Monday, July 23, 2007

Ortu Jangan Terlalu Membebani Anak

Malang - Surya

Orangtua menjadi sorotan tajam dalam perkembangan perilaku siswa yang mulai beranjak remaja. Orangtua yang terlalu protekdif terhadap anak mereka justru akan membuat siswa kurang memahami diri mereka dan lebih mudah terpengaruh pergaulan yang menjurus kepada kenakalan remaja. Hal itu dibahas dalam seminar bertajuk "Tantangan Pendidikan ke Depan" di aula SMAK St. Albertus (Dempo) yang dihadiri pakar pendidikan ITS Surabaya, Drs. Kresnayana Yahya, MSc., dan psikolog, Dra. Josephine Ratna, M. Psych.

Menurut Kresnayana Yahya, mengekang pergaulan anak justru akan berdampak buruk terhaap perkembangan mental anak. "Jika anak dibiarkan berinteraksi dengan lingkungan, maka anak akan menemukan berbagai inspirasi sebagai sumber kreativitas dan kompetensi siswa," papar pakar statistik ini, Sabtu (21/7).

Menurutnya, membebani anak dengan berbagai target mulai dari harus belajar serius hingga larangan menggunakan internet justru akan menciptakan anak yang lemah. Sementara saat ini persaingan dalam dunia pendidikan hingga dunia kerja makin ketat. "Beri mereka sedikit kepercayaan. Jika perlu bebaskan mereka menggunakan internet sebab di dalamnya terdapat banyak ilmu pengetahuan," paparnya.

Internet merupakan salah satu perkembangan teknologi yang tidak bisa dihindari dan semua masyarakat membutuhkannya jika mereka ingin maju. Cara melindungi siswa dari berbagai situs "aneh" adalah dengan memberikan pengertian yang benar tentang manfaat teknologi. "Yang namanya remaja selalu ingin mencoba segala hal itu wajar. Tapi beri mereka ketentuan rambu-rambu yang harus mereka patuhi," terangnya.

Hal yang sama juga diakui oleh psikolog, Josephine Ratna. Menurutnya, sikap over protektif justru akan membuat anak menjadikan WC sekolah sebagai "rumah kedua" mereka. Di dalam WC, katanya, mereka akan membaca buku yang tak seharusnya mereka ketahui. "Siswa akan encari jalan belakang, dan ironisnya lagi mereka justru didukung teman-temannya dalam melakukan berbagai tindakan yang merusak mental mereka," jelas Josephine dihadapan ratusan orangtua siswa Dempo.

Ditambahkan, orangtua harus menjadi teman yang akrab bagi anaknya, sehingga mampu mengontrol sang anak secara efektif, bukan malah mengekang anak. Jika perlu, beri mereka tanggung jawab yang akan membuat mereka berpikir lebih dewasa untuk melanggar aturan yang telah disepakati antara orangtua dan anak. "Peranan dan kedekatan emosional dengan anak justru akan sangat membantu siswa dalam melalui masa transisi (remaja - red) mereka dengan baik," tandasnya. (st11)

Sumber:
Harian Surya, Senin 23 Juli 2007

Monday, July 2, 2007

Korban Tak Bisa Dipaksa

PPP Menilai Penanganan Lapindo sebagai Bukti Kegagalan Pemerintah

SIDOARJO, KOMPAS - Pemerintah tidak bisa memaksa seluruh korban lumpur Lapindo Brantas Inc menerima skema ganti rugi tanah dan bangunan yang sama. Sebab, setiap korban memiliki perhitungan masing-masing yang layak diperhatikan.

Demikian pendapat Ketua Ikatan Psikologi Klinis Surabaya Josephine MJ Ratna dan sosiolog dari Universitas Airlangga Musta’in yang dihubungi terpisah, Minggu (1/7), berkait perintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono lewat Bupati Sidoarjo agar para pengungsi korban lumpur meninggalkan Pasar Baru Porong dan menerima skema ganti rugi.

"Jika ada yang menuntut hal yang berbeda, mereka tidak boleh dikatakan tidak setia kawan dengan yang lainnya. Mereka tentunya memiliki pertimbangan yang bisa dipakai untuk melanjutkan hidupnya," kata Josephin.

Para pengungsi di Pasar Baru Porong, katanya, kebanyakan dari Desa Renokenongo. Mereka pasti sudah memikirkan akibatnya kalau menerima skema ganti rugi dari Lapindo dan mengambil uang kontrakan dua tahun.

Uang muka ganti rugi 20 persen tak akan cukup untuk membeli rumah baru. Selain itu, dengan menerima uang kontrakan, hidup mereka tak akan terjamin. "Rumah kontrakan akan jauh dari tempat bekerja dan anak-anak sekolah. Kalau mengontrak, juga akan ada uang untuk listrik atau air. Padahal, beberapa dari mereka pekerjaannya sudah hilang, ikut terendam lumpur. Kalau di pasar mereka mendapatkan makanan atau air gratis," katanya.

Sementara itu, 50 pengungsi di Pasar Porong, kemarin, berangkat ke Jakarta untuk bergabung dengan korban lumpur dari Perumahan Tanggulangin Anggun Sejahtera 1 yang sudah berada di Jakarta sejak Senin pekan lalu.

Sumber:
Kompas.Com, Kamis, 2 Juli 2007