Sunday, March 30, 2008

Mengatasi Konflik di Tempat Kerja

Setiap orang yang bekerja pasti penuh mengalami konflik di tempat kerja. Bagaimana cara tepat mengatasinya?

Tempat kerja adalah salah satu tempat bertemunya orang dengan beragam karakter dan keinginan. Perbedaan karakter ataupun keinginan dari masing-masing pekerjaannya, bukan tidak mungkin akan menimbulkan gesekan yang berujung pada terjadinya konflik.
Memang, bukan hanya di tempat kerja, di lingkungan lain pun, di mana banyak orang berkumpul, akan berisiko memunculkan konflik. Demikian yang diungkapkan Josephine M.J. Ratna, M. Psych., Cilinical and Health Psychologist dari RS Surabaya Internasional.

Namun, di tempat kerja, kata Josephine, konflik pun bisa muncul dalam tipe relasi apa pun. “Bisa berupa konflik vertical antara bawahan dengan atasan, bisa juga konflik horizontal antarsesama pekerja yang posisinya sama,” ujarnya.

Ada Perbedaan
Menurut Josephine, secara umum penybab terjadinya konflik di tempat kerja adalah karena perbedaan yang dipicu oleh masalah komunikasi. Perbedaan tersebut meliputi:

·         Persepsi
Hampir tiap orang memiliki persepsi sendiri atas suatu hal yang sedang dihadapi ataupun didengar. Tanpa komunikasi yang jelas, perbedaan persepsi bisa menimbulkan konflik.
Misalnya, seorang general manager (GM) meminta manager-nya untuk mengambil barang di kantor pos. dalam persepsi si GM, manager-nya akan punya kesempatan berkenalan dengan direktur kantor pos.
Sementara dalam persepsi manager, bisa saja ia merasa diremehkan karena disuruh melakukan pekerjaan yang bisa dilakukan level office boy.
Akhirnya si manager berpikir kalau itu sikap yang merendahkannya. Itu berarti persepsi mereka tidak bertemu. Maka, terjadilah konflik!” tandasnya.

·         Perlakuan
Adanya perbedaan perlakuan dari atasan pada dua orang bawahan atau lebih pada level yang sama bisa menyebabkan konflik. Misalnya, manager memfasilitasi supervisor dari divisi keuangan sesuai dengan anggaran yang diajukan.
Sementara, supervisor dari divisi produksi tidak dipenuhi fasilitasnya. Padahal, anggaran yang diajukan sama. “Hal yang tidak fair seperti itu sangat berpotensi menimbulkan konflik,” ungkap Josephine.

·         Kepentingan
Setiap orang dalam sebuah organisasi tentu memiliki kepentingan masing-masing. Tak jarang kepentingan tiap individu berbeda. Sehingga, konflik bisa terjadi.

·         Karakter
Karakter tiap orang yang berbeda juga bisa menimbulkan konflik. Misalnya, dalam sebuah team work, satu orang sangat memerhatikan detil, sementara orang yang lain tidak.
Atau satu orang memiliki kepribadian ekstrovert sementara yang lain introvert.
Tanpa komunikasi yang baik, pasti akan sering terjadi konflik, dalam hubungan kerja mereka,” imbuh Josephine.

Baik dan Buruk
Sekilas mendengar kata “konflik” yang terbayang pasti sesuatu yang buruk. Padahal tidak selalu demikian. “Bahkan, jika dalam sebuah organisasi tidak ada konflik, itu namanya stagnan. Makanya, ada perusahaan yang sengaja menciptakan konflik agar ada dinamika di dalamnya,” tukas Josephine.

Tapi memang, ada berbagai akibat yang bisa ditimbulkan. “Ada yang baik dan buruk, bergantung bagaimana kita mengarahkan penyelesaiannya,” ujarnya.

Bisa berakibat baik jika penyelesaian konflik dilakukan dengan komunikasi yang tepat. “Jadi, konflik dibicarakan bersama, ada proses saling mendengarkan. Apapun hasilnya, semua saling belajar untuk memahami satu sama lain,” ucapnya.
Dengan penyelesaian yang baik, tiap individu akan menjadi lebih berkembang karena jiwanya diperkaya dengan usaha memahami pandangan orang lain. 

“Konflik itu menjadi sehat selama kita bisa menjadikannya sebagai pelengkap kekurangan dan sarana belajar,” katanya. 

Sebaliknya, konflik bisa berakibat buruk, misalnya jika tak kunjung diselesaikan, sengaja dihindari atau dijauhkan. Tentu itu bisa terakumulasi dan suatu saat meledak ketika ada pemicunya. 

“Kalau sudah meledak, kondisi bisa jadi sangat emosional dan irasional. Ujung-ujungnya merugikan diri sendiri lho!” imbuh Josephine. 

Akibat buruk bisa juga terjadi jika memang tidak ada pihak yang belajar berkompromi.
“Memang wajar kalau naluri orang itu ingin menang, tapi kan juga harus memerhatikan kepentingan orang lain. Kalau ngotot tapi merugikan banyak orang kan juga tidak baik,” ungkapnya. (bianda)

Bergantung Individu dan Sistem
Dalam pandangan Josephine, konflik bisa diselesaikan, bisa juga tidak diselesaikan. “Semua sangat bergantung pada individu dan sistem yang berlaku di perusahaan,” katanya.

Bergantung ada individu, misalnya pada orang dengan tipe introvert dan ekstrovert. “Kalau orang introvert akan cenderung menghindari konflik atau membuat jarak dengan sumber konflik. Sementara orang ekstrovert psti akan lebih konfrontatif ketika mengalami konflik,” paparnya.
Sedangkan bergantung pada sistem perusahaan, maksudnya bahwa tiap perusahaan memiliki manajemen tersendiri dalam menghadapi konflik. 

Dalam sebuah perusahaan yang baik, seharunya ada wadah tersendiri untuk menyelesaikan konflik. “Pada perusahaan- perusahaan besar biasanya sudah diciptakan sistem untuk mendengar suara hati karyawan,” tukas Josephine.

Misalnya, ketika seseorang berkonflik dengan rekan kerjanya, ia bisa meminta form dari supervisornya mengenai persoalan yang dihadapinya. Kemudian form tersebut diisi untuk diserahkan pada bagian HRD. 

Atau, ada juga perusahaan yang memberikan tempat khusus penampungan curhat para karyawannya, dengan meletakkan boks di depan front office. Bisa juga dengan mnciptakan line atau layanan khusus curhat tentang masalah pekerjaan. “Apapun bentuknya, sehatusnya tiap perusahaan punya. Namun, jangan sekadar punya hanya untuk menjadi formalitas. Melainkan, juga untuk ditindaklanjuti,” kata Josephine. 

Selain itu, ia juga mengingakan bahwa akar tejadinya konflik adalah komunikasi. Karenanya, jika komunikasi tidak berjalan lancar, tentu konflik yang terjadi akan semakin panas dan berlarut-larut. (bianda)

Munculkan Stres
Setiap kali terjadi konfik, sudah pasti akan memicu munculnya stress. Namun, stress jangan melulu diartikan sebagai sebuah tekanan yang menimbulkan efek negative. “Sebab, ada yang namanya eustress, dan ada yang namanya distress,” ungkapnya.

Eustress merupakan respon positif individu terhadap suatu stressor atau penyebab stress yang datang. Misalnya, ketika konflik karena perbedaan pendapat dengan atasan, seseorang justru termotivasi untuk memperuangkan pandangannya demi kepentingan orang banyak. “Itu malah baik,” kata Josephine.

Sedangkan, distress adalah kebalikannya. Sebab, merupakan respon negatif ketika individu dihadapkan pada stressor. Misalnya, karena mengalami konflik, seseorang malah jadi malasa, agresif dan hal-hal buruk lainnya. (bianda)

Sumber:
Tabloid Cantiq – edisi 36, III Maret 2008

No comments:

Post a Comment