Friday, February 20, 2009

Bersyukur dan Berbagi


Yayasan Al madinah menyiapkan gedung tiga lantai sebagai ‘istana’ bagi anak-anak yatim, Grha Aitam namanya. Disebut ‘grha’ karena di dalamnya akan disediakan fasilitas pengasuhan dan pendidikan yang memadai dan lux dibandingkan kebanyakan panti asuhan lain di Indonesia. 

Hal ini dimaksudkan sebagai upaya menumbuhkan mental ‘kaya’ dan percaya diri pada anak di tengah kehidupan kota metropolitan. Namun, muncul kekhawatiran dari berbagai kalangan bahwa beragam fasilitas itu rentan memicu sindrom culture shock pada anak. Pasalnya, anak yatim notabene berasal dari keluarga kurang mampu. Persoalan di atas menjadi bahan diskusi Al Madinah dengan Josephine M. J. Ratna, pakar psikologi klinis, alumnus Magister Psikologi Curtin University & Technology Western Australia pada Kamis, 8 Januari 2009.
Berikut petikan perbincangan tersebut:

Al Madinah akan menyediakan fasilitas yang cukup mewah bagi anak yatim, komentar Anda?
Menurut saya harus hati-hati. Sering saya lihat anak-anak yang berkecukupan kurang tangguh, karena mereka mendapatkan sesuatu tanpa usaha. Saya lebih setuju, fasilitas yang diberikan tidak terlalu mewah, namun lebih baik dibandingkan dengan teman-temannya. Juga harus tetap ada nilai-nilai yang diterapkan, bahwa segala kenikmatan adalah hasil kerja keras.
Sebagai misal, kalau mereka makan terlambat ya tidak diberi makan. Mereka tetap mencuci piringnya sendiri. Jadi tetap ada nilai-nilai dimana tidak seratus persen dilayani, tetapi juga saling melayani. Mesti ada tanggung jawab yang dibebankan kepada anak-anak selain kemewahan yang mereka alami sehari-hari.

Fasilitas ini untuk menanamkan mentalitas kaya atau cukup pada anak
Saya rasa kata cukup itu penting untuk diberikan batasan. Karena orang tidak pernah merasa cukup. Orang yang sudah kaya sekali pun tidak pernah merasa cukup. Nah, mau sampai dimana kecukupan ini. Dan istilah kecukupan sendiri bagi anak—anak harus dijabarkan dalam definisi tertentu. Semisal, saya punya makanan empat piring, padahal saya cuma makan tiga piring sehari. Berarti nggak salah dong kalau saya bagi satu piring karena saya sudah cukup, sudah kaya. 

Tetapi ada seseorang yang punya tujuh piring dan dia cuma membagi satu piring. Ya kaya buat dia berrati harus memiliki enam piring, tiga piring buat sekarang dan tiga piring simpanan. Sebetulnya saat punya empat, dia sudah kaya, karena sudah melewati cukup. Tetapi tinggal orangnya. Kalau saya pribadi, kalau merasa nggak cukup, saya ngga bagi, dan itu justru mental kaya. Kalau belum cukup, jangan sok membagi, karena itu justru kesombongan.

Juga untuk mencegah perasaan rendah diri pada anak
Saya kira membangun ke-pede-an tidak selalu dengan kemewahan. Justru dengan ilmu itu lebih pede. Tetapi kalau dengan kemewahan, saya belum berani bicara, karena kita belum lihat hasilnya. 

Tetapi saat ini mungkin tantangannya besar. Anak usia 10 tahun ke atas, IQ (intelligence quotient)-nya masih terus berkembang. Kemampuan nalar dan analisis mereka sangat terbatas. Mereka hanya melihat apa yang dilihat, tanpa menerawang visi misi di belakangnya, karena memang belum punya kemampuan untuk itu.

Maka saya rasa harus hati-hati, karena bisa saja opini dari dalam diri mereka bahwa yang namanya hidup itu harus seperti itu (enak; red). Nah, ini harus ada pendampingan, sehingga ketika keluar dari panti asuhan tidak muncul culture shock. Kalau jegleg terus depresi, kan malah susah.

Pendampingan seperti apa?
Pendampingan yang disesuaikan dengan tahap perkembangan mereka. Pendamping selain harus mengerti visi misi lembaga, di sisi lain harus mengerti tahap-tahap perkembangan anak. Ada pendampingan kepada anak bahwa ‘kamu beruntung bisa diterima di sini’. Kata ‘beruntung’ baik secara operasional maupun secara spiritual harus kita korek dari pengertian anak-anak, beruntung itu apa. Setiap orang punya persepsi atau definisi atas setiap kata atau situasi.

Saya kira pendampingnya harus memahami dari kaca mata mereka. Baru nanti diarahkan apabila masih salah, kalau yang sudah benar diperkuat. Tetapi kalau masih belum punya pemikiran apapun, ya dibentuk. Jadi anak harus tahu bahwa dia beruntung, lalu bersyukur, dan ingin memanfaatkan se-optimal mungkin. Ada pula yang sombong, “Ya aku nikmati saja, karena juga nggak lama.”

Dasar ini akan mempengaruhi pola pikir dan tindakan mereka. Baru setelah itu, masuk ke pendampingan yang bagus. Tetapi untuk anak umur 10-13 tahun, saya masih kurang yakin bisa terbentuk dengan benar.

Metode untuk menanggulangi culture shock?
Saya rasa ada yang umum dan ada yang individual. Karena anak-anak mungkin ada yang hiperaktif, atau apa, dia tidak bisa disamaratakan dengan yang lain. Selama belum ada metode seleksi yang tepat, itu sulit. Apakah anak dengan perbedaan yang sangat, asalkan yatim, miskin, membutuhkan, mau sekolah, dan diizinkan keluarga tinggal di asrama, akan diasuh? Tidak peduli dia autis, cacat dan sebagainya. Apabila diterima semuanya, berarti Anda harus menyiapkan pendamping yang mengerti autis, hiperaktif, yang ngompolan, dan sebagainya. Nah, itu harus dipikirkan, sehingga pola pendampingan dan pengasuhannya menjadi maksimal.

Menurut saya, harus ada ketegasan karena Anda menawarkan kenikmatan, dan kenikmatan ini tidak bisa dinikmati semua orang. Maka orang yang berhak mendapatkan kenikmatan, harus ada aturan untuk mengatur hak orang itu.

Pendampingan purna asuh?
Saya belum tahu. Tetapi batasi tanggungjawab dan misi lembaga. Biarkan mereka bediri di atas kaki mereka sendir, tetapi berikan dorongan. Sebenarnya masih banyak yang bisa dilakukan tanpa pikir tentang purna asuh, karena tetap ada yang baru kan?

Untuk purna asuh, ya cari program lain, pelatihan sederhana atau apalah. Tetapi ini harus diurus oleh mereka yang tugasnya memang di situ, bukan tanggung jawab pengasuh yang merawat di Panti. Intinya, kita harus bisa membedakan antara rasa kasihan dengan niat membantu, plus itu harus ditunjang dengan rasa tanggungjawab dari mereka. Keadilan bagi saya, ada yang beruntung dan ada yang tidak. Itu berarti Tuhan adil.

Strategi membangun mentalitas kaya pada anak?
Menurut saya cukup satu kalimat, “Aku bersyukur atas apa yang aku dapatkan hari ini.” Jadi hari ini, besok kan beda. Jadi besok tetap jadi hari ini buat dia.

Besok lagi tetap menjadi hari ini. Itu yang membuat dia kaya. Kalau mau ditambah lagi satu kalimat, “Aku akan membagikan apa yang bisa aku bagikan hari ini.” Ajaran itu harus ditekankan berulang-ulang kepada anak-anak, karena saya yakin, setinggi apapun iman seseorang, harus terus diingatkan.

Tentang program Business Day?
Saya rasa itu bagus, asal jangan nanti ketika profitnya jadi banyak, lalu anak-anak ini merasa dimanfaatkan. Dan harus dilihat juga, anak-anak ini umurnya berapa, hati-hati dengan UU Perlindungan Anak.

Silahkan saja. Program sebaik apapun harus ada waktu monitoring dan ebaluasi. Kalau memang lebih banyak dampak negatifnya atau tidak jelas arahnya, tentu bisa diperjelas atau dievaluasi kembali. Tetapi selama itu bagus, ya diteruskan. Segala sesuatu kan mana bisa tahu kalau belum dicoba. (Syafiq)

Sumber:
Majalah Al Madinah – Edisi II Februari 2009 (Shafar 1430H)