Wednesday, March 10, 2010

Penanganan Psikologis Anak Autis

Bagian dari kolaborasi antara orangtua, dokter, psikolog dan pendidik

Oleh: Josephine M.J. Ratna, M.Psych

A. PENDAHULUAN

Dari kacamata orang lain, anak autis digambarkan sebagai anak yang ‘aneh’, tidak seperti anak lainnya…..berbeda dan tidak mudah dimengerti. Memahami anak autis lewat deskripsi orang lain sebagaimana yang dikemukakan beberapa orangtua dalam www.puterakembara.org

“Sekali waktu dia seperti anak yang manis yang begitu dekat dengan kita….. di waktu lain dia jauh tak teraih ;


Dia tidak buta…tapi kadang matanya sulit untuk melihat yang harus dia lihat …tidak tahu apa yang dia lihat ;


Dia tidak tuli…..tapi seringkali dia seakan tak mendengar, cuek bebek gak merespon…membuat kita seperti tak ada ;


Dia tidak bisu tapi mulutnya seakan sulit membentuk kata-kata (bicara itu susah, tahu! Kata seorang anak lewat secarik kertas) ;


Seorang anak mengatakan (setelah dia bisa menulis), dia tidak tahu kenapa badannya ingin bergerak terus, padahal dia telah lelah, bahkan ia sampai menangis karena kelelahan, tapi badannya tak bisa diperintah untuk diam ;


Anak lain bahkan marah pada tangannya, karena nggak mau nurut ketika ia perintahkan untuk menyendok makanan.”


B. APA YANG ANAK AUTIS RASAKAN DAN ALAMI ?

Salah satu cara memahami anak autis adalah dengan mencoba merasakan apa yang mereka komunikasikan, apa yang mereka ceritakan sesuai dengan versi mereka sendiri. Kemudian membandingkannya dengan apa yang diceritakan orang lain tentang perilaku dan hasil observasi mereka dari berinteraksi dengan anak autis.

Penelitian tentang autism sangat banyak, namun untuk memahami dengan akurat apa sesungguhnya yang dirasakan oleh anak autis, membutuhkan kesabaran, mengingat anak autis memiliki kesulitan dalam mengkomunikasikan apa yang ingin mereka sampaikan. Akan lebih sulit pula bila mereka harus menggambarkan apa yang mereka alami dan rasakan.

Temple Grandin, seorang autis yang telah menjadi dewasa dan berprofesi sebagai ahli ilmu binatang, menggambarkan bagaimana pengalaman hidupnya sebagai anak autis dan bagaimana segala pengalaman belajar dan pendidikan yang dijalaninya telah membantunya untuk mengatasi kesulitan dirinya dan terlebih adalah untuk menjadi diri sendiri dan bangga terhadap apa yang dimilikinya.

“Good teachers helped me to achieve success. I was able to overcome autism because I had good teachers. Children with autism need to have a structured day, and teachers who know how to be firm but gentle”


“I think in pictures. Words are like a second language to me. I translate both spoken and wrriten words info full-color movies, complete with sound, which run like a VCR tape in my head. When somebody speaks to me. His words are instantly translated into pictures.

Lain lagi dengan kisah Donna Williams yang sudah membukukan pengalaman hidupnya sebagai seorang autis yang baru memperoleh diagnosis autis setelah dewasa. Buku “Nobody Nowhere : The Remarkable Autobiography of An Autistic Girl” diterjemahkan dalam bahasa Indonesia “Dunia di Balik Kaca : Kisah Nyata Seorang Gadis Autistik” serta buku lanjutannya “Somebody Somewhere : Breaking Free from The World of Autism” diterjemahkan dalam bahasa Indonesia “Namaku Donna : Melepaskan Diri dari Belenggu Autisme” mengisahkan bagaimana ia menempatkan diri dalam ‘dunia’nya dan memandang ‘dunia’ orang lain :

Autisme adalah sesuatu yang tidak bisa kulihat. Dia membuatku berhenti menemukan dan menggunakan kata-kataku saat aku menginginkannya. Atau membuatku menggunakan semua kata-kata dan hal-hal konyol yang tidak ingin kukatakan.


Autisme membuatku merasakan semuanya secara sekaligus tanpa memahami apa yang kurasakan. Atau dia membuatku tidak merasakan apa-apa.


Autisme membuatku mendengar kata-kata orang lain, tetapi tidak mampu memahami maknanya. Atau autisme membiarkanku mengatakan kata-kataku sendiri, tanpa memahami apa yang kukatakan atau bahkan yang kupikirkan.


Autisme membuatku terpisah dari pikiran-pikiranku dan rasa ingin tahuku sehingga aku percaya aku tidak memikirkan apa-apa atau aku tidak tertarik pada apa-apa. Atau autisme membuat pikiranku hamper meledak dengan keinginan untuk mengjangkau dan mengatakan apa yng kupikirkan, atau menunjukkan apa yang menarik minatku….. tetapi tidak ada yang keluar, bahkan tidak pada wajahku, pada mataku, atau pada kata-kataku.


Autisme membuatku terpisah dari tubuhku snediri sehingga aku tidak merasakan apa-apa. Autisme juga bisa membuatku sangat sadar akan sesuatu yang kurasa sangat menyakitkan.


Autisme kadang-kadang membuatku merasa bahwa aku sama seklai tidak memiliki diri dan aku merasa sangat terbebani oleh kehadiran orang lain sehingga aku tidak bisa menemukan diriku sendiri. Autisme juga bisa membuatku sadar sepenuhnya akan diriku sehingga seluruh dunia di seputarku seakan-akan menjadi tidak relevan dan menghilang.


Autisme seperti papan jungkit. Jika dia naik atau turun, aku tidak bisa melihat seluruh kehidupan. Jika dia melewati titik tengah, aku bisa melihat sekilas kehidupan yang akan kumiliki jika aku bukan seorang pengidap autisme.

Peran psikolog untuk menjadi semakin mengerti tentang apa yang dialami dan dirasakan oleh anak autis adalah dengan memberikan respon yang sesuai dengan kondisi masing-masing anak dan mencoba dapat memahami dan memberikan respon yang berpijak pada ‘dunianya’


C. APA YANG SAYA KETAHUI TENTANG ANAK AUTIS ?

Menilik apa yang dikemukakan para ahli perkembangan anak dan dokter tentang anak autis serta memadukannya dengan ungkapan dari anak itu sendiri (baik yang masih dalam perawatan maupun yang telah mampu mengatasinya), ternyata autisme hendaknya dipahami secara utuh sebagai sebuah spectrum yang melibatkan begitu banyak faKtor pemicu dan gejala unik bagi penderitanya. Secara teoritis autisme dapat dijelaskan sebagai berikut :

Definisi dan Masalah yang dilaporkan

Istilah Autisme berasal dari kata "Autos" yang berarti diri sendiri dan "Isme" yang berarti suatu aliran, sehingga autisme kurang lebih berarti suatu bentuk ketertarikan hanya pada dunianya sendiri.

Anak-anak dengan autisme (ASD = Autistic Spectrum Disorder) mengalami kesulitan dan bahkan tidak mampu membentuk jalinan emosi degan orang lain. Mereka juga mengalami kesulitan bahkan ketidakmampuan untuk berbahasa yang mengakibatkan hambatan berkomunikasi dan bersosialisasi. Pikiran, perasaan dan perilaku mereka akhirnya sulit dipahami oleh orang lain, terlebih bila kesulitan bahasa, komunikasi, sosialisasi tersebut juga diperparah dengan gangguan lain misalnya gangguan pencernaan serta sensitivitas yang tinggi terhadap bunyi, sentuhan, penglihatan dan penciuman.

Pada autistik infantil gejalanya bahkan sudah ada sejak lahir. Secara ringkas anak penyandang autisme mempunyai masalah/gangguan (kesulitan pada tiap individu berbeda) dalam bidang :

1. Komunikasi

- Perkembangan bahasa lambat atau sama sekali tidak ada.

- Anak tampak seperti tuli, sulit berbicara, atau pernah berbicara tapi kemudian sirna,

- Kadang kata-kata yang digunakan tidak sesuai artinya.

- Mengoceh tanpa arti berulang-ulang, dengan bahasa yang tak dapat dimengerti orang

lain

- Bicara tidak dipakai untuk alat berkomunikasi

- Senang meniru atau membeo (echolalia)

- Bila senang meniru, dapat hafal betul kata-kata atau nyanyian tersebut tanpa mengerti

artinya

- Sebagian dari anak ini tidak berbicara ( non verbal) atau sedikit berbicara (kurang verbal)

sampai usia dewasa

- Senang menarik-narik tangan orang lain untuk melakukan apa yang ia inginkan, misalnya

bila ingin meminta sesuatu



2. Interaksi sosial

- Lebih suka menyendiri

- Tidak ada atau sedikit kontak mata, atau menghindar untuk bertatapan

- Kurang atau tidak tertarik untuk bermain bersama teman

- Bila diajak bermain, ia tidak mau dan menjauh



3. Gangguan sensoris

- sangat sensistif terhadap sentuhan, seperti tidak suka dipeluk

- bila mendengar suara keras langsung menutup telinga

- senang mencium-cium, menjilat mainan atau benda-benda

- tidak sensitif terhadap rasa sakit dan rasa takut



4. Pola bermain

- tidak bermain seperti anak-anak pada umumnya,

- tidak suka bermain dengan anak sebayanya,

- tidak kreatif, tidak imajinatif

- tidak bermain sesuai fungsi mainan, misalnya sepeda dibalik lalu rodanya di putar-putar

- senang akan benda-benda yang berputar, seperti kipas angin, roda sepeda,

- dapat sangat lekat dengan benda-benda tertentu yang dipegang terus dan dibawa

kemana-mana



5. Perilaku

- dapat berperilaku berlebihan (hiperaktif) atau kekurangan (hipoaktif)

- tidak suka pada perubahan

- dapat pula duduk bengong dengan tatapan kosong

- adanya perilaku khas seperti bergoyang-goyang, mengepakkan tangan seperti burung,

berputar-putar, berjalan jinjit, mendekatkan mata ke pesawat TV, lari/berjalan bolak

balik, dan melakukan gerakan yang diulang-ulang. Belakangan diketahui bahwa perilaku

anak autis yang semacam ini terjadi karena anak tersebut ingin dengan segera keluar

dari ketidaknyamanan



6. Emosi

- sering marah-marah tanpa alasan yang jelas, tertawa-tawa, menangis tanpa alasan

- temper tantrum (mengamuk tak terkendali) jika dilarang atau tidak diberikan keinginannya

- kadang suka menyerang dan merusak

- Kadang-kadang anak berperilaku yang menyakiti dirinya sendiri

- tidak mempunyai empati dan tidak mengerti perasaan orang lain

Ke-enam gangguan di atas dapat pula disertai dengan permaslaahan khas yang lain seperti gangguan pencernaan, gangguan tidur, adaptasi di lingkungan baru dan gangguan belajar.

Karakteristik khas lain yang sering dilaporkan oleh penyandang autisme yang telah mampu memahami diri mereka antara lain menjelaskan bahwa :

1. Mereka adalah visual thinkers

Artinya mereka lebih mudah memahami hal konkrit (yang dapat dilihat dan dipegang) daripada hal abstrak. Ingatan tentang berbagai konsep tersimpan dalam bentuk gambar. Hal ini mengakibatkan proses berpikir yang menggunakan gambar akan lebih lambat daripada proses berpikir verbal, sehingga seringkali untuk memberikan respon / jawaban atas pertanyaan tertentu, mereka memerlukan jeda beberapa saat.

Pemikiran logis (menggunakan logika) akan sulit untuk dipahami oleh orang lain. Bagi mereka apa yang dianggap logis menurut ukurannya belum tentu dan biasanya tidak logis (sulit diterima akal sehat) oleh kebanyakan orang.

2. Mereka mengalami kesulitan melakukan pemrosesan informasi

Anak autis terbatas dalam memahami ‘common sense’ atau menggunakan akal sehat / nalar yang bagi kebanyakan orang terkadang terjadi secara otomatis.

Mereka juga sulit memahami rangkaian instruksi atau informasi verbal yang panjang. Temple Grandin menyatakan bahwa biasanya anak autis hanya mampu mengingat 3 langkah instruksi sederhana yang diucapkan dalam bahasa yang sederhana.

Merekapun sulit melakukan 2 atau lebih aktivitas secara bersamaan. Hampir tidak mungkin hal ini dapat dilakukan oleh penyandang autis.

3. Sensitivitas sensori

Biasanya sangat sensitif terhadap suara (khususnya suara keras, bising atau yang bersifat seperti bel dan dering telepon). Respon yang biasanya dilakukan adalah dengan mengeluarkan suara dengungan / bergumam yang bertujuan agar ia hanya mendengarkan dengungannya sendiri dan tidak harus memusatkan perhatian pada sumber suara yang lain.

Mereka juga sensitif terhadap sentuhan, walaupun derajat sensitivitasnya tidak sama pada tiap anak. Seringkali anak lebih senang tidak disentuh dan hal ini membuatnya merasa nyaman. Bagi sebagian anak dalam spektrum autisme ini, pelukan sebagai wujud kasih sayang terasa sangat menyakitkan baginya, sehingga ia biasanya akan berusaha melepaskan diri dari ketidaknyamanan tersebut.

Adanya kepekaan yang berlebihan ini terkdang membuat mereka menarik diri dari lingkungannya dan kurang/tidak dapat mentolerir rangsang-rangsang tersebut

Angka Kejadian dan Perkiraan Penyebab Autisme

Pada kebanyakan kasus autis, ditemukan 3-5 kali lebih banyak pada anak laki-laki dan gejalanya terdeteksi pada usia 18-36 bulan. Oleh karenanya kemampuan orangtua untuk mendeteksi secara lebih dini gangguan ini akan berpengaruh pada perkembangan dan keberhasilan terapi anak tersebut nantinya.

Diperkirakan 75%-80% penyandang autis diikuti pula dengan retardasi mental, sedangkan 20% dari mereka mempunyai kemampuan yang cukup tinggi untuk bidang-bidang tertentu (savant).

Memperhatikan penelitian yang dilakukan berkaitan dengan autisme, diperkirakan ASD disebabkan oleh beberapa faktor independen namun saling terkait dan menimbulkan beragam tingkat keparahan autisme sendiri, antara lain :

• Faktor genetika

Bayi kembar satu telur akan mengalami gangguan autistik yang mirip dengan saudara kembarnya. Juga ditemukan beberapa anak dalam satu keluarga atau dalam satu keluarga besar mengalami gangguan yang serupa.

• Pengaruh virus seperti rubella, toxo, herpes; jamur; nutrisi yang buruk; perdarahan; keracunan makanan, dan lain sebagainya pada saat kehamilan dapat menghambat pertumbuhan sel otak yang dapat menyebabkan fungsi otak bayi yang dikandung terganggu terutama fungsi pemahaman, komunikasi dan interaksi.

• Faktor pencernaan individu

Lebih dari 60 % penyandang autisme ini mempunyai sistem pencernaan yang kurang sempurna. Makanan berupa susu sapi (casein) dan tepung terigu (gluten) dideteksi tidak tercerna dengan sempurna. Protein dari kedua makanan ini tidak semua berubah menjadi asam amino tapi juga menjadi peptida, suatu bentuk rantai pendek asam amino yang seharusnya dibuang lewat urine. Pada penyandang autisme, peptida ini diserap kembali oleh tubuh, masuk kedalam aliran darah, masuk ke otak dan diubah oleh reseptor opioid menjadi morphin yaitu casomorphin dan gliadorphin, yang mempunyai efek merusak sel-sel otak dan membuat fungsi otak terganggu. Fungsi otak yang terkena biasanya adalah fungsi kognitif, reseptif, atensi dan perilaku.

Diagnosis Klinis Autisme

Untuk memberikan diagnosis yang tepat dan akurat bahwa seorang anak menderita ASD bukanlah hal yang mudah, terlebih menyadari bahwa terdapat beberapa faktor yang ikut mempengaruhi keparahan ASD, antara lain faktor :

• psikodinamik dan keluarga

• kelainan organik-neuroloik-biologik

• genetika

• imunologik

• perinatal

• neuroanatomi

• biokimia

Banyak gangguan perkembangan anak yang gejalanya mirip satu dengan yang lain dan hal ini akan berpotensi pada penegakkan diagnosis yang keliru. Oleh karena itu sangat dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan secara menyeluruh terhadap berbagai kemungkinan sebagaimana yang telah disepakati khususnya dengan dokter yang merawat. Dalam melakukan pemeriksaan terhadap anak dengan gejala yang diperkirakan ASD, maka evaluasinya lebih baik melibatkan tim dari berbagai disiplin ilmu, antara lain : dokter, ahli syaraf, psikolog, ahli gizi, terapis wicara, pendidik dan lain-lain.

Dalam menegakkan diagnosis autis, psikolog bekerjasama dengan profesi lain dituntut untuk melakukan pengamatan dengan seksama dan menemukan rangkaian gejala khas yang menyertai sebelum memberikan kesimpulan bahwa seseorang menderita Autistic Spectrum Disorder. Pemeriksaan psikologis bertujuan untuk memberikan gambaran profil psikologis anak agar orangtua dan pihak sekolah memahami kelebihan dan kekurangan anak secara menyeluruh. Denagn adanya profil ini, dapat disarankan bagaimana pihak yang terkait dapat mendukung dan mengarahkan anak untuk mengembangkan potensi aktualnya secara optimal tanpa membuat anak merasa tertekan.

Diagnosis yang ditegakkan ini hendaknya selalu dievaluasi secara reguler untuk memastikan bahwa tidak terdapat kesalahan interpretasi gejala.


E. PENANGANAN ANAK AUTIS

Waktu adalah bagian terpenting. Semakin dini penanganan terpadu anak autis, lebih terbuka peluang perubahan ke arah perilaku normal. Penanganan anak autis membutuhkan kerjasama khususnya dari pihak keluarga. Sangat penting keluarga mau menerima keadaan anaknya terlebih dahulu dan berjuang bersama terapis dan anak itu sendiri untuk menjalani terapi yang penuh dengan ‘pengertian’. Selain itu juga dibutuhkan kerjasama yang bak dari para pendidik dimana suka tidak suka dan mau tidak mau orang dewasa yang berada di sekitar anak autis inilah yang harus menyesuaikan diri dengan kebutuhan mereka.

Keberhasilan penanganan program pendidikan dna pengajaran anak autis sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain :

1. Berat - ringannya kelainan/gejala

2. Usia pada saat diagnosis

3. Tingkat kemampuan berbicara dan berbahasa

4. Tingkat kelebihan (strengths) dan kekurangan (weaknesses) yang dimiliki anak

5. Kecerdasan intelektual/IQ

6. Kesehatan dan kestabilan emosi anak

7. Terapi yang tepat dan terpadu meliputi guru, kurikulum, metode, sarana pendidikan,

lingkungan (keluarga, sekolah dan masyarakat).


Peran Keluarga pada Penanganan Autistic Spectrum Disorder

Orangtua / keluarga mempunyai peran yang sangat vital dalam mendeteksi dan peka terhadap kesesuaian dan ketidaksesuaian perkembangan fisik dan mental buah hatinya. Segala kekuatiran orangtua terhadap sang buah hati penting untuk dikomunikasikan, terutama pada usia 18 – 36 bulan. Orangtua sangat dianjurkan memiliki catatan gejala yang disertai dengan penjelasan situasi (lihat lampiran). Catatan ini akan sangat bernilai untuk dikonsultasikan pada psikolog atau psikiater anak bila terdapat kekuatiran tentang kondisi anak.

Berikut adalah gambaran tentang keadaan yang kebanyakan dialami oleh orangtua sebelum diagnosis autis diberikan :

Adanya kekuatiran bahwa anak mereka nampaknya tidak sama dengan anak lain sebayanya biasanya memaksa orangtua untuk meminta pendapat ahli. Pada saat ini orangtua mengalami perasaan was-was antara ingin tahu dan tidak ingin mendengar berita buruk, namun di sisi lain ingin pula mengkonfirmasikan kecurigaan atas perkembangan anak yang dinilai tidak sebagaimana mestinya. Orangtua tidak mudah melewati fase ini.

Bila dari gejala yang dilaporkan belum dapat dipastikan bahwa anak menderita autis, biasanya orangtua akan diminta melakukan monitoring dan observasi ketat sehubungan dengan gejala yang ingin dikonfirmasikan. Hendaknya pada saat demikian, orangtua benar-benar meluangkan waktu untuk melakukan observasi yang serius dan tidak menyerahkan/melemparkan tugas ini pada baby sitter sang anak.

Pada waktu melakukan observasi, biasanya terjadi tarik ulur kondisi psikologis orangtua dan keluarga, yaitu antara pembenaran dan penyangkalan bahwa anak mereka memang mengalami ASD. Untuk menenangkan hati, orangtua akan berusaha mencari pendapat lain dari berbagai profesi dan mencari literatur tentang ketakutannya tersebut.

Bila usia anak masih sangat muda pada saat awal mula gejala ASD dideteksi orangtua, maka sangat mungkin terjadi bahwa orangtua memperoleh pendapat yang menyejukkan hati sekaligus menjerumuskan seperti :

• “Jangan kuatir, anak laki-laki memang biasa bicara terlambat….nanti kalau sudah tiba waktunya, maka ia akan bicara sendiri”

• “Ah…biasa kalau anak itu punya dunia fantasi dan berimajinasi seolah-olah dia itu pesawat terbang dan mendengungkan suara pesawat…. Itu sih tandanya anak pintar….jangan takut deh”

Akan lebih runyam bila ternyata pendapat yang menyejukkan hati itu datang dari seorang yang berprofesi kompeten di bidang kesehatan / pendidikan. Akibatnya…… bisa jadi orangtua malah tidak peka bila ternyata gejala semakin parah dan semakin banyak gejala lain yang muncul.


Berikut adalah gambaran tentang keadaan yang kebanyakan dialami oleh orangtua pada saat diagnosis autis diberikan :

Orangtua pasti akan mengalami shock ketika mengetahui buah hati mereka menderita spektrum autis. Dalam keadaan shock ini, ortu merasa tidak percaya (kog bisa begitu…kok anak saya ???) dan tidak dapat menerima kenyataan ini. Beberapa reaksi yang mungkin timbul pada saat orangtua menerima diagnosis adalah :

- bingung, merasa tak berdaya

- merasa bersalah, menyalahkan/menyesali diri dan mencari bentuk-bentuk kesalahan yang diperkirakan bertanggungjawab akan diagnosis ini

- marah pada diri sendiri dan bahkan pada Tuhan

- sedih, putus asa, depresi dan stres berkepanjangan

- merasa diperlakukan tidak adil

- tidak percaya pada dokter / psikolog dan berusaha mencari second, third, fouth opinions…doctor shopping dan tawar menawar diagnosis

- menyangkal bahwa anak memang bermasalah

- namun akhirnya harus menerima kenyataan

Bila keadaan dan reaksi di atas terjadi berlarut-larut justru akan mempelambat penanganan yang akurat bagi si anak. Dokter dan para medis atau siapa saja yang terlibat secara langsung pada perkambangan dan penanganan anak, hendaknya berpedoman pada “pentingnya penanganan dini….waktu sangat berharga”. Orangtua hendaknya diberi kesempatan untuk menghadapi dan melewati saat yang sulit ini, namun diberikan batasan waktu untuk mengambil keputusan untuk memilihkan terapi yang sesuai dengan kebutuhan sang buah hati.

Berikut adalah gambaran tentang keadaan yang kebanyakan dialami oleh orangtua setelah diagnosis autis diberikan :

Diagnosis biasanya diperoleh setelah melakukan wawancara mendalam dengan ortu, upaya berinteraksi dengan anak dan observasi intensif anak pada khususnya aspek perilaku, komunikasi dan interaksi.

Pada saat ini penting mendorong orangtua untuk :

1. Menerima dan memahami keadaan anak apa adanya

Mencoba menerima positif-negatif, kelebihan dan kekurangan. Melihat apa yang sudah bisa dan belum bisa dilakukan anak. Orangtua diharapkan tidak mengecam, mengeluh dan mengkritik anaknya berlebihan karena sikap ini justru akan membuat anak menolak untuk berinteraksi dengan ortu.

2. Bersikap kooperatif dalam memberikan data yang akurat untuk membantu profesi terkait merancang treatment yang terbaik atau paling sesuai dengan kebutuhan anak, mengingat beragamnya gejala ASD. Panduan pertanyaan pada lampiran dapat membantu orangtua.

3. Mengupayakan alternatif penanganan sesuai dengan kebutuhan. Tidak semua anak dengan ASD membutuhkan segala macam tawaran penanganan yang ada. Harus dilihat dengan baik (observasi intensif) mengenai metoda mana yang paling sesuai dengan anak. Orangtua hendaknya tidak menjadi panik dan mengikutsertakan anak dalam semua jenis pengobatan yang ada, karena justru kepanikan ini akan menimbulkan tekanan dan ketegangan baik pada orangtu, keluarga dan si anak itu sendiri.

4. Cari dan kembangkan alternatif solusi yang realistis dan bukan menambah masalah baru

5. Gunakan dan pilih metoda yang sesuai dengan kasus dan keparahan ASD. Pakai metoda yang paling nyaman bagi ortu dan anak dan kenali bagaimana evaluasi dapat dilakukan. Misalnya, orangtua dapat dilatih untuk menggunakan metoda PECS (Picture Exchange Communication System) karena biasanya anak dengan ASD merupakan Visual learner/thinker.

6. Libatkan anggota keluarga lain (kakak, adik, kakek, nenek, paman, bibi, pembantu, baby sitter, dll) untuk mendukung program yang telah dibuat bagi anak autis.

7. Pelajari latihan-latihan sederhana yang dapat dilakukan oleh orangtua di rumah, tidak hanya membiarkan dan melepaskan penanganan anak mereka di lembaga yang ada. Bagaimanapun kasih sayang orangtua tak tergantikan yang hendaknay ditunjukkan melalui cara yang tepat agar dapat diterima oleh anak.

8. Amati minat dan bakat anak. Ada anak autis yang memiliki ketertarikan pada musik, menggambar, computer dan matematika. Orangtua hendaknya memiliki harapan dan tuntutan yang realistis pada anaknya dan jeli melihat kemajuan anak dalam bidang tertentu.

9. Tetap memberikan kesempatan bagi anak untuk melakukan eksplorasi dan belajar dari lingkungan sekitarnya. Ijinkan mereka mempunyai banyak pengalaman belajar, namun ortu perlu memberikan pengarahan yang dapat meningkatkan kemungkinan hasil belajar yang positif. Larangan dan sikap overprotective justru akan membuat anak belajar untuk bersikap ‘tak berdaya’ (learned helplessness).

10. Membuka diri dan tidak memisahkan diri dari orangtua-orangtua yang lain di lingkungan ketetanggaan atau sekolah. Menarik diri dan merasa malu akan kondisi anaknya yang autis justru menimbulkan permasalahan lain yang tidak perlu.

11. Mengajarkan kepatuhan dan harus konsisten dengan aturan yang sudah diterapkan, karena anak dengan ASD perlu belajar secara terstruktur, terpola dan konsisten. Fleksibilitas sikap dan perilaku orangtua di awal treatment justru akan membingungkan anak.

12. Evaluasi rencana dan metoda yang telah disepakati


F. KIAT MENGAJAR ANAK AUTIS BERDASARKAN PEMAHAMAN AKAN “DUNIA” MEREKA

Sebagaimana telah dijelaskan di atas, menangani anak dengan Austistic Spectrum Disorder membutuhkan pemahaman yang menyeluruh tentang keadaan ini, terutama dengan memahami apa yang sesungguhnya dialamai dan dirasakan oleh si penderita sendiri. Menjadi berbeda dari anak lain, memiliki kebiasaan yang khas serta mengalami gangguan-gangguan yang spesifik hendaknya tidak membuat mereka kehilangan hak untuk menjadi diri mereka sendiri yang sekaligus tetap mampu mengembangkan potensi yang mereka miliki sejalan dengan kekurangan dan keterbatasan yang ada.

Berikut adalah masukan yang diberikan oleh Temple Grandin tentang bagaimana sebaiknya memperlakukan anak-anak yang memiliki karakteristik khas sebagaimana yang dialaminya. Ia tidak lagi menyesali dan menampik bahwa ia adalah penderita ASD, namun justru merasa bangga terhadap apa yang dimilikinya dan mengoptimalkan talenta tersebut dan menciptakan strategi belajar yang sesuai.

1. Kebanyakan anak dengan autisme berpikir dan belajar secara visual. Kata benda lebih mudah dipelajari dan dimengerti karena lebih mudah menyajikannya sebagai gambar dalam pikirannya daripada sekedar kata-kata. Untuk mengajarkan kata-kata dan pemahaman tentang ‘atas’ dan ‘bawah’, guru dan orangtua dapat memperagakannya di hadapan anak dengan menggunakan pesawat terbang dan berkata ‘atas’ ketika mengangkat pesawat itu terbang dan ‘bawah’ ketika pesawat diturunkan. Lakukan hal ini berulang-ulang dan anak akan belajar tentang konsep ‘atas-bawah’ dengan cara menyenangkan.

2. Hindari memberikan instruksi secara panjang lebar. Mereka dengan autisme mengalami kesulitan mengingat urutan. Jika anak sudah dapat membaca, tuliskan perintah tersebut pada secarik kertas dan ia akan melaksanakannya sesuai urutan.

3. Beri perhatian khusus pada minat mereka, diantaranya kebanyakan memiliki kelebihan dalam bidang seni (musik, gambar) dan computer.

4. Seringkali anak autis terfiksasi (perhatian terhenti) pada sebuah benda, misalnya kereta api, roda, atau pesawat terbang. Strategi terbaik untuk mengatasi fiksasi ini adalah justru dengan menggunakan benda-benda tersebut untuk memotivasi mereka dalam pelajaran sekolah. Contohnya, bila anak menyukai kereta api, maka gunakan kereta api untuk kegiatan membaca dan belajar matematika –“Kereta ini mau pergi ke SURABAYA. Coba hitung ada berapa gerbongnya ? “

5. Gunakan metode visual konkrit dalam mengajarkan konsep angka. Misalnya gunakan balok-balok dengan panjang yang berbeda untuk mengajarkan pendek-panjang, balok angka dengan warna yang berbeda untuk mempelajari angka 1 – 10. Dari sinilah diajarkan konsep tambah kurang. Untuk mengajarkan konsep pembagian, gunakan apel kayu yang terdiri dari 4 potongan yang apabila disusun akan membentuk apel atau buah pear yang terdiri dari 2 potongan. Dari sini anak belajar tentang konsep ¼ dan ½.

6. Biasanya tulisan tangan anak autis tidak rapi karena mereka mengalami gangguan dalam psikomotor dan kendali gerakan. Hal ini dapat menimbulkan frustrasi yang berkepanjangan pada anak bila ia tetap dipaksa menulis. Ijinkan ia memakai komputer bila hal ini ternyata akan membantunya berkomunikasi dan belajar membaca/menulis.

7. Pada saat anak masih kecil, biasanya suara keras akan terasa begitu menyakitkan di telinga mereka, seperti bunyi bel, desingan bor dokter gigi, suara vacuum cleaner, sirene, alarm, speaker sound system bahkan suara dari game watch. Untuk mengatasi hal ini, usahakan untuk meredam kebisingan namun bukan meniadakannya sama sekali.

8. Beberapa anak autis nampak mengeluh dan merespon negatif pada hal-hal yang menyilaukan mata khususnya lampu neon. Hal ini disebabkan mereka memiliki kepekaan yang kuat dalam menangkap getaran dan kedipan cahaya neon dan oleh karenanya sangat bijak bila menempatkan meja belajar dekat jendela agar ia memperoleh cahaya matahari. Lampu neon yang sdauh lama akan lebih sering bekedip dan hal ini sungguh merupakan siksaan. Selalu sediakan yang baru karena neon yang baru berkedip lebih jarang.

9. Beberapa anak autis akan merespon lebih baik khususnya dalam hal mempertahaka kontak mata dan bicara bila guru atau orangtua berinteraksi dengan mereka saat mereka sedang berayun-ayun atau sedang bergulung-gulung di matras. Input sensorik dari ayunan dan tekanan pada matras nampaknya membantu mereka untuk meningkatkan kemampuan bicara. Aktivitas berayun dan bergulung-gulung di matras hendaknya tidak dipaksakan dan harus atas keinginan anak serta tetap menjadi bagian dari kegiatan bermain yang menyenangkan.

10. Pada beberapa anak dan orang dewasa dengan ASD, mereka lebih bisa belajar dan menangkap makna dari apa yang dipelajari bila hal tersebut dinyanyikan daripada dibacakan atau berbentuk kalimat. Bila anak sangat peka terhadap suara, maka guru atau orangtua hendaknya menurunkan volume suara dan bahkan berbisik. Oleh karena itu sangat penting untuk mengetahui ambang penerimaan auditori anak.

11. Kebanyakan anak autis tidak dapat memproses rangsang visual dan suara pada saat bersamaan. Mereka sulit untuk melihat dan mendengar pada waktu yang sama. Hendaknya rangsangan diberikan satu persatu agar anak tidak bingung merespon.

12. Pada anak autis yang berusia lebih besar, mereka lebih mudah belajar bila menyentuk benda yang dipelajari. Contohnya, 15 menit sebelum anak makan siang, diberikan sendok untuk dipegang, atau berikan mobil-mobilan untuk dipegangnya beberapa saat sebelum bepergian dengan mobil.

13. Anak-anak dengan kemampuan nonverbal ini biasanya lebih mudah untuk mengasosiasikan kata-kata dengan gambar. Pada anak-anak yang lebih kecil gunakan foto atau obyek yang nyata bukan gambar sketsa atau kartun.

14. Individu dengan ASD pada awalnya belum memahami bahwa berbicara itu berarti berkomunikasi. Oleh karenanya ketika anak menyebutkan piring padahal sesungguhnya ia menghendaki gelas, maka berikan piring padanya. Ia perlu belajar bahwa apa yang dikatakannya akan menimbulkkan respon orang lain, sehinggabila ia salah menyebutkan maka ia tidak akan mendapatkan yang ia harapkan.

15. Walaupun anak autis tertarik pada komputer dan aktivitas yang menggunakan komputer, kebanyakan mereka mengalami kesulitan dalam menggunakan mouse. Gunakan alternatif mouse yang memungkinkan dan bandingkan mana yang lebih memudahkannya.


G. PERAN SEKOLAH DALAM MENUNJANG PENDIDIKAN DAN PENGAJARAN BAGI ANAK AUTIS

Departemen Pendidikan Nasional – Pendidikan Dasar dan Menengah sudah memiliki Kebijakan Pelayanan Pendidikan Anak Autis yang memuat hal-hal yang harus dipersiapkan dan dipertimbangkan oleh sekolah yang akan terlibat dalam penanganan anak autis.

H. PENUTUP

Mengenal autisme secara sempurna tidak hanya lewat teori atau berdiskusi dengan ahli-ahli yang terlibat secara langsung. Penting untuk mengenal autisme justru dari kisah penderita atau mantan penderita beserta keluarganya.

Donna Williams secara indah menyimpulkan apa itu autisme dan bagaimana secara tidak langsung orang-orang di sekitar penderita ikut mempengaruhi (mendukung dan memberi support untuk kesembuhan atau malahan memperparah). Kutipan indah tentang autisme di akhir dari makalah ini diambil dari “Namaku Donna : Melepaskan diri dari belenggu autisme” :

Hal terpenting yang aku pelajari adalah AUTISME BUKANLAH AKU. Autisme hanyalah sebuah masalah dalam memproses informasi yang mengendalikan penampilanku. Autisme berusaha menghentikanku untuk bebas menjadi diriku. Autisme berusaha merampok hidupku, persahabatanku, kepedulianku, keinginan untuk berbagi minat-minatku, kecerdasanku, dan keterpengaruhanku….dia berusaha menguburku hidup-hidup…


Hal terpenting kedua yang aku pelajari adalah AKU BISA MEMERANGI AUTISME…. AKU AKAN MENGENDALIKANNYA…. DIA TIDAK AKAN MENGENDALIKANKU……

Dengan indah dan tegas, Temple Grandin menyatakan bahwa apa yang dialaminya sebagai anak autis tidak ingin dipertukarkan dengan pengalaman orang lain. Ia menghargai potensi dan talenta dirinya setinggi mungkin dan merasa beruntung memilikinya

Visual thinking has enabled me to build entire systems in my imagination. I have worked for many major livestock companies. In fact, one third of the cattle and hogs in the United States are handled in equipment I have designed. Some of the people I’ve worked for don’t even know that their systems were designed by someone with autism. I value my ability to think visually and I would never want to lose it.


Ulasan di atas bisa saja hanya merupakan wacana karena kita tidak secara langsung mengalami dan menjadi bagian langsung dari hidup seorang anak autis, namun tanpa kita sadari mereka ada di sekeliling kita dan respon kita terhadap mereka ikut menentukan kualitas hidup kita semua.

Josephine M.J. Ratna, M.Psych (Praktisi Psikolog Klinis dan Kesehatan, RS Premier Internasional)

No comments:

Post a Comment