Sunday, July 14, 2002

Celaka Dua Belas Impotensi!

Cobalah Katarsis

"Berdasarkan data, kasus disfungsi ereksi sebagian besar disebabkan penyakit organik"

Dalam nada tegas, psikolog Dra Josephine Maria Julianti Ratna PGDip (Sc), M. Psych., menekankan bahwa keberadaan seorang pria tidak ditentukan dari keampuhan fungsi kejantanannya.

"Bukan itu ukuran kemanusiaan seorang laki-laki," tegasnya menjawab Surya, Jumat (12/7) di ruang kerjanya.

Bahkan ia dengan tegas menyatakan munculnya persepsi tersebut mengesankan adanya pemahaman yang sangat gender. Bahwa sosok laki-laki itu harus kuat, harus mampu memuaskan pasangannya dalam multiorgasme dan sederet harus-harus lainnya sebagai suatu pola kognitif.

Bila sejuta harus itu diyakini dan diterima otak sebagai suatu persepsi kebenaran, akan terefleksi sebagai suatu kebenaran dalam bersikap. Sehingga bila pria tidak merasa greng atau tidak merasakan adanya stroom dengan pasangannya, ia sudah terlanjur memvonis kemampuan seksualnya sendiri. Yang kurang jantanlah, kurang greng, kurang besar watt stroomnya, bahkan tidak menutup kemungkinan ia memvonis dirinya homo.

"Itu sungguh keliru," sesalnya.

Itu sebabnya Josephine menyarankan untuk tidak bersikap negatif, karena nurani akan jauh lebih mendengar pengakuan tersebut yang belum tentu kebenarannya dibanding orang lain. Pasalnya, suara hati yang terlanjur menyuarakan hal-hal negatif sebagai premis ekstrem akan diterima otak sebagai suatu kebenaran.

"Mungkin tidak terlalu berpengaruh bagi mereka yang memiliki kepribadian kuat, namun sebaliknya bagi mereka yang berkepribadian labil, bila keharusan atau premis-premis ekstrem tadi tidak tercapai, ia sontak akan down dan sangat terpukul," terangnya.

Kalaupun benar ada gangguan seksual, seperti ejakulasi dini hingga impotensi, jangan dianggap sebagai hal yang sepele. Bahkan ia mengingatkan, karena sikap menerima tadi justru akan menggiringnya untuk merasionalisasikan 'kesalahan' yang terjadi.

Sebagai contoh, Josephine menyebutkan, acapkali karena perjalanan usia banyak pasangan menganggap seks sudah bukan prioritas lagi. Sehingga, bila ada kesalahan ataupun disfungsi seksual ia memilih cara untuk merasionalkannya dengan mengalihkan kelemahan pada kegiatan lain.

Seperti, lari dan membenamkan diri pada pekerjaan dan sebagainya.

"Jangan pernah bersikap seperti itu," sarannya. Karena, masalah tidak akan pernah selesai bahkan akan terlambat untuk menyadari adanya kesalahan yang ada.

Karenanya, Josephine menyarankan, kalaupun ada perubahan, "Alangkah lebih baiknya bila dilakukan secara bersama-sama dengan pasangan." Karena itu akan jauh lebih bermakna untuk menerima adanya perubahan yang terjadi pada keduanya. Termasuk adanya perubahan dalam disfungsi ereksi. Pasalnya, dengan adanya admit bahwa ada sesuatu yang salah di antara mereka, sikap itu sudah memenangkan 40 persen sendiri proses kesembuhan.

Karenanya Josephine begitu tidak setuju dengan adanya gangguan seksual yang dialami salah satu pasangan suami itri menjadikan alasan bagi pasangan yang lain memilih solusi jalan pembenaran yang keliru.

Misalnya, dengan mencari kenikmatan di luar rumah dengan cara berselingkuh. Terlebih bila pasangan yang memilih jalan selingkuh menggunakan alasan ketidakmampuan seksual pasangan sebagai tidak menerima nafkah batin.

"Itu sungguh sebuah dikotomi yang salah tentang nafkah lahir dan nafkah batin," sesalnya.

Ia malah mempertanyakan, apakah dengan memberi nafkah lahir, lalu kemudian nafkah batinnya beres begitu saja? Justru, keduanya bukan terpisah, tetapi saling melengkapi satu sama lain.

Lebih jauh Josephine menawarkan cara untuk berusaha katarsis dengan pihak ketiga. Dalam hal ini ia menyarankan untuk berbagi masalah, curhat sebagai salah satu langkah berkatarsis dengan ahlinya. Bisa psikolog ataupun ahli medis.

Kerap terjadi, kunci permasalahannya baru diketahui masing-masing pasangan justru setelah mereka saling berbuka diri di depan ahlinya. "Karena berdua mereka akan saling menceritakan dengan jujur persoalan yang mereka hadapi," yakinnya.

Sumber:
Harian Surya, Minggu 14 Juli 2002