Friday, January 11, 2002

Perhatikan Pakaian Dalam

Banyak hal yang harus dilakukan untuk membina dan menjaga keharmonisan rumah tangga. Di antaranya, saling memberikan perhatian dan menghargai. Bentuk perhatian pun bisa bermacam-macam. Kebiasaan yang dilakukan Manajer Australian Education Centre di Surabaya, Josephine M. J. Ratna, merupakan salah satu contoh kecil, namun cukup berarti.

Ibu dua orang anak, kelahiran Surabaya, 4 Januari 1968 ini tidak pernah lupa memberikan ucapan selamat kepada suami, setiap tanggal kelahiran, pernikahan dan tanggal pertama pacaran. "Jadi setiap bulan, minimal tiga kali kami memberikan ucapan selamat. Suami juga melakukan hal yang sama. Untuk tanggal perkawinan dan tanggal pertama pacaran, terkadang suami yang lebih dulu memberi ucapan selamat, terkadang saya. Meski tampak sepele, sangat bermakna bagi kami," tuturnya.

Selain memberi ucapan selamat, yang juga mendapat perhatian serius adalah pakaian dalam. Masters of Clinical and Health Psychology Curtin University of Technology, Western Australia ini tidak sembarangan dalam memilih pakaian dalam. Selain memperhatikan faktor kesehatan, juga masalah keindahannya. Ia tidak mau mengenakan pakaian dalam asal-asalan, demi suami.

"Kalau kita mengenakan pakaian dalam asal-asalan, menurut saya itu sama dengan tidak menghargai suami, sebab pakaian dalam hanya suami yang melihatnya. Begitu juga pakaian di rumah. Masak kita di hadapan orang lain mengenakan pakaian bagus, di hadapan suami mengenakan pakaian seenaknya. Bisa-bisa suami lebih suka memperhatikan orang lain," kata alumni Fakultas Psikologi Universitas Airlangga Surabaya ini.

Sumber:
Rubrik Tamu Kita - Harian Surya, Jumat 11 Januari 2002

Sunday, January 6, 2002

Seks Bukan Faktor Utama Selingkuh

Tidak dapat dihitung, berapa banyak rumah tangga berantakan melakukan perselingkuhan, tak peduli yang melakukan selingkuh itu salah satu pasangan mereka, atau kedua-duanya. Semua orang juga tahu, dampak buruk perselingkuhan bukan hanya dirasakan pasangan suami isteri, tapi juga anak-anak mereka. Bahkan tidak jarang sanak famili juga ikut menanggung malu.
Boleh dikatakan budaya dan norma-norma yang ada di masyarakat tidak membenarkan perselingkuhan dan menyebut perbuatan itu sebagai aib. Semua agama juga melarangnya. Meski demikian, perselingkuhan selalu terjadi dan tumbuh subur di masyarakat. Perselingkuhan juga selalu menarik untuk dibicarakan, apalagi kalau dilakukan oleh publik figur. 
Belakangan ini, perselingkuhan kembali menjadi pembicaraan nasional, menyusul pengaduan Mamay ke Polda Metro Jaya. Suami artis Nicky Astrea itu menuduh istrinya telah berselingkuh dengan laki-laki lain. Terlepas benar atau tidaknya tuduhan itu, yang jelas perselingkuhan bisa terjadi dimana-mana. Persoalannya, mengapa perselingkuhan itu terjadi?
Menurut Director International John Robert Power Surabaya, Indayati Oetomo, perselingkuhan diawali dari rasa ketertarikan, sebagai akibat kebutuhan salah satu dari pasangan suami istri tidak terpenuhi oleh pasangannya. Untuk memenuhi kebutuhan itu, ia mencari atau menemukan kepada orang lain – lawan jenis tentunya.
“Dari keteratrikan itu, disadari atau tidak akan berkembang ke arah yang lain, yang puncaknya pada masalah seks. Jadi kebutuhan seks bukan pemicu atau faktor utama, tetapi hampir dipastikan selalu mengikuti. Jadi perselingkuhan itu manusiawi, hanya saja manusiawi yang negative,” tutur Indayati, ditemui di kantornya, Jumat (4/1) siang.
Menurut dia, umumnya kebutuhan yang tidak bisa dipenuhi suami atau istri adalah kebutuhan akan pengakuan atau dihargai. Ini kebutuhan sangat mendasar bagi setiap manusia, namun sering kali dilupakan oleh pasangan suami istri. Selain itu, banyak juga karena pasangan tidak bisa atau enggan diajak bicara persoalan, khususnya persoalan yang berkaitan dengan pekerjaan, apalagi memberikan solusi. Akibatnya, uneg-uneg itu ditumpahkan kepada orang lain. karena ada kecocokan, akhirnya berkembang ke hal-hal lain.
Hal yang sama diungkapkan psikolog Josephine M.J. Ratna. Ia sependapat bahwa kebutuhan seks bukan pemicu utama, tetapi selalu mengikuti dalam perselingkuhan. “Ada juga sih perselingkuhan dilakukan hanya karena untuk memenuhi kebutuhan seks, tetapi prosentasenya kecil,” kata psikolog yang dinas di RS Surabaya Internasional ini.
Sama halnya dengan Indayati Oetomo, Josephine juga berpendapat, awal perselingkuhan terjadi karena ada kebutuhan yang tidak terpenuhi oleh pasangan, dapat dipenuhi wanita atau laki-laki lain. Menurut dia, kebutuhan teman untuk membicarakan persoalan yang sedang dihadapi, terutama persoalan yang berkaitan dengan pekerjaan, paling dominan dan menjadi awal perselingkuhan.
“Merasa menemukan orang yang enak diajak bicara, mulai ketertarikan, mulai ada perhtian terhadap orang itu, dan frekunsi berkomunikasi, semakin sering. Topik pembicaraan pun berkembang, bukan hanya sebatas persoalan pekerjaan dan puncaknya pada hubungan seksual. Semua itu dilakukan secara sadar. Namun tanpa dia sadari, terjadi perubahan pada perilaku dan itu sulit dikembalikan meski perbuatan mereka diketahui istri atau suaminya,” kata psikolog yang menjabat Manager Australian Education Centre di Surabaya.
Sekalipun perselingkuhan bisa terjadi di setiap lapisan masyarakat, baik Indayati maupun Josephine tidak menyangkal bahwa kecenderungan berselingkuh lebih besar dilakukan oleh mereka yang secara ekonomi telah mapan. “Semakin tinggi tingkat ekonomi seseorang, kecenderungan berselingkuh semakin besar, karena mereka memiliki fasilitas penunjang dan kesempatan yang lebih besar. Bagaimanapun juga, perselingkuhan membutuhkan saran dan juga dana,” kata mereka.
Josephine memperingatkan, perselingkuhan bisa saja terjadi pada kehidupan rumah tangga yang adem ayem. “Biasanya hal ini dilakukan pasangan laki-laki, karena dia merasa tidak tega mengajak istri membicarakan masalah pekerjaan atau urusan-urusan di luar rumah. Dia merasa kasihan terhadap istri yang capek mengurus rumah dan anak-anak, masih harus dibebani dengan persoalan pekerjaan yang dihadapi suami. Suami memilih mencari wanita lain untuk teman bicara, dan akhirnya berkembang menjadi perselingkuhan,” kata Josephine. (lia)

Jadikan rumah seperti ‘Supermarket’
Baik Indayati Oetomo maupun Josephine M. J. Ratna sependapat bahwa perselingkuhan lebih didominasi kaum pria. Bahkan dalam tahun 2002 yang disebut-sebut sebagai kebangkitan wanita, perselingkuhan tetap masih akan didominasi kaum adam. Alasan mereka, selain faktor kesempatan, sanksi moral terhadap wanita berselingkuh jauh lebih berat dibandingkan sanksi yang dijatuhkan kepada kaum pria.
Bagaimana supaya perselingkuhan tidak ‘mengotori’ kehidupan rumah tangga? Indayati menyarankan agar wanita bisa menjadikan rumah sebagai ‘supermarket’ yang mampu memenuhi semua kebutuhan suami, jadikan rumah tangga sebagai surga, sehingga suami ingin selalu segera pulang dan betah di rumah.
“Memang tidak semudah yang diucapkan, harus ada kemauan dan kesungguhan. Selain itu juga harus ada keterbukaan. Dengan begitu bisa saling memahami keinginan pasangan,” katanya.
Selain itu, lanjutnya, wanita harus mau belajar untuk meningkatkan wawasan dan punya kepedulian terhadap persoalan-persoalan yang berkaitan dengan pekerjaan suami. Kalau toh tidak bisa memberikan solusi terhadap persoalan yang sedang dihadapi suami, paling tidak bisa memahami dan merasakan. Juga perlu menjaga penampilan agar suami tidak merasa bosan.
Josephine menambahkan, selain saling terbuka, saling memperhatikan dan menciptakan komunikasi yang baik, pasangan suami istri perlu membuat perubahan dan menciptakan sesuatu yang baru yang bisa dibina secara berkelanjutan. (lia)

Sumber:
Harian Surya, 6 Januari 2002