Saturday, July 26, 2008

Balada Cinta Tambalan

Cocok, Jalan Terus

Sebenarnya, jadian karena pelarian tidak selalu berimbas buruk bagi hubungan pacaran. Awalnya memang disebabkan ingin melupakan trauma dari hubungan sebelumnya. Tetapi, ada dua sudut pandang. Pertama, jika niatnya hanya ingin melupakan mantan, tidak baik untuk dilanjutkan. Akan tetapi, ketika menjalin hubungan menemukan evaluasi yang baik, tidak ada salahnya dilanjutkan. Dengan catatan, jujur. Berterus teranglah kepada pasangan bahwa awal kalian bersatu memang karena pelarian. Tetapi, di dalam proses pelarian itu, ternyata kalian menemukan cinta sejati. Ingat, prinsip jalinan cinta adalah saling respek. Di sana akan terlihat, kalau sekedar pelarian, cintanya juga "sekadar" saja.

Sumber:
Deteksi Jawa Pos, Sabtu 26 Juli 2008

Friday, July 11, 2008

Apa dan Bagaimana Distress Pada Anak?


Oleh: Dra. Josephine Ratna, PG DipSC, M. Psych
RS Surabaya Internasional

Apa dan Bagaimana Distress pada Anak?
Biasanya kalau seseorang merasa tertekan oleh sesuatu hal, ia akan menyebut dirinya sedang stress. Paahal stress itu artinya respon terhadap sebuah keadaan. Ada dua macam keadaan stress, yang menyenangkan dan berpengaruh positif disebut EUSTRESS, seperti: menang undian 100 juta, lulus ujian, akan menikah, naik kelas, dll. Sedangkan stress yang menimbulkan perasaan sedih dan berpengaruh negatif disebut DISTRESS, seperti: nilai jelek, keadaan sakit, orangtua meninggal, dll. Tidak hanya orang dewasa saja yang mengalami stress, anak-anak juga dapat mengalaminya.

Apa Penyebab Distress pada Anak?
Masalah makanan, distress tidak mau atau susah makan.
Di sekolah, distress karena guru yang galak atau teman yang suka berbuat jahat.
Di rumah, distress karena orangtua tidak perhatian, tidak ada teman bermain.
Berhubungan dengan aturan, distress karena kebanyakan aturan dari orangtua, tidak memahami keinginan dan aturan orangtua.
Phobia, distress karena rasa takut yang luar biasa terhadap sesuatu.
Distress karena jenius, sehingga berpikir sesuatu sesuai dengan persepsinya sendiri dan hanya meyakini bahwa pikirannyalah yang paling benar dan orang lain keliru (irrational thinking). Pada distress ini, anak tersebut sangat pintar, bisa menganalisa sendiri. Pasien yang mengalami distress ini sedikit sekali, 1 di antara seribu dan biasanya tidak dapat sembuh dengan hanya 1 kali konsultasi/pertemuan, karena perlu mengerti jalan pikiran mereka.
Distress karena volume suara orangtua waktu marah. Jika orangtua sedang marah, cenderung dalam posisi berdiri. Itu membuat anak tidak bisa melihat mata orangtua dan hanya melihat paha atau bagian bawah tubuh orangtua. Jadi yang dilihat anak adalah sosok raksasa yang menakutkan. Maka dari itu, sebaiknya waktu marah, disarankan anak diangkat sehingga menjadi selevel dengan pandangan mata orangtua (pandangan mata anak selevel dengan pandangan mata orangtua).
Orangtua yang defensif juga menyebabkan anak distress, karena mereka cenderung membela diri terhadap aturan yang telah mereka tetapkan dan merasa ini untuk kebaikan anak, padahal belum tentu anak suka.

Apa Gejalanya?
Banyak manifestasi perilaku akibat distress, berbeda-beda pada setiap anak. Misalnya:
a.    Tidak fokus
b.    Perilaku tidak sesuai (childish)
c.    Mudah sakit
d.    Mudah melawan orangtua
e.    Berontak
f.     Marah
g.    Sedih berlbihan
h.    Prestasi akademik menurun
i.      Mudah sakit perut
j.      Withdraw, menarik diri, tidak bisa diajak berkomunikasi

Depresi pada anak (clinical depression pada anak) bisa menjadi distress berganda (multiple distress), karena anak tidak ada penyaluran distress-nya, sementara orangtua otoriter, frustasi, tidak punya pengalaman, atau tidak punya teman curhat. Anak biasanya hanya diam saja dan memendamnya sampai suatu ketika ia tidak mampu menahan dan gejala akan muncul berlebihan.

Bagaimana Mengatasinya?
1.    Observasi
Bagi orangtua yang menghadapi masalah ini, sebaiknya melakukan observasi sudah berapa lama hal itu terjadi. Ini bisa dilihat dari rutinitas anak, sehingga bisa dilihat ‘pola tertentu yang berulang’, seperti anak menangis di pagi hari atau anak yang baru pindah sekolah yang biasanya mengalami separation anxiety (kecemasan berpisah dari orangtua, karena lingkungan baru).

2.    Temukan akar masalah
Dari hasil observasi, dicari dan temukan masalah, akar masalahnya. Seperti anak bayi yang tidak mau minum susu, lalu diare. Orang awam akan berpikiran jika anak anak alergi minum susu. Padahal diare itu bisa saja terjadi karena anak distress tidak mau minum susu, bukan karena alergi. Adanya “Mind Body Relationship”, dimana pikiran berdampak pada badan dan stress (respon terhadap sebuah keadaan) menghasilkan respon physiological dan psychological. Karena anak kecil belum bisa menyampaikan perasaan dan pikirannya, maka penyaluran distress-nya dalam bentuk lain. bisa menangis, melawan, sedih, memukul diri sendiri, marah, tidak sayang lingkungan sekitar, dll.

3.    Buat roleplay/bermain peran
Setelah observasi, bisa juga orangtua membuat roleplay untuk terapi. Orangtua pura-pura jadi ‘siapa’ buat anak.
Seperti distress yang dialami anak yang orangtuanya overprotective. Anak pulang sekolah wajib pulang ke rumah, semuanya diatur orangtua, aturan ketat. Juga untuk anak yang susah makan, makan lama, bisa diemut hingga 30 menit.
Pada kasus-kasus seperti ini, biasanya anak dan orangtua juga sama distress-nya. Biasanya bisa diterapi dengan pendekatan CBT – Cognitive Behaviour Therapy. Ini adalah intervensi paling mudah untuk mencari tahu akar permasalahan sesuatu yang menimbulkan perilaku tertentu, yang akhirnya bisa menimbulkan pola tertentu yang berulang.
Observasi bisa saja kurang berhasil karena ibu/yang melakukan observasi tidak dengan seksama melihat atau memperhatikan pola berulang yang ada pada anak atau ibu tidak mencatat kebiasaan anak.
Anak tidak mungkin menunjukkan perilaku bermasalah tanpa ada penyebabnya. Anak yang punya masalah biasanya menjadi diam, berubah dan tidak menunjukkan kegembiraan. Dengan melihat atau memperhatikan pola kebiasaan anak, orangtua bisa melihat apa yang diinginkan anak, sehingga kebutuhan utama anak bisa terpenuhi. Terabaikannya kebutuhan utama anak juga menyebabkan distress pada anak.

Bagaimana Efek Distress Pada Anak?
Untuk jangka panjang, distress dapat menjadi bagian dari kepribadian. Anak bisa terus menarik diri dari lingkungan, berpikir bahwa hidupnya tidak berguna dan menjadi pendendam.
Efek positif distress yang biasa terjadi pada anak-anak yang orangtuanya gagal menjadi orangtua yang baik, anak biasanya menjadi orang yang lebih bijaksana dalam menilai hidup.


Pengaruh Saat Dewasa:
Distress akan menjadi bagian hidup. Distress wajib diubah menjadi Eustress. Memang dibutuhkan skill yang baik untuk ini. Bisa juga melalui proses mem’bahagia’kan diri. Cari keseimbangan diri distress ke eustress. Bisa dengan jalan relaksasi, kembalikan fungsi respon tubuh. Bisa juga melalui proses imajinasi, sehingga bisa mengadopsi cara menghindari stress.

TIPS AGAR ANAK TIDAK DISTRESS:
1.    Jangan mendelegasikan tugas sebagai orangtua ke babysitter. Orangtua itu psikolog terbaik untuk anaknya, menjaga hubungan baik dan kerjasama yang baik antara orangtua dan anak sangat dibutuhkan.
2.    Jangan defensive, tidak ada jaminan untuk menjadi orangtua terbaik. Tidak ada orangtua yang sempurna.
3.    Distress dapat diminimalisir dengan memberi support ke anak.
4.    Ada baiknya orangtua berubah untuk anak sendiri.
5.    Patut diingat, bahwa komunikasi efektif antara anak dan orangtua terjadi hanya sampai anak berumur 12 tahun, karena biasanya setelah masuk ke masa puber, anak lebih suka berinteraksi dengan teman sebayanya, bukan dengan orangtuanya. Untuk itu tingkatkan komunikasi dengan anak semaksimal mungkin dan jadilah ‘teman’ bagi anak sesuai dengan usia perkembangannya. Orangtua wajib mau belajar agar anak betah bersama orangtuanya.

Sumber:
Buletin From Us – RAMSAY Health Care, Edisi 11 Juli – September 2008.