengarah pada superior, pendidikan anak sangat memungkinkan untuk dipercepat sesuai dengan ketersediaan tempat di beberapa sekolah. Siswa dalam kelas akselerasi juga harus didampingi dalam pengembangan diri dibidang lainnya.

14. Beda cara belajar di SMA dibandingkan SD dan SMP


Mengenal Anak Lewat Kecerdasan Majemuk

Walaupun telah berulangkali disampaikan bahwa banyak faktor yang akan menunjang keberhasilan studi anak. Berikut disampaikan secara terperinci hal apa sajakah yang penting diobservasi pada anak-anak kita sehingga nantinya bisa diberikan pelatihan atau penanganan yang paling pas untuk dirinya. Bandingkan tiap tipe dan tentukan mana yang dominant terlihat pada anak kita :

1. Anak Visual (spatial)

Anak visual banyak belajar dan menyerap informasi dari apa-apa yang dilihatnya. Mereka sangat menyukai gambar, warna, diagram, dan segala yang terlihat, baik dalam bentuk 2 dimensi atau 3 dimensi. Anak visual biasanya juga spasial, pandai membayangkan ruang 3 dimensi. Jika bepergian ke suatu tempat, mereka tidak mengingat berdasarkan nama jalan, tetapi bangunan atau simbol yang mereka lihat sebagai penanda visual.

Media dan cara belajar

Menggunakan gambar, diagram, grafik, warna-warni, besar-kecil, belajar berkhayal secara visual, membayangkan sebuah konsep/informasi dengan: tempat, bentuk, warna, menggunakan layout, spasial, peta, maket, realitas mainan: kamera, pensil/spidol warna, balok aneka warna, ganti kata dengan gambar; bantu pemahaman kata dengan warna

2. Anak Aural (auditory-musical)

Anak aural menyerap informasi dengan pendengaran; baik suara maupun musik. Mereka sensitif dengan intonasi, irama, dinamika, tempo, keras-pelan, suara jauh-dekat. Anak aural belajar sambil mendengarkan musik, tidak menyukai “kesunyian”. Mereka senang bersenandung, membuat nada/rima sendiri. Bagi anak aural, bunyi/nada/lagu membawa pada sebuah emosi atau peristiwa tertentu. Walaupun sedang membaca buku, mereka membutuhkan suara/musik untuk menemaninya.

Media dan cara belajar:

Menggunakan metode ceramah/kuliah, melodi untuk teks; bergumam, membaca dengan suara keras (read aloud), membangun suasana musikal utk menciptakan suasana menggunakan media audio visual CD/VCD dan mendengarkan kuliah/ pidato/radio di rumah dan jalan

3. Anak Verbal (linguistic).

Anak verbal menyukai kata dan bahasa. Mereka pandai membuat distingsi makna kata, baik secara lisan maupun tulisan. Anak-anak verbal memilih kata, berkata-kata atau menulis secara terstruktur dengan pilihan kata/kalimat yang baik. Mereka sensitif terhadap pilihan kata dan mengingat sebuah tempat/peristiwa/konsep dengan nama dan kata-kata kunci. Anak-anak verbal biasanya senang membaca dan menulis; membuat sajak, puisi, diari, rima, berpidato, dan sebagainya.

Media dan cara belajar: menggunakan cara yang umum seperti di kelas; buku dan ceramah, melakukan diskusi, membaca dan menulis, bermain peran (role-playing).

4. Anak Fisik (kinesthetic).

Anak fisik menggunakan anggota badan mereka untuk belajar. Mereka senang mencoba dan melakukan segala sesuatu sendiri (learning by doing). Mereka belajar dengan cara: menyentuh, membangun, memperbaiki, membuat. Mereka seringkali tidak sabar membaca buku petunjuk atau diagram, dan langsung ingin mencoba melakukan sendiri. Anak-anak fisik sensitif terhadap tekstur, cara kerja, dan realitas fisik yang terlihat nyata di hadapannya. Mereka tidak suka berkhayal atau membayangkan.

Media dan cara belajar: menggunakan pekerjaan tangan, hands-on projects

menulis, menggambar, membuat maket, merakit benda, memperbaiki barang rusak, membuat rancangan, berolahraga dan permainan aktivitas di luar rumah (outdoor activities), drama dan permainan peran, balok, robot, mesin, alat-alat olahraga.

5. Anak Logis (mathematical)

Anak logis menggunakan logika, argumen, dan mencari pola keteraturan. Anak logis senang mencari struktur dan pola dari segala sesuatu yang ada di sekitarnya. Mereka pandai mencari hubungan, membuat perbandingan, memilah dan membuat klasifikasi. Anak logis senang melakukan pekerjaan mental/berfikir.

Anak logis adalah tipikal anak yang berhasil di model belajar seperti sekolah. Masyarakat saat ini sangat menghargai anak logis.

Media dan cara belajar: menggunakan buku & teori mengenai berbagai hal

bermain puzzle dan teka-teki, membuat aturan dan prosedur yang jelas

membuat rencana dan jadwal

6. Anak Sosial (interpersonal).

Anak sosial memiliki kecenderungan untuk bergaul dan berkelompok secara sosial. Mereka supel dan pandai bergaul dengan siapapun, baik dengan teman sebaya maupun orang yang lebih tua/lebih muda. Orang mendengarkan dan menyukai mereka. Mereka menikmati pertemanan, berbagi cerita atau ilmu dengan orang lain. Anak sosial mendapatkan ilmu dari mendengarkan orang lain atau mencari umpan balik dari respon orang lain terhadap apa-apa yang disampaikannya.

Media dan cara belajar: mengikuti kelompok, klub, organisasi

melakukan proyek yang dikerjakan bersama, berdiskusi dan bermain peran (role-playing), melakukan kegiatan lapangan yang melibatkan banyak orang

mengikuti seminar atau training dengan sistem kelas.

7. Anak Penyendiri (intrapersonal).

Anak penyendiri memiliki kecenderungan pendiam dan reflektif. Mereka lebih efektif untuk belajar jika seorang diri, bukan dalam kelompok. Anak penyendiri biasanya memiliki kecenderungan untuk mandiri, mengenali kekuatan dan kekurangan pribadi. Anak penyendiri sensitif terhadap pribadi dan kedalaman saat mempelajari atau mengerjakan sesuatu.

Media & cara belajar: menekuni hobi atau sesuatu yang ditekuni

mengeksplorasi buku atau materi-materi yang bisa dilakukan sendiri, mengerjakan proyek mandiri, membuat jurnal, diari, blog

8. Anak Alam (Natural)

Anak alam memiliki ketertarikan akan keindahan alami dan baru bisa belajar bila menemukan pejelasan specifik tentang fenomena tertentu. Hal-hal yang berkaitan dengan upaya melestarikan alam adalah yang sangat disukainya.

Media & cara belajar: memelihara hewan dan menanam tumbuhan untuk dilihat perkembangannya, berada di lingkungan alam, mendapatkan nasehat di lingkungan yang nyaman, inisiatif untuk menyelenggarakan program berbasis lingkungan sehat.


Rekomendasi Pendampingan Belajar di SMA

Langkah penting dalam pendampingan anak :

1. Ortu harus meyakini bahwa “Sukses ortu tidak menjamin sukses anak”

2. Mendefinisikan apa yang dimaksud dengan sukses?  membantu memformalisasikan masalah

3. Menentukan prioritas masalah untuk diselesaikan

4. Mengelola proses belajar

5. Mendorong inisiatif dan partisipasi

6. Menjadi pendamping yang berenergi

7. Bertindak asertif dan tegas

8. Mengajarkan ketekunan, kerja keras, kesabaran dan ketulusan untuk menjadi bahagia bagi orang lain

9. Mendorong anak menjadi kreatif dan berani untuk menyampaikan gagasan.

10. Menjadi orangtua GAUL

Penutup

Menghadiri pertemuan orangtua merupakan satu tanda kepedulian dan keinginan untuk belajar memahami remaja, putra-putri tercinta. Tidak ada sekolah menjadi orangtua dan demikian pula tidak ada tempat belajar menjadi anak, sehingga yang terjadi adalah upaya terus menerus untuk menyempurnakan diri dalam peran menjadi orangtua yang baik bagi anak.

Bekerjasama dengan sekolah dalam mendampingi studi anak di SMA haruslah dilihat sebagai kesempatan untuk lebih mengenal putra-putri kita dalam lingkungan belajar kesehariannya. Namun dalam kesempatan ini pula, orangtua dapat belajar untuk menilai bagaimana anak mengambil keputusan dan bila dirasa perlu, kritik pada anak sangat dimungkinkan, tanpa harus disertai ancaman. Mari berjuang bersama !

Makalah disampaikan dalam Pertemuan Orangtua Siswa di SMAK Santo Yusup Malang - 9 dan 10 Juli 2010

Tuesday, April 27, 2010

Selalu Ceria di Mana Saja - Teman Penyemangat dalam Berbagai Kondisi

Salurkan ke Hal Positif

Remaja saat ini dituntut untuk menjadi dinamis. Banyaknya hal yang dibebankan di pundaknya menjadi salah satu alasan mengapa remaja selalu on fire. Mau tak mau, remaja harus berpacu dengan waktu dan berkompetisi dengan orang lain. Agar bisa survive, mereka harus menumbuhkan semangat dari dalam diri. Semangat itu adalah bentuk energi berlebih yang harus disalurkan. Salurkan hal tersebut untuk hal positif. Sebab jika tidak disalurkan ke hal positif, energi itu akan bersifat merusak. Selain diperlukan media penyaluran, lingkungan sekitar hendaknya juga mendukung. Beri penghargaan agar dia tetap bersemangat dan beri kritik saat berlebihan. Semua hal itu dilakukan agar si anak tetap terkendali.

Sumber:
Deteksi Jawa Pos, Selasa 27 April 2010

Saturday, March 27, 2010

Karena Cinta Tak Bisa Menunggu - Ngasih Dia Batasan Waktu Nembak

Tak Siap Terima Resiko

Saat-saat pencerahan memang terasa berat dilakukan untuk beberapa orang. Keadaan seperti itu wajar. Sebab, pada hakikatnya nggak semua orang siap menerima resiko atas apa yang hendak dilakukan, termasuk resiko ditolak. Hal tersebut sering kali jadi hambatan utama mengapa orang itu nggak nembak-nembak. Faktor lain, bisa jadi karena alasan situasional. Entah karena tempat nggak cocok atau waktu yang nggak tepat. Bagi beberapa orang, faktor situasional seperti itu penting demi sebuah momen penembakan. Kalau belum tepat, ya tidak dilakukan. Karena itu, yakinkan perasaan lebih dahulu saat mau nyatakan cinta. Siapkan segalanya dengan sebaik-baiknya agar momen penembakan lebih mantap.

Sumber:
Deteksi Jawa Pos, Sabtu 27 Maret 2010

Wednesday, March 10, 2010

Penanganan Psikologis Anak Autis

Bagian dari kolaborasi antara orangtua, dokter, psikolog dan pendidik

Oleh: Josephine M.J. Ratna, M.Psych

A. PENDAHULUAN

Dari kacamata orang lain, anak autis digambarkan sebagai anak yang ‘aneh’, tidak seperti anak lainnya…..berbeda dan tidak mudah dimengerti. Memahami anak autis lewat deskripsi orang lain sebagaimana yang dikemukakan beberapa orangtua dalam www.puterakembara.org

“Sekali waktu dia seperti anak yang manis yang begitu dekat dengan kita….. di waktu lain dia jauh tak teraih ;


Dia tidak buta…tapi kadang matanya sulit untuk melihat yang harus dia lihat …tidak tahu apa yang dia lihat ;


Dia tidak tuli…..tapi seringkali dia seakan tak mendengar, cuek bebek gak merespon…membuat kita seperti tak ada ;


Dia tidak bisu tapi mulutnya seakan sulit membentuk kata-kata (bicara itu susah, tahu! Kata seorang anak lewat secarik kertas) ;


Seorang anak mengatakan (setelah dia bisa menulis), dia tidak tahu kenapa badannya ingin bergerak terus, padahal dia telah lelah, bahkan ia sampai menangis karena kelelahan, tapi badannya tak bisa diperintah untuk diam ;


Anak lain bahkan marah pada tangannya, karena nggak mau nurut ketika ia perintahkan untuk menyendok makanan.”


B. APA YANG ANAK AUTIS RASAKAN DAN ALAMI ?

Salah satu cara memahami anak autis adalah dengan mencoba merasakan apa yang mereka komunikasikan, apa yang mereka ceritakan sesuai dengan versi mereka sendiri. Kemudian membandingkannya dengan apa yang diceritakan orang lain tentang perilaku dan hasil observasi mereka dari berinteraksi dengan anak autis.

Penelitian tentang autism sangat banyak, namun untuk memahami dengan akurat apa sesungguhnya yang dirasakan oleh anak autis, membutuhkan kesabaran, mengingat anak autis memiliki kesulitan dalam mengkomunikasikan apa yang ingin mereka sampaikan. Akan lebih sulit pula bila mereka harus menggambarkan apa yang mereka alami dan rasakan.

Temple Grandin, seorang autis yang telah menjadi dewasa dan berprofesi sebagai ahli ilmu binatang, menggambarkan bagaimana pengalaman hidupnya sebagai anak autis dan bagaimana segala pengalaman belajar dan pendidikan yang dijalaninya telah membantunya untuk mengatasi kesulitan dirinya dan terlebih adalah untuk menjadi diri sendiri dan bangga terhadap apa yang dimilikinya.

“Good teachers helped me to achieve success. I was able to overcome autism because I had good teachers. Children with autism need to have a structured day, and teachers who know how to be firm but gentle”


“I think in pictures. Words are like a second language to me. I translate both spoken and wrriten words info full-color movies, complete with sound, which run like a VCR tape in my head. When somebody speaks to me. His words are instantly translated into pictures.

Lain lagi dengan kisah Donna Williams yang sudah membukukan pengalaman hidupnya sebagai seorang autis yang baru memperoleh diagnosis autis setelah dewasa. Buku “Nobody Nowhere : The Remarkable Autobiography of An Autistic Girl” diterjemahkan dalam bahasa Indonesia “Dunia di Balik Kaca : Kisah Nyata Seorang Gadis Autistik” serta buku lanjutannya “Somebody Somewhere : Breaking Free from The World of Autism” diterjemahkan dalam bahasa Indonesia “Namaku Donna : Melepaskan Diri dari Belenggu Autisme” mengisahkan bagaimana ia menempatkan diri dalam ‘dunia’nya dan memandang ‘dunia’ orang lain :

Autisme adalah sesuatu yang tidak bisa kulihat. Dia membuatku berhenti menemukan dan menggunakan kata-kataku saat aku menginginkannya. Atau membuatku menggunakan semua kata-kata dan hal-hal konyol yang tidak ingin kukatakan.


Autisme membuatku merasakan semuanya secara sekaligus tanpa memahami apa yang kurasakan. Atau dia membuatku tidak merasakan apa-apa.


Autisme membuatku mendengar kata-kata orang lain, tetapi tidak mampu memahami maknanya. Atau autisme membiarkanku mengatakan kata-kataku sendiri, tanpa memahami apa yang kukatakan atau bahkan yang kupikirkan.


Autisme membuatku terpisah dari pikiran-pikiranku dan rasa ingin tahuku sehingga aku percaya aku tidak memikirkan apa-apa atau aku tidak tertarik pada apa-apa. Atau autisme membuat pikiranku hamper meledak dengan keinginan untuk mengjangkau dan mengatakan apa yng kupikirkan, atau menunjukkan apa yang menarik minatku….. tetapi tidak ada yang keluar, bahkan tidak pada wajahku, pada mataku, atau pada kata-kataku.


Autisme membuatku terpisah dari tubuhku snediri sehingga aku tidak merasakan apa-apa. Autisme juga bisa membuatku sangat sadar akan sesuatu yang kurasa sangat menyakitkan.


Autisme kadang-kadang membuatku merasa bahwa aku sama seklai tidak memiliki diri dan aku merasa sangat terbebani oleh kehadiran orang lain sehingga aku tidak bisa menemukan diriku sendiri. Autisme juga bisa membuatku sadar sepenuhnya akan diriku sehingga seluruh dunia di seputarku seakan-akan menjadi tidak relevan dan menghilang.


Autisme seperti papan jungkit. Jika dia naik atau turun, aku tidak bisa melihat seluruh kehidupan. Jika dia melewati titik tengah, aku bisa melihat sekilas kehidupan yang akan kumiliki jika aku bukan seorang pengidap autisme.

Peran psikolog untuk menjadi semakin mengerti tentang apa yang dialami dan dirasakan oleh anak autis adalah dengan memberikan respon yang sesuai dengan kondisi masing-masing anak dan mencoba dapat memahami dan memberikan respon yang berpijak pada ‘dunianya’


C. APA YANG SAYA KETAHUI TENTANG ANAK AUTIS ?

Menilik apa yang dikemukakan para ahli perkembangan anak dan dokter tentang anak autis serta memadukannya dengan ungkapan dari anak itu sendiri (baik yang masih dalam perawatan maupun yang telah mampu mengatasinya), ternyata autisme hendaknya dipahami secara utuh sebagai sebuah spectrum yang melibatkan begitu banyak faKtor pemicu dan gejala unik bagi penderitanya. Secara teoritis autisme dapat dijelaskan sebagai berikut :

Definisi dan Masalah yang dilaporkan

Istilah Autisme berasal dari kata "Autos" yang berarti diri sendiri dan "Isme" yang berarti suatu aliran, sehingga autisme kurang lebih berarti suatu bentuk ketertarikan hanya pada dunianya sendiri.

Anak-anak dengan autisme (ASD = Autistic Spectrum Disorder) mengalami kesulitan dan bahkan tidak mampu membentuk jalinan emosi degan orang lain. Mereka juga mengalami kesulitan bahkan ketidakmampuan untuk berbahasa yang mengakibatkan hambatan berkomunikasi dan bersosialisasi. Pikiran, perasaan dan perilaku mereka akhirnya sulit dipahami oleh orang lain, terlebih bila kesulitan bahasa, komunikasi, sosialisasi tersebut juga diperparah dengan gangguan lain misalnya gangguan pencernaan serta sensitivitas yang tinggi terhadap bunyi, sentuhan, penglihatan dan penciuman.

Pada autistik infantil gejalanya bahkan sudah ada sejak lahir. Secara ringkas anak penyandang autisme mempunyai masalah/gangguan (kesulitan pada tiap individu berbeda) dalam bidang :

1. Komunikasi

- Perkembangan bahasa lambat atau sama sekali tidak ada.

- Anak tampak seperti tuli, sulit berbicara, atau pernah berbicara tapi kemudian sirna,

- Kadang kata-kata yang digunakan tidak sesuai artinya.

- Mengoceh tanpa arti berulang-ulang, dengan bahasa yang tak dapat dimengerti orang

lain

- Bicara tidak dipakai untuk alat berkomunikasi

- Senang meniru atau membeo (echolalia)

- Bila senang meniru, dapat hafal betul kata-kata atau nyanyian tersebut tanpa mengerti

artinya

- Sebagian dari anak ini tidak berbicara ( non verbal) atau sedikit berbicara (kurang verbal)

sampai usia dewasa

- Senang menarik-narik tangan orang lain untuk melakukan apa yang ia inginkan, misalnya

bila ingin meminta sesuatu



2. Interaksi sosial

- Lebih suka menyendiri

- Tidak ada atau sedikit kontak mata, atau menghindar untuk bertatapan

- Kurang atau tidak tertarik untuk bermain bersama teman

- Bila diajak bermain, ia tidak mau dan menjauh



3. Gangguan sensoris

- sangat sensistif terhadap sentuhan, seperti tidak suka dipeluk

- bila mendengar suara keras langsung menutup telinga

- senang mencium-cium, menjilat mainan atau benda-benda

- tidak sensitif terhadap rasa sakit dan rasa takut



4. Pola bermain

- tidak bermain seperti anak-anak pada umumnya,

- tidak suka bermain dengan anak sebayanya,

- tidak kreatif, tidak imajinatif

- tidak bermain sesuai fungsi mainan, misalnya sepeda dibalik lalu rodanya di putar-putar

- senang akan benda-benda yang berputar, seperti kipas angin, roda sepeda,

- dapat sangat lekat dengan benda-benda tertentu yang dipegang terus dan dibawa

kemana-mana



5. Perilaku

- dapat berperilaku berlebihan (hiperaktif) atau kekurangan (hipoaktif)

- tidak suka pada perubahan

- dapat pula duduk bengong dengan tatapan kosong

- adanya perilaku khas seperti bergoyang-goyang, mengepakkan tangan seperti burung,

berputar-putar, berjalan jinjit, mendekatkan mata ke pesawat TV, lari/berjalan bolak

balik, dan melakukan gerakan yang diulang-ulang. Belakangan diketahui bahwa perilaku

anak autis yang semacam ini terjadi karena anak tersebut ingin dengan segera keluar

dari ketidaknyamanan



6. Emosi

- sering marah-marah tanpa alasan yang jelas, tertawa-tawa, menangis tanpa alasan

- temper tantrum (mengamuk tak terkendali) jika dilarang atau tidak diberikan keinginannya

- kadang suka menyerang dan merusak

- Kadang-kadang anak berperilaku yang menyakiti dirinya sendiri

- tidak mempunyai empati dan tidak mengerti perasaan orang lain

Ke-enam gangguan di atas dapat pula disertai dengan permaslaahan khas yang lain seperti gangguan pencernaan, gangguan tidur, adaptasi di lingkungan baru dan gangguan belajar.

Karakteristik khas lain yang sering dilaporkan oleh penyandang autisme yang telah mampu memahami diri mereka antara lain menjelaskan bahwa :

1. Mereka adalah visual thinkers

Artinya mereka lebih mudah memahami hal konkrit (yang dapat dilihat dan dipegang) daripada hal abstrak. Ingatan tentang berbagai konsep tersimpan dalam bentuk gambar. Hal ini mengakibatkan proses berpikir yang menggunakan gambar akan lebih lambat daripada proses berpikir verbal, sehingga seringkali untuk memberikan respon / jawaban atas pertanyaan tertentu, mereka memerlukan jeda beberapa saat.

Pemikiran logis (menggunakan logika) akan sulit untuk dipahami oleh orang lain. Bagi mereka apa yang dianggap logis menurut ukurannya belum tentu dan biasanya tidak logis (sulit diterima akal sehat) oleh kebanyakan orang.

2. Mereka mengalami kesulitan melakukan pemrosesan informasi

Anak autis terbatas dalam memahami ‘common sense’ atau menggunakan akal sehat / nalar yang bagi kebanyakan orang terkadang terjadi secara otomatis.

Mereka juga sulit memahami rangkaian instruksi atau informasi verbal yang panjang. Temple Grandin menyatakan bahwa biasanya anak autis hanya mampu mengingat 3 langkah instruksi sederhana yang diucapkan dalam bahasa yang sederhana.

Merekapun sulit melakukan 2 atau lebih aktivitas secara bersamaan. Hampir tidak mungkin hal ini dapat dilakukan oleh penyandang autis.

3. Sensitivitas sensori

Biasanya sangat sensitif terhadap suara (khususnya suara keras, bising atau yang bersifat seperti bel dan dering telepon). Respon yang biasanya dilakukan adalah dengan mengeluarkan suara dengungan / bergumam yang bertujuan agar ia hanya mendengarkan dengungannya sendiri dan tidak harus memusatkan perhatian pada sumber suara yang lain.

Mereka juga sensitif terhadap sentuhan, walaupun derajat sensitivitasnya tidak sama pada tiap anak. Seringkali anak lebih senang tidak disentuh dan hal ini membuatnya merasa nyaman. Bagi sebagian anak dalam spektrum autisme ini, pelukan sebagai wujud kasih sayang terasa sangat menyakitkan baginya, sehingga ia biasanya akan berusaha melepaskan diri dari ketidaknyamanan tersebut.

Adanya kepekaan yang berlebihan ini terkdang membuat mereka menarik diri dari lingkungannya dan kurang/tidak dapat mentolerir rangsang-rangsang tersebut

Angka Kejadian dan Perkiraan Penyebab Autisme

Pada kebanyakan kasus autis, ditemukan 3-5 kali lebih banyak pada anak laki-laki dan gejalanya terdeteksi pada usia 18-36 bulan. Oleh karenanya kemampuan orangtua untuk mendeteksi secara lebih dini gangguan ini akan berpengaruh pada perkembangan dan keberhasilan terapi anak tersebut nantinya.

Diperkirakan 75%-80% penyandang autis diikuti pula dengan retardasi mental, sedangkan 20% dari mereka mempunyai kemampuan yang cukup tinggi untuk bidang-bidang tertentu (savant).

Memperhatikan penelitian yang dilakukan berkaitan dengan autisme, diperkirakan ASD disebabkan oleh beberapa faktor independen namun saling terkait dan menimbulkan beragam tingkat keparahan autisme sendiri, antara lain :

• Faktor genetika

Bayi kembar satu telur akan mengalami gangguan autistik yang mirip dengan saudara kembarnya. Juga ditemukan beberapa anak dalam satu keluarga atau dalam satu keluarga besar mengalami gangguan yang serupa.

• Pengaruh virus seperti rubella, toxo, herpes; jamur; nutrisi yang buruk; perdarahan; keracunan makanan, dan lain sebagainya pada saat kehamilan dapat menghambat pertumbuhan sel otak yang dapat menyebabkan fungsi otak bayi yang dikandung terganggu terutama fungsi pemahaman, komunikasi dan interaksi.

• Faktor pencernaan individu

Lebih dari 60 % penyandang autisme ini mempunyai sistem pencernaan yang kurang sempurna. Makanan berupa susu sapi (casein) dan tepung terigu (gluten) dideteksi tidak tercerna dengan sempurna. Protein dari kedua makanan ini tidak semua berubah menjadi asam amino tapi juga menjadi peptida, suatu bentuk rantai pendek asam amino yang seharusnya dibuang lewat urine. Pada penyandang autisme, peptida ini diserap kembali oleh tubuh, masuk kedalam aliran darah, masuk ke otak dan diubah oleh reseptor opioid menjadi morphin yaitu casomorphin dan gliadorphin, yang mempunyai efek merusak sel-sel otak dan membuat fungsi otak terganggu. Fungsi otak yang terkena biasanya adalah fungsi kognitif, reseptif, atensi dan perilaku.

Diagnosis Klinis Autisme

Untuk memberikan diagnosis yang tepat dan akurat bahwa seorang anak menderita ASD bukanlah hal yang mudah, terlebih menyadari bahwa terdapat beberapa faktor yang ikut mempengaruhi keparahan ASD, antara lain faktor :

• psikodinamik dan keluarga

• kelainan organik-neuroloik-biologik

• genetika

• imunologik

• perinatal

• neuroanatomi

• biokimia

Banyak gangguan perkembangan anak yang gejalanya mirip satu dengan yang lain dan hal ini akan berpotensi pada penegakkan diagnosis yang keliru. Oleh karena itu sangat dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan secara menyeluruh terhadap berbagai kemungkinan sebagaimana yang telah disepakati khususnya dengan dokter yang merawat. Dalam melakukan pemeriksaan terhadap anak dengan gejala yang diperkirakan ASD, maka evaluasinya lebih baik melibatkan tim dari berbagai disiplin ilmu, antara lain : dokter, ahli syaraf, psikolog, ahli gizi, terapis wicara, pendidik dan lain-lain.

Dalam menegakkan diagnosis autis, psikolog bekerjasama dengan profesi lain dituntut untuk melakukan pengamatan dengan seksama dan menemukan rangkaian gejala khas yang menyertai sebelum memberikan kesimpulan bahwa seseorang menderita Autistic Spectrum Disorder. Pemeriksaan psikologis bertujuan untuk memberikan gambaran profil psikologis anak agar orangtua dan pihak sekolah memahami kelebihan dan kekurangan anak secara menyeluruh. Denagn adanya profil ini, dapat disarankan bagaimana pihak yang terkait dapat mendukung dan mengarahkan anak untuk mengembangkan potensi aktualnya secara optimal tanpa membuat anak merasa tertekan.

Diagnosis yang ditegakkan ini hendaknya selalu dievaluasi secara reguler untuk memastikan bahwa tidak terdapat kesalahan interpretasi gejala.


E. PENANGANAN ANAK AUTIS

Waktu adalah bagian terpenting. Semakin dini penanganan terpadu anak autis, lebih terbuka peluang perubahan ke arah perilaku normal. Penanganan anak autis membutuhkan kerjasama khususnya dari pihak keluarga. Sangat penting keluarga mau menerima keadaan anaknya terlebih dahulu dan berjuang bersama terapis dan anak itu sendiri untuk menjalani terapi yang penuh dengan ‘pengertian’. Selain itu juga dibutuhkan kerjasama yang bak dari para pendidik dimana suka tidak suka dan mau tidak mau orang dewasa yang berada di sekitar anak autis inilah yang harus menyesuaikan diri dengan kebutuhan mereka.

Keberhasilan penanganan program pendidikan dna pengajaran anak autis sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain :

1. Berat - ringannya kelainan/gejala

2. Usia pada saat diagnosis

3. Tingkat kemampuan berbicara dan berbahasa

4. Tingkat kelebihan (strengths) dan kekurangan (weaknesses) yang dimiliki anak

5. Kecerdasan intelektual/IQ

6. Kesehatan dan kestabilan emosi anak

7. Terapi yang tepat dan terpadu meliputi guru, kurikulum, metode, sarana pendidikan,

lingkungan (keluarga, sekolah dan masyarakat).


Peran Keluarga pada Penanganan Autistic Spectrum Disorder

Orangtua / keluarga mempunyai peran yang sangat vital dalam mendeteksi dan peka terhadap kesesuaian dan ketidaksesuaian perkembangan fisik dan mental buah hatinya. Segala kekuatiran orangtua terhadap sang buah hati penting untuk dikomunikasikan, terutama pada usia 18 – 36 bulan. Orangtua sangat dianjurkan memiliki catatan gejala yang disertai dengan penjelasan situasi (lihat lampiran). Catatan ini akan sangat bernilai untuk dikonsultasikan pada psikolog atau psikiater anak bila terdapat kekuatiran tentang kondisi anak.

Berikut adalah gambaran tentang keadaan yang kebanyakan dialami oleh orangtua sebelum diagnosis autis diberikan :

Adanya kekuatiran bahwa anak mereka nampaknya tidak sama dengan anak lain sebayanya biasanya memaksa orangtua untuk meminta pendapat ahli. Pada saat ini orangtua mengalami perasaan was-was antara ingin tahu dan tidak ingin mendengar berita buruk, namun di sisi lain ingin pula mengkonfirmasikan kecurigaan atas perkembangan anak yang dinilai tidak sebagaimana mestinya. Orangtua tidak mudah melewati fase ini.

Bila dari gejala yang dilaporkan belum dapat dipastikan bahwa anak menderita autis, biasanya orangtua akan diminta melakukan monitoring dan observasi ketat sehubungan dengan gejala yang ingin dikonfirmasikan. Hendaknya pada saat demikian, orangtua benar-benar meluangkan waktu untuk melakukan observasi yang serius dan tidak menyerahkan/melemparkan tugas ini pada baby sitter sang anak.

Pada waktu melakukan observasi, biasanya terjadi tarik ulur kondisi psikologis orangtua dan keluarga, yaitu antara pembenaran dan penyangkalan bahwa anak mereka memang mengalami ASD. Untuk menenangkan hati, orangtua akan berusaha mencari pendapat lain dari berbagai profesi dan mencari literatur tentang ketakutannya tersebut.

Bila usia anak masih sangat muda pada saat awal mula gejala ASD dideteksi orangtua, maka sangat mungkin terjadi bahwa orangtua memperoleh pendapat yang menyejukkan hati sekaligus menjerumuskan seperti :

• “Jangan kuatir, anak laki-laki memang biasa bicara terlambat….nanti kalau sudah tiba waktunya, maka ia akan bicara sendiri”

• “Ah…biasa kalau anak itu punya dunia fantasi dan berimajinasi seolah-olah dia itu pesawat terbang dan mendengungkan suara pesawat…. Itu sih tandanya anak pintar….jangan takut deh”

Akan lebih runyam bila ternyata pendapat yang menyejukkan hati itu datang dari seorang yang berprofesi kompeten di bidang kesehatan / pendidikan. Akibatnya…… bisa jadi orangtua malah tidak peka bila ternyata gejala semakin parah dan semakin banyak gejala lain yang muncul.


Berikut adalah gambaran tentang keadaan yang kebanyakan dialami oleh orangtua pada saat diagnosis autis diberikan :

Orangtua pasti akan mengalami shock ketika mengetahui buah hati mereka menderita spektrum autis. Dalam keadaan shock ini, ortu merasa tidak percaya (kog bisa begitu…kok anak saya ???) dan tidak dapat menerima kenyataan ini. Beberapa reaksi yang mungkin timbul pada saat orangtua menerima diagnosis adalah :

- bingung, merasa tak berdaya

- merasa bersalah, menyalahkan/menyesali diri dan mencari bentuk-bentuk kesalahan yang diperkirakan bertanggungjawab akan diagnosis ini

- marah pada diri sendiri dan bahkan pada Tuhan

- sedih, putus asa, depresi dan stres berkepanjangan

- merasa diperlakukan tidak adil

- tidak percaya pada dokter / psikolog dan berusaha mencari second, third, fouth opinions…doctor shopping dan tawar menawar diagnosis

- menyangkal bahwa anak memang bermasalah

- namun akhirnya harus menerima kenyataan

Bila keadaan dan reaksi di atas terjadi berlarut-larut justru akan mempelambat penanganan yang akurat bagi si anak. Dokter dan para medis atau siapa saja yang terlibat secara langsung pada perkambangan dan penanganan anak, hendaknya berpedoman pada “pentingnya penanganan dini….waktu sangat berharga”. Orangtua hendaknya diberi kesempatan untuk menghadapi dan melewati saat yang sulit ini, namun diberikan batasan waktu untuk mengambil keputusan untuk memilihkan terapi yang sesuai dengan kebutuhan sang buah hati.

Berikut adalah gambaran tentang keadaan yang kebanyakan dialami oleh orangtua setelah diagnosis autis diberikan :

Diagnosis biasanya diperoleh setelah melakukan wawancara mendalam dengan ortu, upaya berinteraksi dengan anak dan observasi intensif anak pada khususnya aspek perilaku, komunikasi dan interaksi.

Pada saat ini penting mendorong orangtua untuk :

1. Menerima dan memahami keadaan anak apa adanya

Mencoba menerima positif-negatif, kelebihan dan kekurangan. Melihat apa yang sudah bisa dan belum bisa dilakukan anak. Orangtua diharapkan tidak mengecam, mengeluh dan mengkritik anaknya berlebihan karena sikap ini justru akan membuat anak menolak untuk berinteraksi dengan ortu.

2. Bersikap kooperatif dalam memberikan data yang akurat untuk membantu profesi terkait merancang treatment yang terbaik atau paling sesuai dengan kebutuhan anak, mengingat beragamnya gejala ASD. Panduan pertanyaan pada lampiran dapat membantu orangtua.

3. Mengupayakan alternatif penanganan sesuai dengan kebutuhan. Tidak semua anak dengan ASD membutuhkan segala macam tawaran penanganan yang ada. Harus dilihat dengan baik (observasi intensif) mengenai metoda mana yang paling sesuai dengan anak. Orangtua hendaknya tidak menjadi panik dan mengikutsertakan anak dalam semua jenis pengobatan yang ada, karena justru kepanikan ini akan menimbulkan tekanan dan ketegangan baik pada orangtu, keluarga dan si anak itu sendiri.

4. Cari dan kembangkan alternatif solusi yang realistis dan bukan menambah masalah baru

5. Gunakan dan pilih metoda yang sesuai dengan kasus dan keparahan ASD. Pakai metoda yang paling nyaman bagi ortu dan anak dan kenali bagaimana evaluasi dapat dilakukan. Misalnya, orangtua dapat dilatih untuk menggunakan metoda PECS (Picture Exchange Communication System) karena biasanya anak dengan ASD merupakan Visual learner/thinker.

6. Libatkan anggota keluarga lain (kakak, adik, kakek, nenek, paman, bibi, pembantu, baby sitter, dll) untuk mendukung program yang telah dibuat bagi anak autis.

7. Pelajari latihan-latihan sederhana yang dapat dilakukan oleh orangtua di rumah, tidak hanya membiarkan dan melepaskan penanganan anak mereka di lembaga yang ada. Bagaimanapun kasih sayang orangtua tak tergantikan yang hendaknay ditunjukkan melalui cara yang tepat agar dapat diterima oleh anak.

8. Amati minat dan bakat anak. Ada anak autis yang memiliki ketertarikan pada musik, menggambar, computer dan matematika. Orangtua hendaknya memiliki harapan dan tuntutan yang realistis pada anaknya dan jeli melihat kemajuan anak dalam bidang tertentu.

9. Tetap memberikan kesempatan bagi anak untuk melakukan eksplorasi dan belajar dari lingkungan sekitarnya. Ijinkan mereka mempunyai banyak pengalaman belajar, namun ortu perlu memberikan pengarahan yang dapat meningkatkan kemungkinan hasil belajar yang positif. Larangan dan sikap overprotective justru akan membuat anak belajar untuk bersikap ‘tak berdaya’ (learned helplessness).

10. Membuka diri dan tidak memisahkan diri dari orangtua-orangtua yang lain di lingkungan ketetanggaan atau sekolah. Menarik diri dan merasa malu akan kondisi anaknya yang autis justru menimbulkan permasalahan lain yang tidak perlu.

11. Mengajarkan kepatuhan dan harus konsisten dengan aturan yang sudah diterapkan, karena anak dengan ASD perlu belajar secara terstruktur, terpola dan konsisten. Fleksibilitas sikap dan perilaku orangtua di awal treatment justru akan membingungkan anak.

12. Evaluasi rencana dan metoda yang telah disepakati


F. KIAT MENGAJAR ANAK AUTIS BERDASARKAN PEMAHAMAN AKAN “DUNIA” MEREKA

Sebagaimana telah dijelaskan di atas, menangani anak dengan Austistic Spectrum Disorder membutuhkan pemahaman yang menyeluruh tentang keadaan ini, terutama dengan memahami apa yang sesungguhnya dialamai dan dirasakan oleh si penderita sendiri. Menjadi berbeda dari anak lain, memiliki kebiasaan yang khas serta mengalami gangguan-gangguan yang spesifik hendaknya tidak membuat mereka kehilangan hak untuk menjadi diri mereka sendiri yang sekaligus tetap mampu mengembangkan potensi yang mereka miliki sejalan dengan kekurangan dan keterbatasan yang ada.

Berikut adalah masukan yang diberikan oleh Temple Grandin tentang bagaimana sebaiknya memperlakukan anak-anak yang memiliki karakteristik khas sebagaimana yang dialaminya. Ia tidak lagi menyesali dan menampik bahwa ia adalah penderita ASD, namun justru merasa bangga terhadap apa yang dimilikinya dan mengoptimalkan talenta tersebut dan menciptakan strategi belajar yang sesuai.

1. Kebanyakan anak dengan autisme berpikir dan belajar secara visual. Kata benda lebih mudah dipelajari dan dimengerti karena lebih mudah menyajikannya sebagai gambar dalam pikirannya daripada sekedar kata-kata. Untuk mengajarkan kata-kata dan pemahaman tentang ‘atas’ dan ‘bawah’, guru dan orangtua dapat memperagakannya di hadapan anak dengan menggunakan pesawat terbang dan berkata ‘atas’ ketika mengangkat pesawat itu terbang dan ‘bawah’ ketika pesawat diturunkan. Lakukan hal ini berulang-ulang dan anak akan belajar tentang konsep ‘atas-bawah’ dengan cara menyenangkan.

2. Hindari memberikan instruksi secara panjang lebar. Mereka dengan autisme mengalami kesulitan mengingat urutan. Jika anak sudah dapat membaca, tuliskan perintah tersebut pada secarik kertas dan ia akan melaksanakannya sesuai urutan.

3. Beri perhatian khusus pada minat mereka, diantaranya kebanyakan memiliki kelebihan dalam bidang seni (musik, gambar) dan computer.

4. Seringkali anak autis terfiksasi (perhatian terhenti) pada sebuah benda, misalnya kereta api, roda, atau pesawat terbang. Strategi terbaik untuk mengatasi fiksasi ini adalah justru dengan menggunakan benda-benda tersebut untuk memotivasi mereka dalam pelajaran sekolah. Contohnya, bila anak menyukai kereta api, maka gunakan kereta api untuk kegiatan membaca dan belajar matematika –“Kereta ini mau pergi ke SURABAYA. Coba hitung ada berapa gerbongnya ? “

5. Gunakan metode visual konkrit dalam mengajarkan konsep angka. Misalnya gunakan balok-balok dengan panjang yang berbeda untuk mengajarkan pendek-panjang, balok angka dengan warna yang berbeda untuk mempelajari angka 1 – 10. Dari sinilah diajarkan konsep tambah kurang. Untuk mengajarkan konsep pembagian, gunakan apel kayu yang terdiri dari 4 potongan yang apabila disusun akan membentuk apel atau buah pear yang terdiri dari 2 potongan. Dari sini anak belajar tentang konsep ¼ dan ½.

6. Biasanya tulisan tangan anak autis tidak rapi karena mereka mengalami gangguan dalam psikomotor dan kendali gerakan. Hal ini dapat menimbulkan frustrasi yang berkepanjangan pada anak bila ia tetap dipaksa menulis. Ijinkan ia memakai komputer bila hal ini ternyata akan membantunya berkomunikasi dan belajar membaca/menulis.

7. Pada saat anak masih kecil, biasanya suara keras akan terasa begitu menyakitkan di telinga mereka, seperti bunyi bel, desingan bor dokter gigi, suara vacuum cleaner, sirene, alarm, speaker sound system bahkan suara dari game watch. Untuk mengatasi hal ini, usahakan untuk meredam kebisingan namun bukan meniadakannya sama sekali.

8. Beberapa anak autis nampak mengeluh dan merespon negatif pada hal-hal yang menyilaukan mata khususnya lampu neon. Hal ini disebabkan mereka memiliki kepekaan yang kuat dalam menangkap getaran dan kedipan cahaya neon dan oleh karenanya sangat bijak bila menempatkan meja belajar dekat jendela agar ia memperoleh cahaya matahari. Lampu neon yang sdauh lama akan lebih sering bekedip dan hal ini sungguh merupakan siksaan. Selalu sediakan yang baru karena neon yang baru berkedip lebih jarang.

9. Beberapa anak autis akan merespon lebih baik khususnya dalam hal mempertahaka kontak mata dan bicara bila guru atau orangtua berinteraksi dengan mereka saat mereka sedang berayun-ayun atau sedang bergulung-gulung di matras. Input sensorik dari ayunan dan tekanan pada matras nampaknya membantu mereka untuk meningkatkan kemampuan bicara. Aktivitas berayun dan bergulung-gulung di matras hendaknya tidak dipaksakan dan harus atas keinginan anak serta tetap menjadi bagian dari kegiatan bermain yang menyenangkan.

10. Pada beberapa anak dan orang dewasa dengan ASD, mereka lebih bisa belajar dan menangkap makna dari apa yang dipelajari bila hal tersebut dinyanyikan daripada dibacakan atau berbentuk kalimat. Bila anak sangat peka terhadap suara, maka guru atau orangtua hendaknya menurunkan volume suara dan bahkan berbisik. Oleh karena itu sangat penting untuk mengetahui ambang penerimaan auditori anak.

11. Kebanyakan anak autis tidak dapat memproses rangsang visual dan suara pada saat bersamaan. Mereka sulit untuk melihat dan mendengar pada waktu yang sama. Hendaknya rangsangan diberikan satu persatu agar anak tidak bingung merespon.

12. Pada anak autis yang berusia lebih besar, mereka lebih mudah belajar bila menyentuk benda yang dipelajari. Contohnya, 15 menit sebelum anak makan siang, diberikan sendok untuk dipegang, atau berikan mobil-mobilan untuk dipegangnya beberapa saat sebelum bepergian dengan mobil.

13. Anak-anak dengan kemampuan nonverbal ini biasanya lebih mudah untuk mengasosiasikan kata-kata dengan gambar. Pada anak-anak yang lebih kecil gunakan foto atau obyek yang nyata bukan gambar sketsa atau kartun.

14. Individu dengan ASD pada awalnya belum memahami bahwa berbicara itu berarti berkomunikasi. Oleh karenanya ketika anak menyebutkan piring padahal sesungguhnya ia menghendaki gelas, maka berikan piring padanya. Ia perlu belajar bahwa apa yang dikatakannya akan menimbulkkan respon orang lain, sehinggabila ia salah menyebutkan maka ia tidak akan mendapatkan yang ia harapkan.

15. Walaupun anak autis tertarik pada komputer dan aktivitas yang menggunakan komputer, kebanyakan mereka mengalami kesulitan dalam menggunakan mouse. Gunakan alternatif mouse yang memungkinkan dan bandingkan mana yang lebih memudahkannya.


G. PERAN SEKOLAH DALAM MENUNJANG PENDIDIKAN DAN PENGAJARAN BAGI ANAK AUTIS

Departemen Pendidikan Nasional – Pendidikan Dasar dan Menengah sudah memiliki Kebijakan Pelayanan Pendidikan Anak Autis yang memuat hal-hal yang harus dipersiapkan dan dipertimbangkan oleh sekolah yang akan terlibat dalam penanganan anak autis.

H. PENUTUP

Mengenal autisme secara sempurna tidak hanya lewat teori atau berdiskusi dengan ahli-ahli yang terlibat secara langsung. Penting untuk mengenal autisme justru dari kisah penderita atau mantan penderita beserta keluarganya.

Donna Williams secara indah menyimpulkan apa itu autisme dan bagaimana secara tidak langsung orang-orang di sekitar penderita ikut mempengaruhi (mendukung dan memberi support untuk kesembuhan atau malahan memperparah). Kutipan indah tentang autisme di akhir dari makalah ini diambil dari “Namaku Donna : Melepaskan diri dari belenggu autisme” :

Hal terpenting yang aku pelajari adalah AUTISME BUKANLAH AKU. Autisme hanyalah sebuah masalah dalam memproses informasi yang mengendalikan penampilanku. Autisme berusaha menghentikanku untuk bebas menjadi diriku. Autisme berusaha merampok hidupku, persahabatanku, kepedulianku, keinginan untuk berbagi minat-minatku, kecerdasanku, dan keterpengaruhanku….dia berusaha menguburku hidup-hidup…


Hal terpenting kedua yang aku pelajari adalah AKU BISA MEMERANGI AUTISME…. AKU AKAN MENGENDALIKANNYA…. DIA TIDAK AKAN MENGENDALIKANKU……

Dengan indah dan tegas, Temple Grandin menyatakan bahwa apa yang dialaminya sebagai anak autis tidak ingin dipertukarkan dengan pengalaman orang lain. Ia menghargai potensi dan talenta dirinya setinggi mungkin dan merasa beruntung memilikinya

Visual thinking has enabled me to build entire systems in my imagination. I have worked for many major livestock companies. In fact, one third of the cattle and hogs in the United States are handled in equipment I have designed. Some of the people I’ve worked for don’t even know that their systems were designed by someone with autism. I value my ability to think visually and I would never want to lose it.


Ulasan di atas bisa saja hanya merupakan wacana karena kita tidak secara langsung mengalami dan menjadi bagian langsung dari hidup seorang anak autis, namun tanpa kita sadari mereka ada di sekeliling kita dan respon kita terhadap mereka ikut menentukan kualitas hidup kita semua.

Josephine M.J. Ratna, M.Psych (Praktisi Psikolog Klinis dan Kesehatan, RS Premier Internasional)