Saturday, July 10, 2010

Pendampingan Orangtua Terhadap Siswa Belajar di SMA

Oleh : Josephine M.J.Ratna, M.Psych


“Ternyata anak kita sudah remaja dan mulai dewasa”

“Anak jaman sekarang susah dimengerti, mau jadi apa mereka?”

“Akhirnya sudah SMA anak kita…berarti musti siap mereka tidak mudah ditangani”

“Mereka mustinya sudah ngerti maksud kita, pasti mereka sengaja”

“Badan sih besar… pikiran dan sifat kayak anak kecil”

“Ah …anak sekarang mau gampang saja, ada saja akalnya …”


Ketika anak-anak memasuki SMA, serasa waktu berlalu sedemikian cepat…membuat para orangtua meningkat kecemasan dan kekuatirannya. Manifestasi dari kekuatiran dan kecemasan itu justru muncul dalam berbagai cara yang berdalih ‘melindungi’ anak mereka dengan berbagai larangan dan ‘ancaman’. Di sisi lain, remaja yang masuk ke jenjang studi SMA menganggap bahwa masa kanak-kanak telah berakhir…mereka punya label baru “anak SMA” yang diartikan sebagai cikal kedewasaan dan awal dari kebebasan. Komentar di atas hanya sebagian kecil dari wujud kegelisahan orangtua yang juga menunjukkan bahwa mereka merasa gamang dalam berhadapan dengan periode ini. Salah satu cara dan strategi yang kebanyakan dipilih oleh orangtua adalah mengingat kembali bagaimana masa remaja mereka sendiri, sehingga tidak heran bila komentar yang diawali dengan “Kalau papa/mama dulu……”. Bisa diperkirakan respon remaja SMA terhadap komentar ini ? EGP. Mengangguk tapi tidak mendengarkan….

Pendidik utama seorang anak adalah orang tuanya. Peran sekolah adalah membantu orang tua, melengkapi apa yang tidak bisa dilakukan orang tua di rumah berkaitan dengan pendidikan anak. Sekolah tidak bisa dan tidak akan bermaksud mengambil alih peran tersebut. Namun kerjasama dalam mendidik anak perlu diciptakan, supaya ada kesamaan gerak, ada kesepahaman dan kerjasama yang baik antara orang tua dan pihak sekolah. Nilai-nilai yang ditanamkan kepada anak di sekolah - sesuai dengan visi sekolah - semestinya mendapat suasana yang mendukung juga di rumah.


Tugas Perkembangan Usia Remaja

Secara teoritis, manusia memiliki tugas perkembangan sesuai dengan periode usia dan tugas perkembangan ini harus dipenuhi sejak bayi sampai mati. Ahli psikologi perkembangan bernama Havighurst menyatakan bahwa tugas perkembangan masa remaja adalah :

1. Menerima keadaan fisik dirinya sendiri dan menggunakan tubuhnya secara lebih efektif. Sederhana diucapkan tetapi tidak mudah dijalankan. Cukup banyak remaja yang sulit menerima keadaan fisiknya karena membandingkan dengan kriteria ideal yang ada dalam benaknya masing-masing. Misalnya perasaan tidak puas karena tidak seramping temannya, berjerawat, warna kulit tidak sesuai dengan harapan, tinggi badan dan ukuran tubuh tidak ideal, dan lain-lain.

Resiko : Akibat tidak mampu menerima keadaan fisik, remaja sering menjadi minder, tidak mudah menyesuaikan diri, merasa tidak mampu dan pada akhirnya ikut mempengaruhi prestasi akademik dan hal-hal lain.

Peran orangtua : membantu remaja untuk memfokuskan diri pada potensi dan kelebihan yang ada. Menyadarkan remaja bahwa sukses hidup tidak dinilai hanya dari penampilan luar. Mengajak dan memberi teladan untuk mensyukuri apa yang dimiliki dan tidak menuntut hal yang tidak mungkin terjadi. Jika ternyata permasalahan ini mengganggu tugas akademis, maka orangtua perlu mengambil langkah prioritas dalam menyelesaikan masalah, misalnya dengan melibatkan sekolah dan guru untuk membantu anak.

2. Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang-orang dewasa lainnya.
Usaha untuk mencapai kemandirian emosional bisa membuat remaja melawan keinginan atau bertentangan pendapat dengan orangtuanya. Hal ini biasanya menjadi salah satu alasan remaja dianggap bermental pemberontak di rumah. Ketika label pemberontak ditempelkan pada seorang remaja, secara bawah sadar remaja ini akan ‘menunggu waktu yang tepat’ untuk membuktikan bahwa mereka dapat bertanggungjawab atas keputusan pribadinya.

Resiko : Apabila masalah ‘pemberontakan remaja’ ini tidak terselesaikan, remaja cenderung untuk mencari jalan keluar di luar rumah, antara lain lebih memilih berada bersama teman-teman sebaya yang senasib, lebih sering di luar rumah, terutama apabila orangtua bersikap otoriter. Remaja yang mengalami permasalahan dengan orangtua biasanya suka curhat dengan teman sebayanya (teman sekolah atau tetangga). Hal ini tidak salah namun terkadang dengan curhat, remaja menjadi lebih mampu menghadapi permasalahan hidup selanjunya walaupun nasehat teman sebaya terkadangan belum mampu mendapatkan solusi yang terbaik. Jika teman curhat seusia, maka ada kalanya remaja justru tidak mendapatkan advis yang sesuai karena keterbatasan pengalaman teman. Perilaku berontak bisa berakibat pada persepsi ‘nakal’ yang terbentuk secara otomatis di pikiran mereka yang berinteraksi dengan si remaja pemberontak ini, akibatnya ia bisa kehilangan kesempatan untuk membuktikan kemampuannya. Prestasi akademis biasanya terpengaruhi karena ada nilai afeksi yang terukur dari sikap dan sifat selama remaja ini mengikuti pelajaran di seolah.

Peran orangtua : menempatkan diri menjadi teman bagi remaja, menjadi gaul sehingga lebih mampu memahami dunia mereka. Selain itu penting bagi orangtua untuk mengenal siapa teman anak remaja dan berteman pula dengan mereka. Terkadang teman anak justru akan mampu membawa ‘pesan’ lebih baik daripada ketika orangtua yang harus menyampaikan pemikiran mereka sendiri pada anak kandungnya. Selain itu orangtua hendaknya memberikan kepercayaan bagi anak untuk melakukan tugas orangdewasa dan orang tua cukup mengawasi.

3. Mematangkan suatu hubungan dan pergaulan antara lawan jenis yang sebaya. Dengan tugas ini remaja akan mampu bergaul secara baik dengan kedua jenis kelamin, baik laki-laki maupun perempuan. Tugas perkembangan ini akan tercapai bila sang remaja mampu berinteraksi dengan individu lawan jenisnya.

Resiko : Jika remaja bersekolah di sekolah khusus cowok atau khusus cewek, kemampuan untuk bergaul secara matang dengan jenis kelamin lain akan terpengaruhi. Kegiatan lain di luar sekolah ikut mempengaruhi ketrampilan dalam berinteraksi dengan laki-laki maupun perempuan.

Peran orangtua : Memahami adanya tugas perkembangan ini, hendaknya orangtua memberikan kesempatan yang luas bagi remaja untuk terlibat secara seimbang dalam kegiatan di dalam keluarga dan di luar rumah, sehingga mereka bisa melatih ketrampilan berinteraksi sosial antar sebaya baik sesama maupun lawan jenis kelamin. Ayah dan ibu secara khusus dapat mendampingi remaja putra dan putrinya dalam mengambil keputusan yang paling tepat dalam situasi sosial tertentu dimana terdapat nilai-nilai budaya yang berlaku karena kelaki-lakian atau keperempuanan. Misalnya sopan santun, kebebasan berperilaku dan lain-lain. Kemampuan untuk berinteraksi dengan seimbang itu hanya dapat terganggu apabila kita sendiri yang memang menciptakan batasan untuk bergaul.

4. Dapat menjalankan peran sosial maskulin dan feminin. Peran sosial yang dimaksud di sini adalah seperti yang diharapkan masyarakat, dan bergeser sesuai dengan peralihan zaman.

Resiko : Apabila pada zaman dahulu secara sosial dianggap baik bila laki-laki mencari nafkah di luar rumah sedangkan perempuan mengurus rumah tangga, dengan timbulnya kesadaran akan kesetaraan jender sekarang ini tidak harus demikian. Sehingga, yang paling penting untuk dipahami adalah sebagai anggota dari satu jenis kelamin, kita jangan sampai kemudian merasa berhak untuk mensubordinasi atau memperlakukan anggota jenis kelamin lain secara buruk atau semena-mena, baik di publik (masyarakat) maupun domestik (rumah tangga).

Peran Orangtua : Memahami perubahan zaman serta tuntutan kesetaraan jender sebagai kesempatan bagi anak laki-laki dan perempuan untuk bersaing secara sehat di segala bidang yang memungkinkan, termasuk dalam bidang akademik. Hendaknya orangtua memberikan dukungan yang sama baik kepada anak laki-laki dan perempuan dalam upaya mereka mengembangkan kemampuan akademis di segala bidang yang menjadi peminatannya.

5. Berperilaku sosial yang bertanggung jawab. Idealnya, seseorang tentu diharapkan untuk berpartisipasi demi kebaikan atau perbaikan di lingkungan sosialnya. Secara bertahap untuk mencapai hal ini bila remaja belum bisa berpartisipasi nyata dalam perbaikan lingkungan sosial, minimal mereka harusnya tidak menjadi beban bagi masyarakat atau lingkungan sosialnya.

Resiko : Secara emosional remaja masih dinilai belum stabil dan mudah terpicu oleh pengaruh dari luar. Misalnya remaja yang terlibat tawuran sampai menghancurkan fasilitas umum tentu tidak dapat dianggap telah melampaui tugas perkembangan yang satu ini dengan sukses.

Apabila dalam memenuhi tugas perkembangan ini remaja tidak berada di lingkungan yang memungkinkan ia berpartisipasi dan menunjukkan perilaku sosial yang bertanggungjawab (misalnya diberi peran basa-basi atau hanya penggembira atau justru peran yang terlalu besar), maka tidak heran jika mereka memilih untuk tidak mau ambil bagian karena resiko terlalu besar untuk dipersalahkan atau justru tidak menguntungkan. Akibatnya waktu berlalu dan remaja tidak mendapatkan latihan yang cukup untuk berkontribusi sosial.

Peran Orangtua : Tanggungjawab sosial tidak dapat ditunjukkan secara otomatis, melainkan melalui sebuah proses. Orangtua diharapkan memberikan kemudahan bagi remaja untuk menunjukkan tanggungjawab sosialnya dan memberikan penghargaan yang cukup, misalnya mengijinkan dan mendorong anak menjadi anggota panitia atau ikut dalam organisasi sosial di lingkungan sekolah atau tempat tinggal. Sehingga terlihat bagaimana mereka terlatih untuk mengembangkan kepekaan sosial termasuk berlatih untuk berperilaku yang bertanggungjawab dan dapat diterima oleh komunitas sosial yang lebih luas. Penerimaan dijadikan sebagai bentuk apresiasi dan pengakuan. Hendaknya orangtua menjadi orang pertama yang memberikan apresiasi dan pengakuan ini.

6. Mempersiapkan diri untuk memiliki karier atau pekerjaan yang mempunyai konsekuensi ekonomi dan finansial. Setelah melepaskan diri dari ketergantungan emosional dengan orangtua atau orang dewasa lain, tugas yang menanti remaja adalah juga melepaskan diri dari ketergantungan finansial dari mereka. Biasanya setelah setahun berada di SMA, siswa harus memilih penjurusan yang tepat dan sesuai dengan minat dan kemampuan mereka. Penjurusan merupakan bagian penting dalam memenuhi tugas perkembangan ini.

Resiko : Pada remaja yang memiliki orangtua yang otoriter dan dominant, seringkali tidak mampu menilai kemampuan dan minat diri sendiri karena mendapatkan pendampingan orangtua yang terlalu besar/kuat. Ia menjadi tidak mampu menilai diri sendiri yang pada akhirnya bisa berakibat remaja menyesali atau tidak merasa bertanggungjawab atas pilihan orangtua. Dalam konteks kompetisi yang sangat besar antar remaja untuk berlomba menunjukkan prestasi, orangtua mau tidak mau seolah ‘mengharuskan’ anak untuk mendapatkan pelajaran tambahan dan tidak mengijinkan anak memiliki waktu terlalu banyak untuk mengerjakan sesuatu yang mereka senangi. Orangtua berdalih bahwa anak harus menggunakan waktu yang ada untuk belajar, belajar dan belajar atas dasar persiapan karier mendatang. Alhasil anak justru mengalami kondisi yang tidak kondusif untuk berprestasi karena kelelahan dan kebosanan rutinitas.

Peran Orangtua : Membantu anak memiliki keseimbangan waktu belajar di sekolah dan waktu untuk mengembangkan hobi dan minat. Juga sangat baik bila remaja berkesempatan untuk belajar bekerja (magang) betapapun kecil penghasilan yang diperoleh. Orangtua dengan relasi yang cukup besar diharapkan mampu membuka peluang dan mendorong anaknya secara positif untuk mau memanfaatkan waktu kosong dengan mencoba merasakan dunia kerja yang sesungguhnya dan menganalisa kegiatan ini sebagai kegiatan yang penting agar anak siap terjun dan bekerja di masyarakat.

Tugas-tugas perkembangan ini harus dicapai sebelum seorang remaja melangkah ke tahapan perkembangan selanjutnya. Apabila remaja tadi gagal dalam memenuhi tugas perkembangannya secara tepat waktu, maka ia akan sulit untuk memenuhi tugas perkembangan fase selanjutnya. Atau, apabila ia gagal melaksanakan tugas perkembangannya pada waktu yang tepat, maka ia akan mengalami kesulitan untuk menyelesaikannya di waktu yang lain, atau melaksanakan tugas perkembangan pada tahapan yang lebih lanjut.

Potensi Permasalahan Berhubungan Dengan Studi

Memahami adanya tugas perkembangan yang harus dilalui remaja, tuntutan terhadap mereka juga meningkat seiring dengan level pendidikan yang sedang mereka tempuh. SMA merupakan saat dimana siswa menerima tempaan yang lebih serius dalam mempersiapkan diri memilih jenjang pendalaman ketrampilan yang lebih terarah untuk karier masa depan.

Orangtua perlu memahami bahwa di era pendidikan modern ini, sekolah dituntut memberikan persiapan yang cukup bagi siswa untuk mampu bersaing di jenjang pendidikan selanjutnya, termasuk mempersiapkan karakter yang kuat dan mampu dibanggakan. Di sisi lain, orangtua sendiri memiliki harapan dan tuntutan bagi anak-anak mereka untuk nantinya dipersiapkan dalam meneruskan usaha atau terlibat dalam pekerjaan yang menuntut kesiapan dalam berbagai bidang. Namun demikian, segala sesuatunya nantinya akan terpulang pada remaja/siswa sendiri dalam menjalani dan memanfaatkan peluang dan kesempatan yang ada. Dalam proses penggemblengan di tingkat SMA, orangtua dituntut untuk mampu mendampingi perjuangan remaja dan ikut terlibat aktif sebagai partner sekolah dalam menjalankan pendidikan bagi putra-putri mereka.

Berikut ini adalah daftar singkat beberapa potensi masalah yang biasa disampaikan oleh siswa dan orangtua siswa SMA :

1. Penyesuaian diri dengan teman baru : biasanya terjadi pada beberapa bulan di tahun pertama

2. Grouping : berkelompok (kelas sosial, kemampuan, minat, atau bahkan terdapat pengelompokan berdasarkan permasalahan perilaku)

3. Belajar mandiri masih belum otomatis sehingga menimbulkan konflik dengan orangtua dan guru

4. Tuntutan orangtua dianggap konvensional (kuno), namun anak sendiri kerap tidak mampu menunjukkan kemampuan yang mereka miliki tetapi tidak mau menerima tuntutan orangtua

5. Time management (membagi waktu belajar dan kesenangan)

6. Dilema tawaran menarik non akademis vs akademis : hal ini bisa membuat anak menentukan pilihan yang baginya lebih mudah (melakukan kegiatan non akademis) dan akhirnya meninggalkan jalur akademis bila dirasakan nyaman. Banyak orangtua berpikiran negative terhadap kegiatan non akademis, namun sekolah perlu terus mensosialisasikan keuntungan mengikuti kegiatan non-akademis.

7. Prestige Sekolah : terkadang untuk mengikutsertakan siswa dalam kompetisi tertentu, sekolah akan memilihkan anak yang sesuai denga yang diharapkan. Adalah suatu kebanggaan tersendiri bag pihak sekolah untuk bisa menemukan siswa/guru yang akan membawa nama baik sekolah (jika memenangkan kompetisi). Namun perlu didorong agar sekolah memberikan penghargaan karakter anak pula.

8. Pengaruh teman dan lingkungan (pornografi, teknologi informasi) : orangtua mengalami kesulitan dalam menetapkan pembatasan pergaulan dan teknologi informasi, sehingga yang bisa dilakukan hanyalah memberikan ancaman dan hukuman atau bisa saja memberikan kebebasan namun dilakukan monitoring berkala.

9. Pacaran : Masa SMA = masa bercinta dan menemukan pacar. Problematika seputar kualitas pacar dan gaya pacaran yang menjadi fokus problematika.

10. Komunikasi dengan Orangtua, Guru dan Teman : adalah problematika klasik yang dialami oleh hampir semua orangtua remaja. Kunci komunikasi dan mendengarkan dengan empati adalah hal yang harus dilatihkan pada remaja dan juga orangtuanya.

11. Finansial : pengeluaran cukup banyak tetapi belum dapat menghasilkan uang

12. Minat dan Bakat : belum yakin dan masih sulit menentukan pilihan (penjurusan)

13. Kelas Akselerasi : jika kemampuan anak di atas rata-rata mengarah pada superior, pendidikan anak sangat memungkinkan untuk dipercepat sesuai dengan ketersediaan tempat di beberapa sekolah. Siswa dalam kelas akselerasi juga harus didampingi dalam pengembangan diri dibidang lainnya.

14. Beda cara belajar di SMA dibandingkan SD dan SMP


Mengenal Anak Lewat Kecerdasan Majemuk

Walaupun telah berulangkali disampaikan bahwa banyak faktor yang akan menunjang keberhasilan studi anak. Berikut disampaikan secara terperinci hal apa sajakah yang penting diobservasi pada anak-anak kita sehingga nantinya bisa diberikan pelatihan atau penanganan yang paling pas untuk dirinya. Bandingkan tiap tipe dan tentukan mana yang dominant terlihat pada anak kita :

1. Anak Visual (spatial)

Anak visual banyak belajar dan menyerap informasi dari apa-apa yang dilihatnya. Mereka sangat menyukai gambar, warna, diagram, dan segala yang terlihat, baik dalam bentuk 2 dimensi atau 3 dimensi. Anak visual biasanya juga spasial, pandai membayangkan ruang 3 dimensi. Jika bepergian ke suatu tempat, mereka tidak mengingat berdasarkan nama jalan, tetapi bangunan atau simbol yang mereka lihat sebagai penanda visual.

Media dan cara belajar

Menggunakan gambar, diagram, grafik, warna-warni, besar-kecil, belajar berkhayal secara visual, membayangkan sebuah konsep/informasi dengan: tempat, bentuk, warna, menggunakan layout, spasial, peta, maket, realitas mainan: kamera, pensil/spidol warna, balok aneka warna, ganti kata dengan gambar; bantu pemahaman kata dengan warna

2. Anak Aural (auditory-musical)

Anak aural menyerap informasi dengan pendengaran; baik suara maupun musik. Mereka sensitif dengan intonasi, irama, dinamika, tempo, keras-pelan, suara jauh-dekat. Anak aural belajar sambil mendengarkan musik, tidak menyukai “kesunyian”. Mereka senang bersenandung, membuat nada/rima sendiri. Bagi anak aural, bunyi/nada/lagu membawa pada sebuah emosi atau peristiwa tertentu. Walaupun sedang membaca buku, mereka membutuhkan suara/musik untuk menemaninya.

Media dan cara belajar:

Menggunakan metode ceramah/kuliah, melodi untuk teks; bergumam, membaca dengan suara keras (read aloud), membangun suasana musikal utk menciptakan suasana menggunakan media audio visual CD/VCD dan mendengarkan kuliah/ pidato/radio di rumah dan jalan

3. Anak Verbal (linguistic).

Anak verbal menyukai kata dan bahasa. Mereka pandai membuat distingsi makna kata, baik secara lisan maupun tulisan. Anak-anak verbal memilih kata, berkata-kata atau menulis secara terstruktur dengan pilihan kata/kalimat yang baik. Mereka sensitif terhadap pilihan kata dan mengingat sebuah tempat/peristiwa/konsep dengan nama dan kata-kata kunci. Anak-anak verbal biasanya senang membaca dan menulis; membuat sajak, puisi, diari, rima, berpidato, dan sebagainya.

Media dan cara belajar: menggunakan cara yang umum seperti di kelas; buku dan ceramah, melakukan diskusi, membaca dan menulis, bermain peran (role-playing).

4. Anak Fisik (kinesthetic).

Anak fisik menggunakan anggota badan mereka untuk belajar. Mereka senang mencoba dan melakukan segala sesuatu sendiri (learning by doing). Mereka belajar dengan cara: menyentuh, membangun, memperbaiki, membuat. Mereka seringkali tidak sabar membaca buku petunjuk atau diagram, dan langsung ingin mencoba melakukan sendiri. Anak-anak fisik sensitif terhadap tekstur, cara kerja, dan realitas fisik yang terlihat nyata di hadapannya. Mereka tidak suka berkhayal atau membayangkan.

Media dan cara belajar: menggunakan pekerjaan tangan, hands-on projects

menulis, menggambar, membuat maket, merakit benda, memperbaiki barang rusak, membuat rancangan, berolahraga dan permainan aktivitas di luar rumah (outdoor activities), drama dan permainan peran, balok, robot, mesin, alat-alat olahraga.

5. Anak Logis (mathematical)

Anak logis menggunakan logika, argumen, dan mencari pola keteraturan. Anak logis senang mencari struktur dan pola dari segala sesuatu yang ada di sekitarnya. Mereka pandai mencari hubungan, membuat perbandingan, memilah dan membuat klasifikasi. Anak logis senang melakukan pekerjaan mental/berfikir.

Anak logis adalah tipikal anak yang berhasil di model belajar seperti sekolah. Masyarakat saat ini sangat menghargai anak logis.

Media dan cara belajar: menggunakan buku & teori mengenai berbagai hal

bermain puzzle dan teka-teki, membuat aturan dan prosedur yang jelas

membuat rencana dan jadwal

6. Anak Sosial (interpersonal).

Anak sosial memiliki kecenderungan untuk bergaul dan berkelompok secara sosial. Mereka supel dan pandai bergaul dengan siapapun, baik dengan teman sebaya maupun orang yang lebih tua/lebih muda. Orang mendengarkan dan menyukai mereka. Mereka menikmati pertemanan, berbagi cerita atau ilmu dengan orang lain. Anak sosial mendapatkan ilmu dari mendengarkan orang lain atau mencari umpan balik dari respon orang lain terhadap apa-apa yang disampaikannya.

Media dan cara belajar: mengikuti kelompok, klub, organisasi

melakukan proyek yang dikerjakan bersama, berdiskusi dan bermain peran (role-playing), melakukan kegiatan lapangan yang melibatkan banyak orang

mengikuti seminar atau training dengan sistem kelas.

7. Anak Penyendiri (intrapersonal).

Anak penyendiri memiliki kecenderungan pendiam dan reflektif. Mereka lebih efektif untuk belajar jika seorang diri, bukan dalam kelompok. Anak penyendiri biasanya memiliki kecenderungan untuk mandiri, mengenali kekuatan dan kekurangan pribadi. Anak penyendiri sensitif terhadap pribadi dan kedalaman saat mempelajari atau mengerjakan sesuatu.

Media & cara belajar: menekuni hobi atau sesuatu yang ditekuni

mengeksplorasi buku atau materi-materi yang bisa dilakukan sendiri, mengerjakan proyek mandiri, membuat jurnal, diari, blog

8. Anak Alam (Natural)

Anak alam memiliki ketertarikan akan keindahan alami dan baru bisa belajar bila menemukan pejelasan specifik tentang fenomena tertentu. Hal-hal yang berkaitan dengan upaya melestarikan alam adalah yang sangat disukainya.

Media & cara belajar: memelihara hewan dan menanam tumbuhan untuk dilihat perkembangannya, berada di lingkungan alam, mendapatkan nasehat di lingkungan yang nyaman, inisiatif untuk menyelenggarakan program berbasis lingkungan sehat.


Rekomendasi Pendampingan Belajar di SMA

Langkah penting dalam pendampingan anak :

1. Ortu harus meyakini bahwa “Sukses ortu tidak menjamin sukses anak”

2. Mendefinisikan apa yang dimaksud dengan sukses?  membantu memformalisasikan masalah

3. Menentukan prioritas masalah untuk diselesaikan

4. Mengelola proses belajar

5. Mendorong inisiatif dan partisipasi

6. Menjadi pendamping yang berenergi

7. Bertindak asertif dan tegas

8. Mengajarkan ketekunan, kerja keras, kesabaran dan ketulusan untuk menjadi bahagia bagi orang lain

9. Mendorong anak menjadi kreatif dan berani untuk menyampaikan gagasan.

10. Menjadi orangtua GAUL

Penutup

Menghadiri pertemuan orangtua merupakan satu tanda kepedulian dan keinginan untuk belajar memahami remaja, putra-putri tercinta. Tidak ada sekolah menjadi orangtua dan demikian pula tidak ada tempat belajar menjadi anak, sehingga yang terjadi adalah upaya terus menerus untuk menyempurnakan diri dalam peran menjadi orangtua yang baik bagi anak.

Bekerjasama dengan sekolah dalam mendampingi studi anak di SMA haruslah dilihat sebagai kesempatan untuk lebih mengenal putra-putri kita dalam lingkungan belajar kesehariannya. Namun dalam kesempatan ini pula, orangtua dapat belajar untuk menilai bagaimana anak mengambil keputusan dan bila dirasa perlu, kritik pada anak sangat dimungkinkan, tanpa harus disertai ancaman. Mari berjuang bersama !

Makalah disampaikan dalam Pertemuan Orangtua Siswa di SMAK Santo Yusup Malang - 9 dan 10 Juli 2010