Sunday, April 7, 2002

Beri Kesempatan Suami

Beban yang dihadapi Nia Daniaty, secara psikologis memang berat. Meskipun yang memiliki persoalan itu suami, namun ebagai public figure, justru ia yang menjadi sorotan dan pergunjingan masyarakat. Apalagi perkawinan pertamanya juga berantakan.

Untuk meringankan beban itu, menurut psikolog Dra. Josephine Maria Julianti Ratna, M. Psych., Nia Daniaty harus berpikir secara rasional, tidak perlu hanyut dalam persoalan yang dihadapi suaminya. Juga tidak perlu menyalahkan suami, karena hal itu akan memunculkan persoalan baru dalam rumah tangganya.

"Persoalan yang sedang dihadapi adalah persoalan suami dengan wanita yang pernah menjadi istrinya. Beri kesempatan kepada suami untuk menyelesaikan," kata Josephine.

Apa Nia tidak merasa ditipu? "Persoalan suami tak semuanya diketahui istri. Begitu juga sebaliknya, karena setiap individu memiliki persoalan masing-masing. Apalagi mereka baru menikah dan pacarannya juga relatif sebentar. Wong yang sudah berkeluarga selama bertahun-tahun saja belum tentu tahu semua persoalan yang dihadapi pasangan kok. Nia Daniaty tak perlu merasa dirinya ditipu," kata Josephine.

Disamping itu, lanjutnya, Nia tidak perlu banyak  berkomentar tentang kasus itu. Semakin dia banyak berbicara, akan menimbulkan polemik, dan tentunya dia akan semakin menjadi sorotan masyarakat dengan berbagai macam penilaian. Dan hal itu justru akan menjadikan beban Nia semakin berat.

Sumber:
Harian Surya, 7 April 2002

Dekatkan sejak pacaran

“Dia akan bertambah tertekan kalau ternyata suami membela ibunya”
Hubungan menantu perempuan dengan mertua perempuan selalu digambarkan penuh konflik bagaikan hubungan kucing dan anjing, tentu saja gambaran semacam itu tidak sepenuhnya benar, kenyataannya banyak yang rukun-rukun saja.
Namun juga tak dapat disalahkan, sebab kenyataannya memang banyak terjadi konflik antara menantu perempuan dan mertua perempuan.
Konflik itu muncul karena secara psikologis, mertua perempuan sadar atau tidak sadar merasa anak laki-lakinya ‘dirampas’ menantunya. Ibu yang bertahun-tahun membesarkan dan mendidik merasa kehilangan. Apalagi kalau anaknya itu anak lelaki satu-satunya atau anak kesayangan.
Keadaan bertambah parah jika sebelum menikah anak laki-lakinya itu pencari nafkah utama keluarga dan selalu mengutamakan kepentingan ibu, sedang ibunya mengurus keperluan putranya. Setelah menikah, tentu perhatian itu ditumpahkan kepada istri serta anak-anaknya. Akibatnya, ibu merasa diacuhkan dan disia-siakan.
Karena perasaan-perasaan itu, maka seringkali ibu mertua bersikap sinis, galak dan selalu mengkritik menantu perempuannya. Segala hal mengenai menantu perempuannya dinilainya kurang. Keadaan bertambah parah kalau ibu dan menantu perempuan tinggal satu rumah, apalagi tinggal di rumah miliki suami, maupun suami masih tinggal di rumah orangtuanya.
Urusan dapur pun menjadi masalah. Ibu mertua tidak mau ‘daerah kekuasaannya’ direbut menantu, karena merasa dia yang berkuasa di rumah itu. Selain itu, dia merasa lebih tahu seera makan anaknya. Sikap ibu mertua makin menjadi-jadi kalau dulu dia tidak merestui perkawinan anaknya, baik karena perbedaan status, ekonomi atau lainnya. Hal ini bisa menjadi alasan untuk menjatuhkan menantu perempuannya.
Dalam kasus seperti itu, umumnya menantu perempuan hanya bisa mengeluh pada suami, dan tentu saja hal itu mengganggu keharmonisan rumah tangga mereka. “Dia akan bertambah tertekan kalau ternyata suami membela ibunya,” kata Dra. Josephine Maria Julianti Ratna M. Psych, Psikolog di RS Surabaya International, yang juga Direktur Australia Education Centre di Surabaya.
Mengapa konflik seperti itu jarang terjadi antara menantu lelaki dan mertua perempuan ataupun mertua lelaki? “Karena menantu laki-laki kodratnya sebagai pencari nafkah keluarga, sehingga sebagian besar waktunya dihabiskan di luar rumah. Dengan demikian, sumber-sumber penyebab konflik dengan mertua bisa dihindari,” ujarnya.

Sinergi Segitiga
Untuk menghindari konflik menantu perempuan dengan mertua perempuan, menurut Josephine, mereka harus bisa menciptakan hubungan segitiga, yaitu hubungan antara istri dengan suami, istri (menantu) dengan mertua dan suami dengan ibunya.
“Jangan berupa hubungan garis lurus (istri-suami-mertua, atau istri-mertua-suami, Red), karena yang berada di tengah menjadi serba salah,” tandas Josephine.
Agar tercipta hubungan segitiga yang baik, lanjut Josephine, hendaknya dimulai sedini mungkin. Akan lebih bagus di saat masih pacaran. Hendaknya pacar sering diajak ke rumah calon mertua, supaya saling kenal dan menjadi keluarga sendiri. Dengan begitu, ketika menikah, mertua tak merasa anaknya dirampas orang lain. Sementara menantu perempuan juga harus bisa bersikap baik dan menjadikan mertua perempuan seperti ibu kandungnya sendiri.
“Bisa juga dengan cara lain. Sebelum menikah, buat perjanjian dengan suami, tak perlu harus tertulis, yang menyangkut tiga hal. Pertama, berapa lama akan bersama mertua. Kedua, apa yang diharapkan suami terhadap istri. Ketiga, tentang kewenangan. Mungkin masalah ini tidak etis bagi kita sebagai orang Timur, tapi demi kebaikan bersama, tidak ada salahnya,” tutur Josephine. (lia)

Sumber:
Harian Surya, Minggu 7 April 2002