Monday, November 15, 2010

Psst ... Jangan Bilang Mama, ya

Harus Proporsional

Biasanya, anak akan menyembunyikan nilai ulangan karena takut. Jika terjadi seperti itu, ortu jangan terburu-buru memberinya punishment. Sebaliknya, beri dia contoh yang baik tentang cara untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi. Ortu juga harus bersikap sportif. Artinya, ekspektasi ortu harus proporsional dengan kemampuan sang anak. Jangan mengharapkan hal terlalu tinggi yang tak mampu dicapai oleh sang anak. Hargai apapun hasil yang didapat oleh anak, berapa pun nilainya. Lihat proses pembelajaran yang dilakukan anak. Sebab, nilai tiga yang diperoleh dengan cara jujur jauh lebih baik daripada nilai tujuh yang diperoleh dengan cara curang. Dengan melakukan semua hal di atas, anak akan jadi lebih jujur pada diri sendiri serta lebih terbuka kepada orangtua. (daf/c8/fry)

Sumber:
Deteksi Jawa Pos, 15 November 2010

Tuesday, November 9, 2010

Ganti Nama Demi Langgengkan Perkawinan

Agar Diterima oleh Lingkungan Suami 

Menurut psikolog Universitas Airlangga, Dra. Josephine M. J. Ratna, M. Psych, Psikolog, mengganti nama bukanlah masalah besar. Tapi jarang menjadi komitmen besar bagi pasangan menikah.

"Mungkin ada yang merasa nyaman kalau semuanya menggunakan family name dari suaminya. Sehingga memudahkan pengurusan dokumen-dokumen penting," kata Josephine.

Secara psikologis, seorang wanita memakai nama belakang suami, dengan harapan sosial dan diterima di lingkungan baru dengan peran baru.

"Layaknya sebuah status baru, harapan sosial tentulah mengandung konsekuensi bahwa si istri harus membuktikan kemampuannya," lanjut Josephine.

Ditambahkan Jo, sapaan kecilnya, pergantian nama sama sekali tidak menjamin sebuah perkawinan menjadi langgeng dan bahagia.

"Persoalan mengganti nama sebenarnya bagaimana kita mengartikannya saja. Karena diganti atau tidak, tidak ada jaminan sebuah perkawinan akan bahagia dan langgeng. Tapi sekali lagi itu merupakan pilihan setiap orang sehingga bagi yang tidak melakukannya, jangan menghakiminya," kata Jo.

Sumber:
Tabloid Wanita Indonesia

Monday, November 8, 2010

Menjaga Psikologi Anak Merapi

Ada Trauma, tapi Optimisme Juga Masih Tinggi
Bencana letusan Gunung Merapi merupakan tragedi kemanusiaan yang menimbulkan beragam konsekuensi. Selain kehancuran dimana-mana, erupsi yang hingga kini terus berlangsung itu juga mempengaruhi banyak hal. Termasuk, kondisi psikologi anak-anak korban letusan yang saat ini menghuni posko-posko pengungsian di sejumlah kota di Jogjakarta dan Jawa Tengah.
Sepintas anak-anak itu memang masih terlihat ceria. Mereka tidak tampak seperti pengungsi-pengsungsi lain yang sudah dewasa. Namun, pengaruh psikis akan terlihat ketika anak-anak di posko pengungsian tersebut diajak menggambar, bernyanyi, dan bercerita bersama. Apa yang mereka ekspresikan hampir seluruhnya berkaitan dengan erupsi yang terjadi sejak 26 Oktober lalu itu.
Ketika disuruh menggambar, kebanyakan menggambar hunung dengan lava yang mengalir keluar. Saat diminta bercerita pun, kisah mereka tak jauh-jauh dari letusan Gunung Merapi. “Pokoknya cerita mereka hampir selalu berhubungan sama panas. Malah, pernah ada yang cerita begini. Dari puncak gunung keluar naga. Naga itu nyemburin api ke mana-mana. Semacam itulah,” kata Bunga Merilla Rahma Zita, mahasiswi Fakultas Psikologi Unair yang sempat menjadi relawan di Merapi setelah erupsi pertama yang juga menewaskan sang Juru Kunci Mbah Marijan itu.
Bunga dan rekannya, Nengsri Susanti, serta beberapa mahasiswa lain, sempat menjadi relawan di posko Banyubiru, Muntilan, Magelang. Di sana, selain membantu menyediakan logistic, mereka mendampingi para pengungsi secara psikologis. Bunga dan Nengsri membawa beberapa gambar yang dibuat dengan krayon oleh anak-anak di posko pengungsian tersebut.
Hasilnya memang cukup mencengangkan. Rata-rata anak menggambar gunung dengan persepsi masing-masing. Ada yang menggambar gunung yang mengembuskan asap hitam, ada pula yang puncak gunungnya mengeluarkan lahar merah. Ada pula yang puncak gunungnya berwarna kelabu. Bahkan, ada yang mnggambar gunung, namun puncaknya berupa lengkungan. Bagian puncak itu seperti lenyap setelah gunung meletus.
Beberapa gambar yang dibawa ke Surabaya juga menunjukkan coretan-coretan yang menggambarkan truk tentara serta posko pengungsian. Namun, pada gambar-gambar tersebut, anak-anak itu juga melukiskan daerah persawahan yang masih hijau, masih ditumbuhi pepohonan dan bunga.
Kendati demikian, gambar gunung itu tidak serta-merta menunjukkan trauma mendalam yang dialami anak-anak tersebut. “Orang Indonesia itu kalau disuruh menggambar, rata-rata refleksnya menggambar gunung kan,” kata psikolog Josephine M. J. Ratna M. Psych kepada Jawa Pos.
Yang menunjukkan keterkaitan dengan tragedi Merapi hanya bagaimana anak-anak itu menggambarkan puncak gunung yang diselimuti awan hitam atau mengeluarkan lahar. Namun, belum tentu juga itu menunjukkan trauma. Sebab, gambar-gambar tersebut dibuat pada Minggu (31/10) atau lima hari setelah Merapi meletus pertama. Rata-rata anak penghuni posko Banyubiru dibawa ke pengungsian sebelum wedhus gembel menerjang kampung mereka. Dengan demikian, hampir tidak ada yang melihat bagaimana kampung mereka luluh lantak oleh letusan Merapi.
Setelah berada di pengungsian pun, mereka tidak bisa melihat kondisi puncak Merapi karena selalu diselimuti kabut. “Mungkin mereka menggambarkan apa yang mereka dengar dari orang lain. Bukan apa yang mereka lihat sendiri. Memang ada trauma, tapi belum seberapa mendalam,” ujar Josephine.
Ibu dua anak itu menambahkan. Pada gambar-gambar tersebut terlihat bahwa anak-anak masih memiliki optimism yang tnggi. Indiksinya, mereka menggambarkan bahwa di bawah gunung masih ada sawah menghijau dan pak tani yang bekerja di sawah. “Artinya, mereka masih melihat desa mereka subur dan hijau. Seetelah letusan, mereka juga berharap desa mereka kelak masih seperti itu. Optimisme ini yang harus terus dipupuk oleh para relawan yang mendampingi mereka,” katanya. (rum/c2/nw)

Sumber:
Jawa Pos, Senin 8 November 2010

Saturday, November 6, 2010

Kencan Sekarang, Yuk

Lebih Menyenangkan

Seseorang pasti suka apabila diberi surprise. Sebab, sesuatu yang tidak terencana biasanya lebih indah dan menyenangkan. Sama halnya dengan kencan dadakan. Hal itu bisa dijadikan solusi untuk membangkitkan kembali hubungan yang datar-datar saja. Selain itu, kencan dadakan efektif sebagai media penguji pasangan terhadap jadwalnya dan seberapa penting kita buat pasangan. Itu bisa dilihat lewat rekasi dia dalam menanggapi ajakan kencan yang mendadak tersebut. Namun, terlepas dari semua itu, kencan dadakan membuat kita lebih kreatif dalam menyikapi permasalahan. Kita juga bisa belajar untuk terbuka kepada pasangan, misalnya jika kondisi finansial belum siap. Tentunya, dengan kencan dadakan tersebut, kita bisa memperoleh quality time bersama orang tersayang. (daf/c7/fry).

Sumber:
Deteksi Jawa Pos, Sabtu 6 November 2010