Sunday, January 25, 2009

Remaja Jangan Mau Jadi Objek

Permasalahan remaja selalu menarik diperbincangkan. Nggak sedikit seminar atau talkshow yang memilih permasalahan remaja sebagai tema utamanya, dengan tujuan mengajak para remaja berpikir mengenai masalahnya.

Begitupun dengan yang diadakan oleh SMA Santa Maria Surabaya, yang mengajak puluhan guru pembimbing konseling (BK) untuk mengikuti seminar bertema “Benteng Remaja Menghadapi Tekanan Sosial”.

Guru BK (konselor) diundang secara khusus mengingat banyaknya permasalahan remaja, pelajar utamanya yang ditangani langsung oleh guru BK ketika berada di dalam lingkungan sekolah. Sosiolog Bagong Suyanto, MSi yang mengetengahkan tema “Fenomena Sosial Remaja Kini” berharap guru BK atau setiap guru yang mengajar tidak menjadikan anak didik sebagai objek, tetapi sebagai subjek. “Kalau dulu selalu melihat permasalahan anak muda dari sisi guru atau orangtua, sekarang waktunya dibenahi. Harus melihat permasalahan remaja dari sisi remaja sendiri yang sudah berbeda zamannya,” ujarnya.

Dengan begini murid akan melakukan curhat setiap menghadapi masalah di sekolah atau di rumah. Kedekatan antara guru BK dan murid akan terjalin sehingga tidak ada yang disembunyikan. Tetapi cara ini kesulitannya terletak pada penerimaan guru sekolah terhadap kedekatan guru BK dengan murid yang dianggap dapat meremehkan.

Diakui akan ada ganjalan, tetapi guru BK harus konsisten mengubah cara penanganan masalah remaja tersebut sesuai dengan kacamata remaja.

Pada sesi terakhir psikolog Josephine M Ratna MPsy menyampaikan topik “Mengapa Remaja Rentan Kasus Sosial dan Peran Penting Konselor Sebagai Benteng Remaja Hadapi Tekanan Sosial”. Dengan memfasilitasi permasalahan yang diambil dari ide peserta sendiri, pembicara ini cukup mudah mengarahkan peserta tentang bagaimana cara menyelesaikan masalah remaja. Selain itu, di akhir sesi ini peserta juga mendapat pencerahan dengan diputarnya sebuah film yang menceritakan tentang pengorbanan seorang yang rela meninggalkan kehidupan suksesnya untuk mengurus seorang anak yang membutuhkan.

Sumber:
Surabaya Post, Minggu, 25 Januari 2009

Sunday, January 11, 2009

Usia Empat Tahun, Stop Isap Jempol

BAGI beberapa anak, kegiatan mengisap jari atau jempol memberikan ketenangan. Maklum, usia satu hingga tiga tahun adalah masa oral. Pada saat ini, anak-anak akan berusaha mencari kenikmatan melalui mulut.

Namun, orang tua tak boleh membiarkan si mungil melanjutkan kebiasaan itu bila usia anak telah tiga tahun lebih.''Cara menghentikan kebiasaan itu bukan dengan dibentak ataupun dimarahi. Bakal membuat trauma. Dampaknya, si anak makin sulit menghilangkan kebiasaan mengisap jempol,'' papar Josephine Ratna, psikolog klinik dari RS Surabaya Internasional. Tak jarang, si kecil malah terus mengisap jempol, meskipun luka. Bahkan, ada yang cuek walaupun jarinya bau. ''Bagi anak tidak bau,'' tuturnya.

Nah, untuk menghilangkan kebiasaan itu, orang tua harus bijak. Bisa melalui penjelasan tentang arti bersih dan kotor. Apalagi, kata Josephine, pada usia 2,5 hingga 3 tahun, sudah terbentuk IQ (intelligence quotient). Kelompok umur tersebut sudah dapat mengerti penjelasan, meski tidak spesifik. ''Selain itu, anak-anak mulai masuk taman bermain. Kegiatan di sekolah dapat menjadi alat pengalihan perhatian,'' jelasnya.

Dia menambahkan, memberikan bahan yang berasa pahit di jari anak tidaklah salah. Tapi, anak tak boleh mengalaminya dengan terpaksa. Olesi si jempol dengan bahan tersebut ketika anak sadar dan tahu. ''Misalnya, membiasakan mengolesi body lotion dan tak menghilangkannya, meski sudah cukup lama. Sehingga, saat mengisap jempol, dia pasti melepaskannya karena merasa pahit,'' katanya.

Josephine menambahkan, orang tua hendaknya tak pelit memberikan reward kepada anak jika berhasil menghilangkan kebiasaan itu.(dio/nda)

Sumber:
Batam Pos, Minggu, 11 Januari 2009

Saturday, January 3, 2009

Dokter Cinta Beraksi

Mempercepat Penyembuhan

Memberikan perhatian kepada orang yang kita cintai adalah suatu keharusan. Apalagi ketika pacar sedang sakit. Dengan menjenguk pacar, itu menunjukkan bahwa kita perhatian kepadanya. Kita seolah-olah berkata kepada pacar, ini lho, aku juga ada di saat kamu susah, bukan cuma saat senang saja. Di samping itu, memang ada hubungan yang kuat antara mind dengan body. Ada riset yang menyebutkan bahwa mind yang bahagia bisa mengurangi rasa sakit seseorang. Ketika seseorang yang sedang sakit dikunjungi oleh orang yang dicintainya, terutama pacar, akan ada semangat yang mendorongnya untuk segera sembuh dan tak kelihatan lemah di depan si dia. Sehingga, biasanya proses penyembuhan si sakit juga akan jadi lebih cepat.

Sumber:
Deteksi Jawa Pos, Sabtu 3 Januari 2009